Dua jam kemudian, seorang perawat keluar dari ruang bersalin sambil berkata, "Pak, anak lelaki bapak sudah lahir dengan selamat dan sehat. Silakan masuk untuk melihat ibu dan bayinya."
Bukannya masuk ke ruang bersalin, pak Jono malah meraih tangan pak Abdul, menciumnya sambil menangis terbata, "Pak, terima kasih banyak atas bantuannya.. saya akan membersihkan kebun bapak sampai dengan hutang saya nanti lunas.. mohon maaf sebesar-besarnya jika selama ini saya sering ngrasani bapak dengan para satpam atau penduduk perumahan lainnya..."
Tindakan pak Jono yang mencium tangannya ini membuat pak Abdul terpana. Sumringah wajah pak Jono, hangat air mata pak Jono, permintaan maaf karena ngrasani meski dia ga tau, seperti detak air gerimis yang datang pelahan namun rancak membasahi muka bumi hatinya. Dengan terbata juga dia menjawab, "Pak Jono, selamat.. masuk sana.. lihat anak dan istri bapak... biaya rumah sakit ini ga usah dipikirkan dulu.. saya pulang dulu.. pagi nanti saya antar istri saya ke sini...."
Terpaku pak Abdul memandang punggung pak Jono yang setengah berlari menuju ruang bersalin. Dia merasakan kesenangan, kebahagiaan yang berbeda dari sebelumnya. Membantu orang, membuat orang meraih bahagia ternyata memberikan kenikmatan yang jauh berbeda dibanding kesenangan yang dia peroleh ketika mendapat tanda tangan investor sore tadi. Ada selintas janji terukir di hatinya untuk lebih sering membantu orang lain, meski terbersit sesal selama ini dia jarang melakukannya. Derapan permohonan ampunan meluncur begitu saja dari lubuk hatinya atas sombong dan kikirnya selama ini.
Gerimis masih mendinginkan malam itu. Mendung masih menyelimuti langit. Pak Abdul menyetir mobilnya dengan lambat. Meski ingin dia segera bertemu istrinya, sahur bersama anak istrinya. Teringat bungsunya yang masih tiga tahun, tentu popok dan bajunya bisa digunakan untuk anak pak Jono.
"Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. Al Qodr : 4 – 5)
"Sesungguhnya aku diperlihatkan lailatul qodr lalu aku dilupakan, ia ada di sepuluh malam terakhir. Malam itu cerah, tidak panas dan tidak dingin bagaikan bulan menyingkap bintang-bintang. Tidaklah keluar setannya hingga terbit fajarnya." (HR. Ibnu Hibban)
Malam memang gelap tak berbintang, gerimispun membuat semakin dingin. Tetapi hati pak Abdul terasa cerah menatap masa depan, bintang-bintang menerangi jalan janjinya, rembulan memberi arah pilihan hidupnya. Para malaikat turun menuntunnya meninggalkan lorong gelapnya. Lailatul qodar mungkin telah datang padanya. Memberikan maqam kenikmatan untuk melakukan perbuatan baik. Membawanya menjadi orang yang lebih baik. Rahmat yang bernilai seribu bulan ibadah. Karena dia telah beritikaf di masjid Allah yang luas. Mewujudkan Alquran dalam tindakannya. Menunjukkan sholat dalam perbuatannya.
RH A27
bumi adalah masjidmu
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H