Mohon tunggu...
Makruf Amari Lc MSi
Makruf Amari Lc MSi Mohon Tunggu... Guru - Pengasuh Sekolah Fiqih (SELFI) Yogyakarta

Alumni Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta, melanjutkan S1 di LIPIA Jakarta dan S2 di UII Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Tarawih di Rumah, Sebelas atau Dua Puluh Tiga?

26 April 2020   07:13 Diperbarui: 26 April 2020   07:12 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto : www.muslimmatters.org

Oleh : Ma'ruf Amari, Lc., M.Si.

Dalam situasi wabah Covid-19 saat ini, umat Islam di daerah yang terkena wabah dan berstatus 'merah' diminta untuk melaksanakan ibadah dari rumah. Sejak dari shalat wajib, mengganti shalat Jumat dengan Duhur berjama'ah di rumah, dan pada bulan Ramadan ini melaksanakan shalat Tarawih serta tadarus di rumah.

Muncul diskusi di beberapa rumah, ketika akan melaksanakan shalat Tarawih berjama'ah, muncul perbedaan tentang jumlah rakaat Tarawih. Ayah dan ibu yang tinggal di kampung terbiasa mengikuti Tarawih di masjid kampung dengan 23 rakaat. 

Si anak yang kuliah dan kos di dekat kampus, terbiasa mengikuti Tarawih di masjid kampus dengan 11 rakaat. Saat sekarang semua tengah #StayAtHome, akhirnya mereka bingung akan melaksanakan berapa rakaat, dan bagaimana menjalankannya.

Shalat Tarawih di Zaman Nabi saw 

Untuk menjawab persoalan mereka, pertama kali, mari kita lihat contoh dari Nabi saw. Bagaimana beliau melaksanakan shalat Tarawih? Dalam menjelaskan bab ini, terdapat beberapa riwayat.

Pertama, riwayat Aisyah ra : tidak lebih dari sebelas rakaat

Aisyah ra ditanya bagaimana shalat Rasulullah saw di bulan Ramadhan? Beliau menjawab: "Baik di bulan Ramadhan atau selainnya Beliau tidak lebih dari sebelas rakaat, Beliau shalat emapt rakaat maka jangan tanya bagusnya dan panjangnya. Kemudian beliau shalat empat rakaat maka jangan tanya bagus dan panjangnya. Kemudian shalat tiga rakaat". HR.Al-Bukhari no 3569 dan Muslim no 738

Kedua, riwayat Zaid Al-Juhani : tiga belas raka'at

Zaid Al-Juhani mengatakan, "Saya perhatikan shalat Rasulullah saw malam ini. Beliau shalat dua raka'at yang ringan-ringan, kemudian shalat dua raka'at panjang-panjang-panjang (panjang sekali.Pent), kemudian shalat dua raka'at kurang dari dua raka'at sebelumnya, kemudian shalat dua raka'at yang kurang dari dua raka'at sebelumnya, kemudian shalat dua raka'at yang kurang dari dari dua raka'at sebelumnya, kemudian witir. Semua tiga belas raka'at. HR.Muslim no 765.

Dalam riwayat ini, tidak ada keterangan bahwa ini terjadi di bulan Ramadan. Hanya menceritakan shalat malamnya Nabi saw secara umum.

Ketiga, riwayat Ibnu Abbas : duapuluh rakaat di luar witir

Dari Ibnu Abbas ra dia berkata, "Rasulullah saw shalat di bulan Ramadhan -- bukan dalam jama'ah -- duapuluh rakaat dan witir". HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kubra no 4286.

Namun hadits ini dalam sanadnya terdapat Abu Syaibah. Al-Baihaqi mengatakan dia dha'if.

Keempat, Bukhari dan Muslim menyatakan shalat malam Nabi dikerjakan dua rakaat dua rakaat

Nabi saw bersabda, "Shalat malam itu dua-dua, apabila salah seorang kalian khawatir shubuh maka shalat satu rakaat sebagai witir dari shalat yang telah dikerjakan". HR. Al-Bukhari no 990 dan Muslim no 749.

Dalam hadits ini, dijelaskan cara Nabi saw melaksanakan shalat malam  dengan dua rakaat dua rakaat, tanpa keterangan bulan dan jumlah rakaatnya.

Shalat Tarawih pada Zaman Umar ra

Berikutnya, kita lihat bagaimana shalat Tarawih dilaksanakan pada zaman Khalifah Umar bin Khathab. Terdapat riwayat yang shahih yang menyatakan bahwa Tarawih pada zaman Umar sebanyak sebelas rakaat.

Pertama, Umar ra melaksanakan Tarawih berjamaah dengan satu imam

Dalam riwayat yang shahih, Umar ra mengumpulkan orang-orang dalam satu imam, tanpa terdapat keterangan jumlah rakaatnya. Abdurrahman bin Abdul Qari' menceritakan bahwa suatu malam dirinya bersama Umar ra di bulan Ramadhan keluar menuju masjid. 

Ternyata orang --orang terbagi-bagi berkelompok-kelompok. Seseorang shalat sendirian, seseorang shalat bersama beberapa orang (tidak lebih dari sepuluh).

Kemudian Umar mengatakan: Saya pikir kalau saya kumpulkan mereka pada satu qari' (imam) tentunya lebih ideal. Kemudia beliau bertekad, lalu mengumpulkan mereka dengan imam Ubai bin Ka'ab. 

Kemudian saya keluar bersamanya pada malam yang lain  sementara orang-orang shalat dengan qari'nya (imamnya). Umar ra mengatakan "Ni'mal bid'atu hadzihi (sebaik-baik bid'ah adalah ini), dan orang-orang yang tidur lebih afdhal dari pada yang shalat". Maksudnya shalat di akhir malam, dan orang-orang shalat di awal malam. HR. Al-Bukhari no 2010.

Kedua, shalat Tarawih di zaman Umar dilaksanakan sebelas rakaat     

Dalam riwayat yang shahih Umar mengumpulkan orang-orang dengan imam Ubai bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dari dengan sebelas raka'at. Saib bin yazid mengatakan, "Umar memerintahkan Ubai bin Ka'ab dan Tamim Ad-Dari untuk shalat bersama orang-orang dengan sebelas rakaat. Dan imam membaca ratusan ayat, sampai kami bertelekan tongkat akibat dari lamanya berdiri, dan kami tidak pulang kecuali mendekati subuh". HR. Malik no 4  dan Abu Dawud no 950.

Mengomentari riwayat ini, Syu'aib Al-Arnauth mengatakan "sanadnya shahih". (Tahqiq Abu Dawud no 950). Al-Albani mengatakan: "sanadnya shahih sekali". (dalam Silsilatul Atsar no 132)

Ketiga, shalat Tarawih di zaman Umar dilaksanakan duapuluh satu rakaat

Terdapat riwayat yang shahih yang mengatakan tarawih pada zaman Umar duapuluh satu rakaat. Dari Muhammad bin Yusuf dari Saib bin Yazid, bahwa Umar ra mengumpukan orang-orang di bulan Ramadhan dengan imam Ubin Ka'an dan Tamim Ad-Dari dengan duapuluh satu rakaat. Mereka membaca ratusan (ayat) dan tidak pulang kecuali mendekati subuh. HR. Abdurrazzaq no 7730.

Abdullah Ad-Duwaisy mengatakan: Para perawinya tsiqah dan para perawi hadits shahih (Tanbihul Qari juz 1 hal 42)

Keempat, shalat Tarawih di zaman Umar dilaksanakan duapuluh rakaat

Shalat Tarawih di masa Umar ra sangat lama, kaum muslimin sampai bertelekan tongkat karena lamanya. Dari Yazid bin Khushaifah dari Saib bin Yazid dia berkata, "Dahulu mereka pada zaman Umar melaksanakan shalat di bulan Ramadhan dua puluh rakaat". Said berkata" dan mereka membaca ratusan, mereka bertelekan tongkat mereka pada zaman Utsman ra sebab berdirinya panjang". HR. Al-Baihaqi dalam Al-Kabir no 4288

Az-Zaila'i menukil ucapan An-Nawawi mengatakan: sanadnya shahih (Nashbur Rayah juz 2 hal 154).

Memahami Letak Perbedaan Pendapat

Dari berbagai riwayat yang sudah disebutkan di atas, disimpulkan bahwa pada zaman Nabi beliau shalat Tarawih sebanyak sebelas atau tiga belas rakaat, dimana dua rakaat yang pertama dilaksanakan dengan ringan.

Pada zaman Umar ra shalat tarawih ---dalam satu riwayat dilaksanakan sebelas rakaat, dalam riwayat yang lain duapuluh satu rakaat, dan dalam riwayat lain lagi duapuluh rakaat di luar witir.

Dari sinilah para ulama berbeda pendapat dalam memahaminya. Secara garis besar ada dua pendekatan.

Pertama Pendekatan Tarjih

Yang dimaksud dengan pendekatan tarjih yaitu memilih yang paling kuat di antara riwayat-riwayat yang ada, dan ini yang ditempuh beberapa Ulama. Ash-Shan'ani mengatakan, "Apabila Anda telah mengerti ini, Anda mengerti bahwa duapuluh rakaat tidak ada riwayat yang marfu' sampai Nabi saw, bahkan terdapat hadits yang telah disepakati keshahihannya dari Aisyah ra bahwa Nabi saw --baik di bulan Ramadhan dan juga tidak di lainnya-- tidak lebih dari sebelas rakaat".

"Maka dari itu Anda mengerti dari ini semua bahwa shalat Tarawih dengan cara yang disepakati oleh kebanyakan adalah bid'ah. Memang shalat malam adalah sunnah -- tanpa ada perbedaan -- dan berjama'ah pada shalat sunnah tidak diingkari, dimana Ibnu Abbas ra dan yang lainnya bermakmum dengan Nabi saw dalam shalat malam, akan tetapi menjadikan cara ini dan jumlahnya sebagai yang sunnah serta dilaksanakan dengan terus menerus itulah yang kami katakan bid'ah". (Subulus Salam juz 1 hal 345)

Abul 'Ala Al-Mubarakfuri mengatakan, "Pendapat yang ar-rajih al-mukhtar al-aqwa ( yang berat timbangannya, yang dipilih, yang paling kuat) dari sisi dalil yaitu pendapat yang terakhir ini yang dipilih oleh Imam Malik untuk dirinya sendiri sebelas rakaat dan itu yang valid dari Rasulullah saw dengan sanad yang shahih, yang Umar perintahkan. Adapun pendapat yang lain maka tidak ada satupun yang valid dari Rasulullah saw dengan sanad yang shahih dan tidak merupakan perintah yang valid dari satu Khulafa'ur Rasyidin dengan sanad yang shahih yang luput dari kritik". (Tuhfatul Ahwadzi jiz 3 hal 440)

Naishiruddin Al-Albani memegangi riwayat yang sebelas rakaat karena ini yang lebih kuat. Beliau mengatakan, "Tidak boleh riwayat yang shahih dibenturkan dengan riwayat Abdurrazzaq dari sisi lain dari Muhammad bin Yusuf dengan lafal duapuluh rakaat karena tampak salahnya lafal ini". (Shalat Tarawih juz 1 hl 57).

Kedua, Pendekatan Al-Jam'u 

Yang dimaksud dengan pendekatan Al-Jam'u yaitu memadukan riwayat-riwayat yang ada -- tentunya bukan yang dha'if -- menjadi satu pemahaman, tanpa menggugurkan riwayat yang ada.

Al-Baihaqi mengatakan, di awal sebelas rakaat kemudian duapuluh. "Dan memungkinkan al-Jam'u (menggabungkan) dua riwayat; sesungguhnya mereka --dahulu-- melaksanakannya sebelas, kemudian mereka laksanakan duapuluh dan tiga rakaat witir (Al-Baihaqi dalam Al-Kabir no 4289)

Ibnu Taimiyyah menyatakan semuanya baik, tergantung lama dan sebentarnya berdiri. "Dan yang benar bahwa itu semuanya bagus -- sebagaimana hal itu yang dinyatakan oleh imam Ahmad ra -- dan bahwasanya jumlah dalam qiyamu Ramadhan itu tidak dibatasi, karena Nabi saw tidak membatasi jumlahnya. Maka dengan demikian memperbanyak dan mempersedikit raka'at tergatung lama dan sebentarnya berdiri". (Majmu' Fatawa juz 23 hal 113)

Lajnah Daimah menyatakan sebelas raka'at lebih afdhal. "Shalat tarawih sebelas rakaat atau tiga belas rakaat dengan salam setiap dua rakaat dan witir satu rakaat itu lebih afdhal karena meneladani Nabi saw, dan barangsiapa yang shalat duapuluh atau lebih maka tidak mengapa berdasar hadits Nabi saw, "Shalat malam itu dua-dua, apabila diantara kalian khawatir subuh maka shalat satu rakaat sebagai witir dari shalat yang telah dikerjakan". Maka beliau tidak membatasi jumlah rakaat tertentu. Dan karena Umar dan para sahabat ra melaksanakan shalat di beberapa malam duapuluh rakaat selain witir dan mereka adalah orang yang paling faham dengan sunnah". (Lajnah Daimah lil Buhuts wal Fatwa no 6148)

Imam Asy-Syafi'i menyatakan, ini adalah perkara yang luwes. "Dan dalam hal ini tidak ada sedikitpun pengekangan dan batasan maksimal, karena ini adalah sunnah. Jika mereka perlama berdiri persedikit sujud maka itu bagus, dan itu lebih saya sukai. Jika mereka perbanyak ruku' dan sujud maka bagus". (Ibnul Atsir, Asy-Syafi juz 2 hal 266, dan Al-Marwazi, Mukhtashar Qiyamullail hal 222)

Kesimpulan

Dari pemaparan dalil-dalil dan perkataan para ulama di atas dengan perbedaan di antara mereka dapat disimpulkan bahwa:

1. Shalat Tarawih dengan sebelas rakaat dengan bacaan panjang, tidak ada pebedaan dikalangan ulama, karena Nabi saw melakukan itu.

2. Shalat Tarawih --di luar Ramadhan disebut shalat tahajjud atau shalat malam -- minimal dua rakaat, dan  tidak ada perbedaan dalam masalah ini. (Lihat Al-Mausu'ah Al-Fiqhiyyah Al-Quwaitiyyah juz 14 hal 88)

3. Shalat tarawih duapuluh rakaat mayoritas ulama membolehkan, dan mengatakan ini adalah persoalan yang luwes dan fleksibel.

Catatan

Berapapun jumlah rakaat yang dikerjakan, tuma'ninah tidak boleh diabaikan, karena tanpa tuma'ninah dapat merusak shalat. Yang dimaksud dengan tuma'ninah adalah tenang, yaitu semua gerakan dikerjakan tanpa tergesa-gesa.

Nabi saw bersabda, "Kemudian ruku'lah sampai kamu tenang ruku', kemudiang angkatlah --i'tidal- sampai kamu tegak berdiri, kemudian sujudlah sampai kamu tenang sujud, kemudian angkatlah --duduklah- sampai kamu tenang duduk. Dan lakukan itu dalam semua shalatmu". HR. Al-Bukhari no 757 dan muslim no 397.

Jika melaksanakan shalat Tarawih berjamaah, dianjurkan untuk mengikuti imam sampai selesai, berdasarkan hadits, "Barang siapa yang shalat bersama imam sampai selesai maka Allah catat baginya shalat semalam". HR. An-Nasa'i no 1605 dan At-Tirmidzi no 806 dan mengatakan : ini adalah hadits hasan shahih.

Meskipun berbeda dalam jumlah shalat tarawih, ukhuwwah harus tetap dijaga. Syaikh Al-Utsaimin mengatakan, "Apabila kamu shalat sendirian maka sunnahnya tidak lebih sebelas rakaat atau kamu sebagai imam maka sunnahnya tidak lebih sebelas rakaat. Akan tetapi apabila kamu makmum yang mengikuti orang lain maka shalatlah seperti imam shalat, sekalipun shalat duapuluh tiga atau tigapuluh tiga atau tigapuluh sembilan. Inilah yang afdhal dan ini yang sesuai dengan syari'at. Karena syari'at mendorong persatuan ummat dan kekompakan, bukan perselisihan dan perperbedaan". (Majmu' Fatawa Al-Utsaimin jiz 14 hal 191)

Yogyakarta, 2 Ramadhan 1441 H/25 April 2020 M

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun