Mohon tunggu...
Marudut Parsaoran Anakampun
Marudut Parsaoran Anakampun Mohon Tunggu... Penulis - Hidup harus berekspresi, menulis dan berpikir.

Perjalanan hidup sesorang dimulai dari titik nol dan terbentuk sendiri oleh alam dan lingkungan. Perjalan hidup akan membentuk jati diri dan karakter . tanpa disadari kita akan dipaksa untuk membuat suatu pilihan, pilihan itu yang akan menentukan siapa kita. jiwa dan raga akan berjalan beriringan namum tidak akan bersatu. tetapi dalam satu titik ada masa untuk bertolak belakang.

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Artikel Utama

Setop Bully secara Berlebihan tentang Ayam Napinadar yang Mahal

18 Januari 2020   03:36 Diperbarui: 18 Januari 2020   16:12 14322
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Kolase foto warung makan Malau dan struk tagihan pembayaran dua ekor ayam seharga Rp 800.000.(TRIBUN MEDAN/DOHU LASE, FACEBOOK/EVHANY TOBING)

Baru-baru ini berita tentang warung makan Ayam Napinadar di Sidikalang kabupaten Dairi, dengan harga Rp 800 ribu, menyuguhkan dua ekor ayam Kampung, sonter terdengar. Cuplikan video menayangkan seorang pembeli komplein dengan harganya yang tidak normal. 

Cuplikan video tersebut benar-benar viral menggurita, ditonton oleh masyarakat Indonesia pada umumnya. Ribuan komentar membully si penjual ayam pinadar tersebut. Mencemooh dan mencebiri.

Ada yang mengatakan masak cuma dua ekor ayam harganya Rp 800 ribu. Kemudian ada yang mengatakan warung harga restoran, dan masih banyak lagi.

Boleh saja kita merasa sangat kecewa dengan harga di luar akal pikiran, hanya menghidangkan dua ekor ayam Kampung beserta hidangan lainnya dipatok dengan harga Rp 800 ribu.

Namun kita harus berpikir lebih dalam lagi, di saat kita membully dan memposting berulang kali cuplikan video tersebut, kelihatan kita seperti orang yang tidak pernah melakukan kesalahan dalam hidup kita. 

Kadang kita berganggapan bahwa apa yang telah dilakukan oleh si penjual ayam pinadar tersebut sudah melakukan pelanggaran-pelanggaran yang begitu teramat fatal. 

Bahkan kita merasa si ibu penjual ayam pinadar tersebut benar-benar telah melukai, menelanjangi hati dan pikiran kita, hingga kita ingin membalas menjatuhkan bahkan ingin membuat ibu sipenjual tersebut menjadi terpuruk. Kalau boleh ibu si penjual tersebut dipermalukan di depan banyak orang semalu-malunya.

Kita tidak sadar atas apa yang lakukan sudah mencederai perinsip manusiawi seutuhnya. 

kompas.com
kompas.com
Saya coba ingat kembali ke belakang, dilihat dari suku Batak khusus Batak Toba, apa sebenarnya masakan ayam pinadar atau napinadar tersebut bagi suku Batak. Masakan tersebut adalah salah satu masakan khas orang Batak.

Dengan racikan bumbu-bumbu pilihan yang mungkin orang-orang tertentu yang dapat membuatnya. Rasa khas yang pedas menggigit lidah dibentuk dari bumbu andaliman. Ramuan sambal dan sop.

Jaman dulu Masakan Napinadar dijadikan sebagai hidangan menyambut raja-raja, jika bertamu dan bertandang ke rumah seseorang.

Atau jika ada tamu penting atau istimewa maka si pemilik rumah akan menghidangkan makanan napinadar sebagai jamuan santap makan. Ini jamuan yang spesial pada masa itu. Si pemilik rumah akan benar-benar menyajikan yang terbaik.

Kemudian dengan berakhirnya jamuan makan, si tamu tersebut berkeinginan untuk membalas kebaikan atas jamuan hidangan ayam pinadar gurih dan lezat yang telah disantap. Memberikan sejumlah uang atau barang yang dianggap berharga.

Mungkin nilainya lebih besar jika dibandingkan dengan biaya pengeluaran untuk membuat hidangan tersebut. Si tamu akan memberikan kepada anak-anak si pemilik rumah. Itu adat istiadat pada jaman dulu.

Dari cerita tersebut saya merasa terhentak mendengar berita telah viral di media sosial dan televisi, begitu seriusnya berita tersebut dikemas, menurut saya adalah masalah biasa yang tidak perlu dibesar-besarkan. 

Ibaratnya kita sudah memakan hidangannya namun kita komplein atas apa yang sudah kita telan. Lalu bagaimana mungkin kita komplein jika kita sudah menikmati makanan yang kita makan.

Terlalu Naif jika komplein atas makam yang kita nikmati, rasa nikmat ayam pinadar, pedas terasa menggigit di lidah, namun setelah kita kenyang dan puas, kita komplein atas makanan yang sudah masuk dalam perut. Logika apa coba yang kita pakai dalam pikiran kita.

Lebih heran lagi salah satu Media Televisi Indonesia juga ikut heboh, sampai-sampai disibukkan dengan Telekonferensi segala. Ikut menguak dan menginterogasi si ibu penjual. Memberitakan bahwa warung tersebut terkesan aneh bin ajaib. Melebihi berita penangkapan Kasus korupsi di tanah air.

Kalau pun kurang merasa puas dengan harganya, kita bisa tanya baik-baik. Atau diskusikan secara tenang dan kekeluargaan. Bukan langsung membuat video kemudian memviralkannya.

Apalagi, banyak juga yang ingin membuat heboh seantero dunia, men-share, posting secara berulang-ulang, namun kita tidak sadar kita sebenarnya telah melukai hati sesama.

Budaya menjatuhkan, terkapar, mampus tak benafas hingga kita merasa puas dan senang itu masih terjadi dalam kehidupan kita.

Saya pikir ibu itu tidak sanggup lagi, ibarat berperang sudah mengangkat bendera putih sebagai tanda menyerah atas bullyan terus menyerang bertubi-tubi, atas berita heboh seantero dunia.

Mari kita setop budaya membully secara berlebihan. Mungkin si ibu penjual sudah merasa bersalah dan menyesal, atau barangkali merasa terlukai. Sebagai umat manusia janganlah terus menjatuhkan atas bullyan yang kita buat. Terlalu berpikir negatif terhadap sesuatu hal.

Mari kita angkat berita berbobot dan penuh makna. Berita berimbang mengangkat harkat manusia seutuhnya. Bukan mengangkat berita masalah perut sejengkal.

Sidikalang, 18/01/2020
Marudut Parsaoran Anakampun

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun