Mohon tunggu...
Makruf Amari Lc MSi
Makruf Amari Lc MSi Mohon Tunggu... Guru - Pengasuh Sekolah Fiqih (SELFI) Yogyakarta

Alumni Mu'allimin Muhammadiyah Yogyakarta, melanjutkan S1 di LIPIA Jakarta dan S2 di UII Yogyakarta

Selanjutnya

Tutup

Kurma Pilihan

Tarawih di Rumah, Sebelas atau Dua Puluh Tiga?

26 April 2020   07:13 Diperbarui: 26 April 2020   07:12 1106
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
foto : www.muslimmatters.org

Memahami Letak Perbedaan Pendapat

Dari berbagai riwayat yang sudah disebutkan di atas, disimpulkan bahwa pada zaman Nabi beliau shalat Tarawih sebanyak sebelas atau tiga belas rakaat, dimana dua rakaat yang pertama dilaksanakan dengan ringan.

Pada zaman Umar ra shalat tarawih ---dalam satu riwayat dilaksanakan sebelas rakaat, dalam riwayat yang lain duapuluh satu rakaat, dan dalam riwayat lain lagi duapuluh rakaat di luar witir.

Dari sinilah para ulama berbeda pendapat dalam memahaminya. Secara garis besar ada dua pendekatan.

Pertama Pendekatan Tarjih

Yang dimaksud dengan pendekatan tarjih yaitu memilih yang paling kuat di antara riwayat-riwayat yang ada, dan ini yang ditempuh beberapa Ulama. Ash-Shan'ani mengatakan, "Apabila Anda telah mengerti ini, Anda mengerti bahwa duapuluh rakaat tidak ada riwayat yang marfu' sampai Nabi saw, bahkan terdapat hadits yang telah disepakati keshahihannya dari Aisyah ra bahwa Nabi saw --baik di bulan Ramadhan dan juga tidak di lainnya-- tidak lebih dari sebelas rakaat".

"Maka dari itu Anda mengerti dari ini semua bahwa shalat Tarawih dengan cara yang disepakati oleh kebanyakan adalah bid'ah. Memang shalat malam adalah sunnah -- tanpa ada perbedaan -- dan berjama'ah pada shalat sunnah tidak diingkari, dimana Ibnu Abbas ra dan yang lainnya bermakmum dengan Nabi saw dalam shalat malam, akan tetapi menjadikan cara ini dan jumlahnya sebagai yang sunnah serta dilaksanakan dengan terus menerus itulah yang kami katakan bid'ah". (Subulus Salam juz 1 hal 345)

Abul 'Ala Al-Mubarakfuri mengatakan, "Pendapat yang ar-rajih al-mukhtar al-aqwa ( yang berat timbangannya, yang dipilih, yang paling kuat) dari sisi dalil yaitu pendapat yang terakhir ini yang dipilih oleh Imam Malik untuk dirinya sendiri sebelas rakaat dan itu yang valid dari Rasulullah saw dengan sanad yang shahih, yang Umar perintahkan. Adapun pendapat yang lain maka tidak ada satupun yang valid dari Rasulullah saw dengan sanad yang shahih dan tidak merupakan perintah yang valid dari satu Khulafa'ur Rasyidin dengan sanad yang shahih yang luput dari kritik". (Tuhfatul Ahwadzi jiz 3 hal 440)

Naishiruddin Al-Albani memegangi riwayat yang sebelas rakaat karena ini yang lebih kuat. Beliau mengatakan, "Tidak boleh riwayat yang shahih dibenturkan dengan riwayat Abdurrazzaq dari sisi lain dari Muhammad bin Yusuf dengan lafal duapuluh rakaat karena tampak salahnya lafal ini". (Shalat Tarawih juz 1 hl 57).

Kedua, Pendekatan Al-Jam'u 

Yang dimaksud dengan pendekatan Al-Jam'u yaitu memadukan riwayat-riwayat yang ada -- tentunya bukan yang dha'if -- menjadi satu pemahaman, tanpa menggugurkan riwayat yang ada.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Kurma Selengkapnya
Lihat Kurma Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun