"Karena sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan, sesungguhnya sesudah kesulitan itu ada kemudahan". (QS. Al-Insyirah: 5 - 6)
Takhfifusy syar'i ini tidak hanya berlaku pada perkara-perkara yang wajib, juga berlaku untuk perkara-perkara yang sunnah semisal kebolehan melaksanakan shalat sunnah dengan duduk dengan pahala separuh dari shalat berdiri dan seperti orang puasa sunnah dapat membatalkan puasanya apabila bertamu dan disuguhi makanan.
Begitu pula iktikaf yang hukumnya sunnah tatkala ada udzur tentu terdapat takhfif (keringanan).
Ada dua jenis takhfif, yaitu takhfif isqath ---keringanan untuk tidak melaksanakannya, dan takhfif ibdal ---keringan untuk melaksanakan gantinya. Dalam kondisi tidak memungkinkan iktikaf di masjid, manakah yang harus dipilih, apakah takhfif isqath atau takhfif ibdal?
Di dalam memutuskan takhfif mana yang dipilih sangat memungkinkan terjadi beda pendapat dengan argumen masing-masing.
Bagi yang memilih takhfif isqath (tidak melaksanakan sama sekali) karena berpegang pada pendapat jumhur ulama bahwa tempat iktikaf adalah masjid, sedangkan rumah atau "masjid rumah" bukanlah masjid.
Dan sebagaimana shalat Jum'at dalam kondisi wabah tidak dilaksanakan padahal wajib dan diganti dengan shalat dhuhur maka terlebih iktikaf yang hukumnya sunnah untuk tidak dikerjakan.
Apabila di halaman atau di pekarangan rumah ada mushala maka iktikaf dapat dilakukan di tempat tersebut sebagaimana yang dikatakan oleh Ibnu Shabbagh dari Mazhab Syafi'iyyah yang dinukil oleh Yahya Al-Imrani.
"Maka adapun apabila seorang laki-laki atau perempuan menjadikan di daar-nya (rumah dengan pekarangannya) sebuah masjid maka boleh baginya untuk iktikaf di dalamnya dan di atas rooftopnya, karena rooftop termasuk bagian dari masjid. Oleh karenanya orang junub dilarang untuk tinggal di situ". (Al-Bayan, juz 3 hal 575).
Bagi yang memilih takhfif tabdil (mengganti tempat iktikaf semula di masjid kemudian diganti dengan iktikaf di masjid rumah) karena ibadah yang sunnah lebih utama dikerjakan di rumah dan iktikaf adalah sunnah, dan karena terdapat pendapat ulama yaitu Muhammad bin Amr bin Lubabah dari mazhab Maliki yang mengatakan iktikaf tidak harus di masjid.
Kalau dalam kondisi wajar saja boleh terlebih dalam kondisi tertentu. Dan ini sejalan dengan kaidah fiqhiyyah "Al-masyaqqah tajlibut taisir" (kondisi sulit menghadirkan kemudahan).