Mohon tunggu...
farid maruf
farid maruf Mohon Tunggu... -

a little human who studied engineering.. but a bit socialist.. though sometimes behave as asocial one

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Lailatul Qodr

23 Agustus 2011   16:21 Diperbarui: 26 Juni 2015   02:31 76
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Pak Abdul adalah orang paling kaya di perumahan Margomulyo. Sebagai pengusaha, dia memiliki beberapa perusahaan. Katanya kabar burung, perusahaan menengah. Namun sayang, tetangga-tetangga di perumahannya menganggap pak Abdul sebagai orang yang kikir, karena jarang mau memberi sumbangan katanya.

perumahan Margomulyo dikenal sebagai perumahan religius. Menurut data di kelurahan, semua KTP warga perumahan tertulis agama yang sama. Sebuah masjid di perumahan itu begitu megahnya, jauh lebih baik dibandingkan kondisi rumah-rumah disekitarnya. Kata penduduk perumahan, rumah tuhan haruslah lebih bagus dan mentereng dari rumah penduduk. Itu untuk menunjukkan rasa cinta dan sayang penduduk kepada tuhan, kata mereka lagi. Dan sungguh kebetulan, rata-rata penduduk perumahan Margomulyo adalah orang yang berkecukupan, pegawai bermobil dinaslah. Kecuali pak Jono, orang Jombang yang tinggal di rumah bedeng di petak kosong dekat rumah pak Abdul. Dia adalah satpam di perumahan, tukang sampah, sekaligus menjadi pengayuh becak jika sedang tidak bertugas. Selain itu, dia juga membantu bersih-bersih masjid sekalian mendapatkan tambahan duit untuk istrinya yang sedang mengandung anaknya yang pertama.

Malam Minggu ini sudah termasuk sepuluh malam terakhir bulan puasa. Seperti kebiasaan tiap bulan puasa, malam ini di masjid perumahan Margomulyo juga sedang mengundang seorang ustadz untuk mengisi ceramah setelah sholat tarawih. Topik paling ngetrend saat ini adalah tentang lailatul qodar, malam termulia di bulan puasa dan bulan lainnya. Meskipun sedang mendung dan gerimis, hampir semua penduduk perumahan datang ke masjid dan mendengarkan ceramah. Tidak ketinggalan pak Jono yang juga ikut mendengarkan ceramah di depan masjid sambil menjaga motor dan mobil yang parkir dengan hati gelisah karena istrinya tadi mengeluh seperti ada rembesan air dari kandungannya.

"Para jamaah yang dimuliakan Allah. Pada malam lailatul qodar, Allah mengutus malaikat-malaikatnya untuk mengurus segala urusan. Malam itu penuh dengan kesejahteraan sampai terbit fajar." pak ustadz berceramah.

"Barang siapa menemui malam itu dan sedang beribadah, maka akan mendapatkan pahala seperti ibadah seribu bulan.. seribu bulan para jamaah, bandingkan dengan usia kita... seribu bulan pahala.. seperti kita selama hidup selalu beribadah." tandas pak ustadz.

"oleh karena itu, pada sepuluh hari terakhir ramadan tersisa ini, setiap malam mari kita perbanyak ibadah.. sholat, membaca Alquran, itikaf di masjid.. tinggalkan urusan duniawi.. dan cari lailatul qodar..!!" pak ustadz menambahkan dengan bersemangat.

Semua jamaah dengan mengangguk-angguk mendengarkan ceramah..

"Waduh.. aku nanti malam sudah janjian untuk karaoke dengan investor... bagaimana bisa itikaf di masjid." sahut pak Abdul dalam hati dengan muka kecut.

"Ciri-ciri malam lailatul qodar adalah malam yang cerah, tidak panas, tidak dingin, seperti bulan menyingkap bintang-bintang." sayup-sayup pak ustadz melanjutkan ceramahnya sambil mengutip ayat dan hadits... namun...

"Koq ga selesai-selesai tho ceramah ini .. aku kan harus siap-siap untuk nanti malam." keluh pak Abdul yang sudah membayangkan pertemuan tengah malam nanti..

"Duh gusti.. nyuwun ngapunten.. saya ga bisa nyari lailatul qodar.. malam ini istri saya ngeluh sakit.. dan perlu duit." ratap pak Jono sambil menyeka mukanya yang terpercik air gerimis.

"Wasalamu alaikum warrahmatullah wabarakatuh..." kalimat terakhir ustadz inilah yang masih nyanthol di telinga pak Abdul ketika ceramah selesai hampir jam sepuluh malam. Dia langsung saja bergegas tergesa pulang untuk siap-siap pergi karaoke. Sedangkan banyak jamaah lain sudah berniat dalam hati untuk kembali ke masjid berlomba mencari lailatul qodar. Sementara itu, pak Jono harus menunggu sampai kendaraan terakhir pergi dari halaman masjid, sekaligus membersihkan beberapa sampah yang ditinggalkan oleh para jamaah yang kadang lupa bahwa kebersihan juga merupakan cermin dari keimanan mereka. Meskipun pikirannya selalu terbayang istrinya yang tadi mengeluh sakit ketika dia tinggalkan.

Sudah hampir tengah malam, dan gerimis seperti semakin membesar. Namun pak Abdul sudah berada di belakang setir untuk pergi karaoke. Menjelang gerbang perumahan, dia harus berhenti karena satpam sedang berkutat di dekat becak pak Jono.

"Ada apa?" tanya pak Abdul sambil membuka jendela mobilnya ketika sampai di samping becak.

"ee.. anu pak.. menika... becak saya asnya patah.. ini mau ngantar istri saya ke bu bidan.. airnya ngrembes terus ke kaki.." pak Jono yang menjawab sambil gelisah tidak karuan.. sementara terdengar rintihan istri pak Jono disela suara gerimis..

"ooo.. itu ketubannya pecah.. segera saja kalau begitu.." pak Abdul sambil terus menjalankan mobilnya...

Entah mengapa.. tiba-tiba terlintas ingatan pak Abdul ketika istrinya mengerang kesakitan ketika dulu ketubannya pecah, bahkan hampir meninggal. Tiba-tiba saja kaki kanan pak Abdul menjejak rem, dan memundurkan mobilnya.

"Ayo tak antar saja.. nanti tidak keburu." kata pak Abdul sambil keluar dari mobilnya.

"Sampun pak.. mboten usah..." pak Jono menjawab sambil sedikit khawatir karena teringat dulu pernah melihat peminta sumbangan diusir dari rumah pak Abdul.

"Ga popo.. ayo.... masuk sini saja..." pak Abdul membuka pintu tengah mobilnya, "cepet... selak kena gerimis nanti tambah sakit."

Setelah pak Jono dan istrinya masuk mobil, pak Abdul dengan cepat melajukan mobilnya ke rumah sakit.

"Nuwun sewu pak... ke bu bidan Halimah kemawon.." pak Jono berkata.

"lho.. ya jangan ke bidan.. ini ketubannya pecah.. jaga-jaga kalau ada apa-apa.. ke rumah sakit ae.." jawab pak Abdul..

"tapi pak.. saya sudah bilang bu bidan... mungkin akan hutang dulu untuk ongkos melahirkannya..." pak Jono dengan terbata menyambung.

"wis tho.... nanti dipikir kemudian.. yang penting istrimu selamat..."

Pak Jono terdiam ketika pak Abdul tetap menyetir mobilnya ke rumah sakit. Terbayang ongkos rumah sakit yang mahal.. becaknya yang rusak.. membuat dia semakin gelisah. Ketakutan akan biaya yang tak mampu dibayar membuat pak Jono seperti melupakan sakit istrinya.

Sampai rumah sakit, para perawat sigap menyambut mobil pak Abdul yang memang termasuk kelas mewah. Namun, begitu melihat istri pak Jono yang agak kumal, mereka agak terhenyak.

"Ini cepat dirawat.. ketubannya sudah pecah sejak sore tadi." kata pak Abdul agak membentak ketika melihat para perawat itu seperti tidak sigap mengurusi istri pak Jono meskipun rumah sakit ini milik pemerintah.

Akhirnya para perawat tersebut segera mengurus istri pak Jono, sementara yang lainnya mengajak pak Jono ke meja administrasi.

Ketika mengisi lembar administrasi, pak Jono bertanya, "Biayanya nanti boleh dihutang tidak bu?"

"Bapak harus membawa surat tidak mampu dari kelurahan... kalau tidak ya tidak boleh." jawab perawat tersebut dengan agak enggan.

"Saya yang nanggung semua... "sahut pak Abdul dari belakang ditengah kebingungan pak Jono mendengar jawaban perawat.. "mari kita tunggu saja di dekat ruang sana", ajak pak Abdul ketika administrasi sudah selesai...

Di lorong ruang bersalin, pak Jono mondar mandir dengan gelisah. Istrinya yang berjuang untuk melahirkan, ongkos rumah sakit yang mahal, bagaimana membayar hutang ke pak Abdul, surat keterangan tidak mampu di kelurahan, KTP yang dia tidak punya... semua menjadi satu membuat gelap. Sementara pak Abdul memperhatikan dengan diam. Pikirannya menerawang ketika dia juga mondar-mandir seperti itu saat istrinya meregang untuk melahirkan. Terbayang kedua anaknya yang dulu harus di masukkan box karena lahir terlalu dini. Seperti tidak tersedia lagi ruang di kepalanya untuk protes investornya ketika dia telpun tidak bisa datang ke karaoke.

Dua jam kemudian, seorang perawat keluar dari ruang bersalin sambil berkata, "Pak, anak lelaki bapak sudah lahir dengan selamat dan sehat. Silakan masuk untuk melihat ibu dan bayinya."

Bukannya masuk ke ruang bersalin, pak Jono malah meraih tangan pak Abdul, menciumnya sambil menangis terbata, "Pak, terima kasih banyak atas bantuannya.. saya akan membersihkan kebun bapak sampai dengan hutang saya nanti lunas.. mohon maaf sebesar-besarnya jika selama ini saya sering ngrasani bapak dengan para satpam atau penduduk perumahan lainnya..."

Tindakan pak Jono yang mencium tangannya ini membuat pak Abdul terpana. Sumringah wajah pak Jono, hangat air mata pak Jono, permintaan maaf karena ngrasani meski dia ga tau, seperti detak air gerimis yang datang pelahan namun rancak membasahi muka bumi hatinya. Dengan terbata juga dia menjawab, "Pak Jono, selamat.. masuk sana.. lihat anak dan istri bapak... biaya rumah sakit ini ga usah dipikirkan dulu.. saya pulang dulu.. pagi nanti saya antar istri saya ke sini...."

Terpaku pak Abdul memandang punggung pak Jono yang setengah berlari menuju ruang bersalin. Dia merasakan kesenangan, kebahagiaan yang berbeda dari sebelumnya. Membantu orang, membuat orang meraih bahagia ternyata memberikan kenikmatan yang jauh berbeda dibanding kesenangan yang dia peroleh ketika mendapat tanda tangan investor sore tadi. Ada selintas janji terukir di hatinya untuk lebih sering membantu orang lain, meski terbersit sesal selama ini dia jarang melakukannya. Derapan permohonan ampunan meluncur begitu saja dari lubuk hatinya atas sombong dan kikirnya selama ini.

Gerimis masih mendinginkan malam itu. Mendung masih menyelimuti langit. Pak Abdul menyetir mobilnya dengan lambat. Meski ingin dia segera bertemu istrinya, sahur bersama anak istrinya. Teringat bungsunya yang masih tiga tahun, tentu popok dan bajunya bisa digunakan untuk anak pak Jono.

"Pada malam itu turun malaikat-malaikat dan malaikat Jibril dengan izin Tuhannya untuk mengatur segala urusan. Malam itu (penuh) kesejahteraan sampai terbit fajar." (QS. Al Qodr : 4 – 5)

"Sesungguhnya aku diperlihatkan lailatul qodr lalu aku dilupakan, ia ada di sepuluh malam terakhir. Malam itu cerah, tidak panas dan tidak dingin bagaikan bulan menyingkap bintang-bintang. Tidaklah keluar setannya hingga terbit fajarnya." (HR. Ibnu Hibban)

Malam memang gelap tak berbintang, gerimispun membuat semakin dingin. Tetapi hati pak Abdul terasa cerah menatap masa depan, bintang-bintang menerangi jalan janjinya, rembulan memberi arah pilihan hidupnya. Para malaikat turun menuntunnya meninggalkan lorong gelapnya. Lailatul qodar mungkin telah datang padanya. Memberikan maqam kenikmatan untuk melakukan perbuatan baik. Membawanya menjadi orang yang lebih baik. Rahmat yang bernilai seribu bulan ibadah. Karena dia telah beritikaf di masjid Allah yang luas. Mewujudkan Alquran dalam tindakannya. Menunjukkan sholat dalam perbuatannya.

RH A27
bumi adalah masjidmu

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun