Mohon tunggu...
Maria Theressa
Maria Theressa Mohon Tunggu... Guru - Seorang praktisi pendidikan yang senang belajar, menulis, dan dikritisi. Karena segala pujian hanya milik Sang Pencipta semata. Akun twitter : @hommel_edu

Seorang praktisi pendidikan yang senang belajar, menulis, dan dikritisi. Karena segala pujian hanya milik Sang Pencipta semata.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora Pilihan

Menyikapi Fenomena LGBT di Lingkungan Pendidikan

23 Februari 2016   16:29 Diperbarui: 25 Februari 2016   13:18 267
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

Kaget? Iya, saya kaget.

"Kami memang beda, Bu." ujar rekan saya itu. "Belum pernah punya teman seperti saya ya, Bu?" Saya hanya menggeleng tanpa berkomentar apa-apa.

Sejak peristiwa itu, hubungan saya dengan si rekan guru pria ini tetap baik. Tak sekalipun saya mencoba mengkritik orientasi seks-nya yang (masih) asing bagi saya saat itu. Kami tetap bisa bekerja sama secara profesional di sekolah tersebut. Belakangan saya mengetahui, ternyata hampir semua rekan guru di sekolah tersebut telah mengetahui orientasi seks si rekan guru pria ini.

Tak lama waktu berselang, rekan saya ini memutuskan untuk menjajal pekerjaan di lingkungan yang baru. Kali ini di sebuah sekolah di kota besar. Konsep sekolah baru yang dijajakinya masih serupa. Sekolah yang menjunjung tinggi perbedaan. Saya pun melepas kepergiannya dan berharap yang terbaik bagi rekan saya itu.

Sebelum rekan saya berpindah tempat kerja, ada lagi kejadian yang (lagi-lagi) membuat saya terkejut. Entah saya yang terlalu ndeso, tapi yang jelas ini tetap saja merupakan pengalaman pertama bagi saya.

Dalam salah satu pertemuan dengan orangtua murid, seorang ibu keturunan warga negara asing, yang merupakan orang tua murid kelas 8, mengisahkan bahwa anaknya baru saja mengaku pada dirinya, bahwa ia seorang gay. Menurut cerita ibunya, puteranya telah merasakan bahwa ia tidak tertarik pada perempuan sejak kelas 5 SD.

Saya pun berusaha "membaca" raut wajah si ibu ini saat menceritakan kisah putera-nya. Alih-alih raut kekecewaan, si ibu terkesan sedikit bingung. Bukan bingung bagaimana cara mengembalikan puteranya kembali kepada kodrat-nya, melainkan bagaimana cara menyikapi hal tersebut. Ibu ini menekankan bahwa ia menerima puteranya sebagaimana adanya dia. Jika memang dia dilahirkan sebagai seorang gay, yah terjadilah demikian.

Hmm. Sungguh, saya tak bisa berkomentar apa-apa pada saat itu.

Karena saya lulusan fakultas pendidikan, otomatis kebanyakan teman-teman saya pun berprofesi sebagai guru. Lokasi pekerjaan mereka pun tersebar di beberapa wilayah. Ada yang bekerja di sekolah internasional, sekolah nasional-plus maupun sekolah nasional biasa. Saya pun membagikan kisah "aneh" saya ini kepada mereka.

Di luar dugaan, beberapa teman saya justru tidak terkejut. Bahkan salah satu teman saya yang bekerja di salah satu sekolah swasta yang kental dengan kepercayaan tertentu, mengaku bahwa salah satu rekan kerjanya juga mengakui dirinya sebagai seorang gay.

Hal serupa juga dikisahkan oleh teman saya yang bekerja di salah satu sekolah internasional di kota besar. Ia mengisahkan bahwa hampir semua rekan guru pria yang masih single (belum menikah) di sekolah itu, menyatakan bahwa diri mereka adalah gay.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun