Lain lagi cerita dari teman saya yang bekerja di salah satu SMA negeri yang berlokasi lumayan jauh dari kota besar. Sekolah SMA Negeri itu terletak di sebuah kepulauan dan bisa dibilang terpencil. Teman saya mengisahkan bahwa beberapa muridnya kerap menganggap perilaku 'persahabatan' ala gay, lesbi dan sejenisnya sebagai suatu tren yang unik. Beberapa murid perempuan gemar berpenampilan layaknya pria dan berjalan "mesra" dengan sahabat wanitanya yang berpenampilan layaknya perempuan tulen. Demikian pula sebaliknya dengan para murid pria. Entah para murid tersebut memang gay atau lesbian sungguhan, atau mungkin hanya latah ikut-ikutan saja akibat melihat tayangan di media televisi (karena media itulah yang mayoritas bisa dinikmati di lokasi kepulauan itu, menurut teman saya). Baik saya maupun teman saya masih belum tahu.
Sebuah Perspektif tentang LGBT
Berdasarkan penelitian terbaru yang dimuat situs The Telegraph (Inggris), perilaku homoseksual dipengaruhi oleh faktor-faktor lingkungan sebelum dan sesudah melahirkan. Hasil penelitian ini sifatnya belum mutlak, karena masih terus dikaji lagi.
Lazimnya seorang guru, tentulah dituntut untuk mengukuhkan pegangannya pada sebuah perspektif yang jelas dalam memandang suatu hal. Misalnya saja dalam memandang fenomena LGBT ini. Sementara para ilmuwan masih terus mencari kebenarannya di luar sana, rasa keingintahuan murid tak bisa menunggu. Mereka menutut sebuah jawaban dari sosok yang mereka angap bisa dipercaya. Selain orang tua mereka, siapa lagi kalau bukan guru di sekolah? Karena mereka adalah pribadi yang masih sedang dalam proses belajar.
Fakta yang terjadi di lapangan, keberadaan sekolah-sekolah yang menawarkan aneka macam kelebihan begitu menjamur, terutama di kota besar. Berdasarkan pengamatan saya, setiap sekolah berusaha menonjolkan kelebihannya masing-masing. Hal ini tercermin dari setiap visi dan misinya. Meski jika dilihat sepintas kelihatannya serupa, namun jika dikaji lebih dalam sebenarnya terdapat perbedaan yang begitu besar.
Sebagai orang tua, yang tak lain adalah "konsumen tak langsung", sebenarnya memiliki banyak pilihan saat memilihkan sekolah yang terbaik bagi putera-puterinya.
Apakah ingin menyekolahkan anak supaya 'sekedar pintar' secara akademis? Ada banyak sekolah yang telah terbukti mampu menjuarai berbagai kompetisi mata pelajaran. Baik skala nasional, maupun skala internasional.
Atau, ingin menyekolahkan anaknya supaya "pintar sekaligus memiliki karakter yang baik"? Hmm, karakter baik seperti apa dulu? Adakalanya karakter baik versi sekolah, belum tentu sejalan dengan karakter baik versi orang tua.
Banyak sekolah yang menawarkan 'jargon'; bekerja sama dengan orang tua murid untuk menciptakan anak pintar dan berkarakter baik, - tapi tidak didukung sistem yang efektif pada pelaksanaannya di lapangan. Eksistensi orang tua kerap tidak dilibatkan dalam proses pendidikan murid. Kalau pun dilibatkan, hanya dalam pertemuan formalitas saat momen terima rapor.
Orang tua hanya dituntut rutin membayar SPP, tapi proses pendidikan sebagian besar malah diserahkan pada pihak sekolah, pada guru-gurunya. Tak pernah ada inisitiatif untuk menciptakan wadah berkomunikasi yang efektif antara pihak orang tua dan guru yang bisa dilakukan secara fleksibel.
Padahal inilah hal yang paling penting dilakukan untuk menjembatani perspektif si guru dan perspektif orang tua dalam mendidik anak. Apa jadinya jika pihak orang tua memiliki perspektif "kontra LGBT", tapi ternyata gurunya justru "pro LGBT"? Atau malah sebaliknya, orang tua memiliki perspektif "pro LGBT" dan bertekad menerima anaknya sebagaimana adanya, tetapi si guru justru memiliki perspektif "kontra LGBT"? Bisa jadi pihak orang tua malah protes karena anak mereka "ditekan" untuk menjadi pribadi seperti kemauan gurunya.