Mohon tunggu...
Maria Theressa
Maria Theressa Mohon Tunggu... Guru - Seorang praktisi pendidikan yang senang belajar, menulis, dan dikritisi. Karena segala pujian hanya milik Sang Pencipta semata. Akun twitter : @hommel_edu

Seorang praktisi pendidikan yang senang belajar, menulis, dan dikritisi. Karena segala pujian hanya milik Sang Pencipta semata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyikapi Fenomena LGBT di Lingkungan Pendidikan

23 Februari 2016   16:29 Diperbarui: 25 Februari 2016   13:18 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

[caption caption="Fenomena LGBT"][/caption] Awalnya, saya merasa dunia LGBT sangat jauh dari jangkauan. Dunia saya lebih banyak bersentuhan dengan anak-anak dan remaja. Sekalinya bersentuhan dengan dunia orang dewasa, ya paling-paling dengan sesama rekan guru atau para orang tua murid yang berkonsultasi tentang putera-puteri mereka.  Meski pelaku LGBT sudah mulai diterima eksistensinya di beberapa negara, kehadiran mereka masih menjadi pro dan kontra di Indonesia.

Tak bisa dipungkiri, isu LGBT yang berkembang secara kontinyu, kerap mendatangkan beberapa pertanyaan dari beberapa murid - terutama murid-murid yang beranjak remaja. Saya tahu, terselip rasa keingintahuan mereka mengenai sikap apa yang akan saya ambil? Bagaimana pandangan saya tentang para pelaku LGBT?

Tahun-tahun pertama saya berkecimpung di dunia mengajar, saya kerap dikelilingi situasi sekolah yang berlandaskan satu kepercayaan tertentu. Dari kacamata agama, pelaku LGBT masih dipandang sebagai perilaku seks yang menyimpang. Dosa.

Itulah sebabnya, saya merasa dunia LGBT terasa begitu jauh dari jangkauan kala saya masih berada di tengah-tengah lingkungan yang kental dengan nuansa agamawinya. Istilah LGBT pun hanya terlontar dalam forum-forum diskusi di kelas, atau kala para murid terlibat becandaan sambil melontarkan beberapa istilah LGBT. Dasar Lesbian! Iih, Homo lu berdua!  Lontaran inilah yang biasanya ditujukan jika ada sesama murid pria atau sesama murid perempuan yang terlihat sangat akrab satu sama lain dan terkesan eksklusif atau menjauh dari teman-temannya yang lain.

Suatu ketika, saya mendapat kesempatan bekerja di salah satu sekolah umum - yang tidak berlandaskan pada satu kepercayaan tertentu. Sebuah sekolah yang menjunjung tinggi perbedaan dan kemajemukan.

Mau percaya adanya Tuhan atau tidak?

Anda orang Indonesia atau dari luar Indonesia?

Itu urusan anda masing-masing.

Yang terpenting, mari sama-sama hidup berdampingan dengan damai.

Di sekolah itu, saya berkenalan dengan seorang rekan guru pria. Kami berada dalam satu divisi bidang studi yang sama. Rentang usia yang tak terlalu jauh, membuat kami cepat akrab satu sama lain. Meski saya terbilang  sebagai guru baru. Bermula dari obrolan ngalor-ngidul, rekan saya ini mulai tanpa canggung membagi cerita kehidupan asmaranya. Dengan riang, ia menunjukkan beberapa fotonya saat sedang bersama kekasihnya melalui smartphone miliknya. Saya pun antusias ingin melihatnya.

Saat saya melihat foto pertama yang ia tunjukkan, saya hanya bisa berujar,"Wah kurang jelas nih fotonya, Pak. Agak blur. Tapi kayaknya pacar bapak agak tomboi ya? Ada foto yang lain nggak, Pak?" Rekan saya ini pun menggeser layar menuju foto-foto yang berikutnya. Semakin layar bergeser, maka semakin terlihat jelas-lah raut wajah sang kekasih, yang ternyata juga seorang pria.

Kaget? Iya, saya kaget.

"Kami memang beda, Bu." ujar rekan saya itu. "Belum pernah punya teman seperti saya ya, Bu?" Saya hanya menggeleng tanpa berkomentar apa-apa.

Sejak peristiwa itu, hubungan saya dengan si rekan guru pria ini tetap baik. Tak sekalipun saya mencoba mengkritik orientasi seks-nya yang (masih) asing bagi saya saat itu. Kami tetap bisa bekerja sama secara profesional di sekolah tersebut. Belakangan saya mengetahui, ternyata hampir semua rekan guru di sekolah tersebut telah mengetahui orientasi seks si rekan guru pria ini.

Tak lama waktu berselang, rekan saya ini memutuskan untuk menjajal pekerjaan di lingkungan yang baru. Kali ini di sebuah sekolah di kota besar. Konsep sekolah baru yang dijajakinya masih serupa. Sekolah yang menjunjung tinggi perbedaan. Saya pun melepas kepergiannya dan berharap yang terbaik bagi rekan saya itu.

Sebelum rekan saya berpindah tempat kerja, ada lagi kejadian yang (lagi-lagi) membuat saya terkejut. Entah saya yang terlalu ndeso, tapi yang jelas ini tetap saja merupakan pengalaman pertama bagi saya.

Dalam salah satu pertemuan dengan orangtua murid, seorang ibu keturunan warga negara asing, yang merupakan orang tua murid kelas 8, mengisahkan bahwa anaknya baru saja mengaku pada dirinya, bahwa ia seorang gay. Menurut cerita ibunya, puteranya telah merasakan bahwa ia tidak tertarik pada perempuan sejak kelas 5 SD.

Saya pun berusaha "membaca" raut wajah si ibu ini saat menceritakan kisah putera-nya. Alih-alih raut kekecewaan, si ibu terkesan sedikit bingung. Bukan bingung bagaimana cara mengembalikan puteranya kembali kepada kodrat-nya, melainkan bagaimana cara menyikapi hal tersebut. Ibu ini menekankan bahwa ia menerima puteranya sebagaimana adanya dia. Jika memang dia dilahirkan sebagai seorang gay, yah terjadilah demikian.

Hmm. Sungguh, saya tak bisa berkomentar apa-apa pada saat itu.

Karena saya lulusan fakultas pendidikan, otomatis kebanyakan teman-teman saya pun berprofesi sebagai guru. Lokasi pekerjaan mereka pun tersebar di beberapa wilayah. Ada yang bekerja di sekolah internasional, sekolah nasional-plus maupun sekolah nasional biasa. Saya pun membagikan kisah "aneh" saya ini kepada mereka.

Di luar dugaan, beberapa teman saya justru tidak terkejut. Bahkan salah satu teman saya yang bekerja di salah satu sekolah swasta yang kental dengan kepercayaan tertentu, mengaku bahwa salah satu rekan kerjanya juga mengakui dirinya sebagai seorang gay.

Hal serupa juga dikisahkan oleh teman saya yang bekerja di salah satu sekolah internasional di kota besar. Ia mengisahkan bahwa hampir semua rekan guru pria yang masih single (belum menikah) di sekolah itu, menyatakan bahwa diri mereka adalah gay.

Lain lagi cerita dari teman saya yang bekerja di salah satu SMA negeri yang berlokasi lumayan jauh dari kota besar.  Sekolah SMA Negeri itu terletak di sebuah kepulauan dan bisa dibilang terpencil. Teman saya mengisahkan bahwa beberapa muridnya kerap menganggap perilaku 'persahabatan' ala gay, lesbi dan sejenisnya sebagai suatu tren yang unik. Beberapa murid perempuan gemar berpenampilan layaknya pria dan berjalan "mesra" dengan sahabat wanitanya yang berpenampilan layaknya perempuan tulen. Demikian pula sebaliknya dengan para murid pria. Entah para murid tersebut memang gay atau lesbian sungguhan, atau mungkin hanya latah ikut-ikutan saja akibat melihat tayangan di media televisi (karena media itulah yang mayoritas bisa dinikmati di lokasi kepulauan itu, menurut teman saya). Baik saya maupun teman saya masih belum tahu.

Sebuah Perspektif tentang LGBT

Berdasarkan penelitian terbaru yang dimuat situs The Telegraph (Inggris), perilaku homoseksual dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan sebelum dan sesudah melahirkan. Hasil penelitian ini sifatnya belum mutlak, karena masih terus dikaji lagi.

Lazimnya seorang guru, tentulah dituntut untuk mengukuhkan pegangannya pada sebuah perspektif yang jelas dalam memandang suatu hal. Misalnya saja dalam memandang fenomena LGBT ini. Sementara para ilmuwan masih terus mencari kebenarannya di luar sana, rasa keingintahuan murid tak bisa menunggu. Mereka menutut sebuah jawaban dari sosok yang mereka angap bisa dipercaya. Selain orang tua mereka, siapa lagi kalau bukan guru di sekolah? Karena mereka adalah pribadi yang masih sedang dalam proses belajar.

Fakta yang terjadi di lapangan, keberadaan sekolah-sekolah yang menawarkan aneka macam kelebihan begitu menjamur, terutama di kota besar. Berdasarkan pengamatan saya, setiap sekolah berusaha menonjolkan kelebihannya masing-masing. Hal ini tercermin dari setiap visi dan misinya. Meski jika dilihat sepintas kelihatannya serupa, namun jika dikaji lebih dalam sebenarnya terdapat perbedaan yang begitu besar.

Sebagai orang tua, yang tak lain adalah "konsumen tak langsung", sebenarnya memiliki banyak pilihan saat memilihkan sekolah yang terbaik bagi putera-puterinya.

Apakah ingin menyekolahkan anak supaya 'sekedar pintar' secara akademis? Ada banyak sekolah yang telah terbukti mampu menjuarai berbagai kompetisi mata pelajaran. Baik skala nasional, maupun skala internasional.

Atau, ingin menyekolahkan anaknya supaya "pintar sekaligus memiliki karakter yang baik"? Hmm, karakter baik seperti apa dulu?  Adakalanya karakter baik versi sekolah, belum tentu sejalan dengan karakter baik versi orang tua.

Banyak sekolah yang menawarkan 'jargon'; bekerja sama dengan orang tua murid untuk menciptakan anak pintar dan berkarakter baik, - tapi tidak didukung sistem yang efektif pada pelaksanaannya di lapangan.  Eksistensi orang tua kerap tidak dilibatkan dalam proses pendidikan murid. Kalau pun dilibatkan, hanya dalam pertemuan formalitas saat momen terima rapor.

Orang tua hanya dituntut rutin membayar SPP, tapi proses pendidikan sebagian besar malah diserahkan pada pihak sekolah, pada guru-gurunya. Tak pernah ada inisitiatif untuk menciptakan wadah berkomunikasi yang efektif antara pihak orang tua dan guru yang bisa dilakukan secara fleksibel.

Padahal inilah hal yang paling penting dilakukan untuk menjembatani perspektif si guru dan perspektif orang tua dalam mendidik anak.  Apa jadinya jika pihak orang tua memiliki perspektif "kontra LGBT", tapi ternyata gurunya justru "pro LGBT"?  Atau malah sebaliknya, orang tua memiliki perspektif "pro LGBT" dan bertekad menerima anaknya sebagaimana adanya, tetapi si guru justru memiliki perspektif "kontra LGBT"? Bisa jadi pihak orang tua malah protes karena anak mereka "ditekan" untuk menjadi pribadi seperti kemauan gurunya.

Setiap manusia pastilah memiliki perspektifnya masing-masing dalam memandang suatu hal. Dalam proses pendidikan, setiap perspektif orang dewasa kerap dijadikan acuan oleh para murid dalam membentuk perspektif mereka kelak.  Berbagai macam perspektif yang para murid serap dalam masa belajarnya, kelak akan membangun pandangan mereka sendiri saat dewasa nanti.

Dalam menyikapi fenomena LGBT, mau dibawa ke mana perspektif si anak? Selain perspektif para guru, perspektif orang tua sebenarnya juga ikut menentukan.  Sayangnya, masih banyak orang tua yang kurang berminat dalam proses pembentukan perspektif ini.  Prinsipnya, yang penting SPP lunas, hasil rapor anak bagus, perilakunya juga OK, jadi tidak ada masalah.  Sudah saatnya, orang tua juga ikut andil dalam proses pendidikan anak dan tidak hanya serta-merta menyerahkan pada para gurunya saja.  

Sebagai guru pun, alangkah sehatnya jika memiliki insiatif untuk membangun komunikasi dan mengajak orang tua ikut terlibat dalam proses pendidikan para murid.  Biar bagaimana, anak merupakan tanggung jawab yang Tuhan berikan pada orang tuanya, bukan?  Jika sebagai guru tidak mengingatkan para orang tua akan tanggung jawab tersebut, lalu siapa lagi?  Atau para guru justru ingin 'kebablasan' mengambil tanggung jawab sebagai orang tua kandung para murid?  Silakan saja jika sudah siap dengan segala konsekuensinya :)

martheressa @hommel_edu

 

REFERENSI:

The latest 'gay gene' study gives no comfort to homophobes.

SUMBER GAMBAR

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun