Mohon tunggu...
Muhammad  Arsyad
Muhammad Arsyad Mohon Tunggu... Freelancer - Seorang kapiran dan serabutan

Seorang kapiran dan serabutan. Masih Kuli-ah di IAIN Pekalongan.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Dukun Terakhir

6 Januari 2020   16:27 Diperbarui: 6 Januari 2020   16:51 329
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Semenjak Ki Darsi meninggal, Desa Meduran seperti terkena ajian halimunan. Meduran seperti hilang, tak terdengar lagi eksistensinya. Jangan dibayangkan desa ini hilang wujudnya, bentuknya, susunannya, atau penduduknya. Meduran hanya kehilangan eksistensi, nama besarnya. Dulu, sebelum Ki Darsi wafat, Meduran menjadi desa termasyhur di Pulau Jawa. Pelancong dari penjuru Nusantara kerap kedapatan singgah di desa ini, tak jarang diantara mereka ada yang memilih menetap karena kepincut gadis desa.

Entah karena apa, desa yang hanya berpenduduk tiga ratusan jiwa itu dinamai Meduran. Barangkali banyak orang Madura yang berdomisili di sini, padahal titik koordinat desa ini cukup jauh dari Madura. Mungkin ini yang disebut persebaran alamiah, terjadi begitu saja, tanpa memerdulikan letak koordinat. Alhasil, kebanyakan penghuni Meduran bersuku Madura, dan logat bahasanya mirip orang Madura, meski tak semuanya.

Desa ini tak masuk wilayah kerajaan manapun, Meduran adalah tanah perdikan. Lokasinya nyempil antara Kerajaan Kanjuruhan dan Panataran. Dua kerajaan itu sudah punah, tapi Desa Meduran masih berdiri, dan masih menjadi tanah perdikan.

Cuaca di desa ini biasa-biasa saja, kalau siang hari, warga Meduran belum pernah sedikit pun merasakan teriknya sinar matahari. Kala cuaca di tempat lain mendung, dan hujan deras, Meduran hanya ditimpa gerimis, dan gerimisnya pun tak pernah lebih dari satu jam. Kondisi semacam itu seketika musnah begitu saja usai Ki Darsi meninggal. Desa Meduran sudah tak istimewa lagi, malahan desa ini menjadi desa aneh. Banyak kejadian aneh terjadi di Meduran.

"Sejak Ki Darsi meninggal, kenapa desa kita jadi seperti ini ya kang?" 

"Iya, padahal dulu aman-aman saja ya dik. Kini desa ini sering ketimpa musibah," jawab kang Tinus meladeni pertanyaan isteri.

Isterinya kembali bertanya, kali ini agak ketus. "Apa anaknya itu tidak bisa mewariskan ilmu Ki Darsi ya kang?"

"Mahmudin maksudmu?"

"Iya, siapa lagi."

"Anak itu sama sekali tak mampu mewarisi ilmu Ki Darsi. Bukan saja tak mampu, ia cenderung tidak mau mengikuti jejak ayahnya, apa itu, em... musyrik katanya."

"Iya..iya kang, tampilannya juga berbeda, dulu Ki Darsi suka memakai pakaian serba hitam, tapi kenapa anaknya gemar memakai jubah dan penutup kepala putih," kata si istri semakin ketus.

"Mungkin itu yang namanya fashion dik, gaya hidup. Daespati sejak pulang dari Makkah, semuanya berubah dari mulai namanya sampai penampilannya."

"Nama sudah bagus Daespati, tapi malah diganti Mahmudin. Sangat tidak menghormati kearifan lokal," lanjut istrinya dengan keketusan menjadi-jadi.

Pembicaraan terhenti seketika hujan lebat mengguyur depan rumah kang Tinus. Istrinya yang sedari tadi nyerocos ngomongin Mahmudin belingsatan lari ke belakang, teringat pakaiannya yang baru saja dijemur. Begitulah Meduran sekarang, mau menjemur pakaian saja susah, karena cuaca tak menentu. Hujan dan panas bisa silih berganti hanya dalam hitungan menit, repot. Saat baru menyeruput kopi pada gelas bermotif tentara, kang Tinus melihat seseorang berlari tergopoh-gopoh dari arah jam tiga menuju rumahnya.

"Kang! Kang!" teriak seseorang itu yang nampaknya adalah laki-laki.

"Itu kang... disana," kata lelaki itu lagi, sambil gemetar karena kehujanan.

"Ada apa dun? Bicara baik-baik, tenang." Kang Tinus langsung terkesiap menyahutnya.

"Mpok Iroh kang! Mpok Iroh tenggelam di sungai!" lelaki itu bicara, tak bisa diam tubuhnya.

"Pardun... jangan bohong. Bicara yang jelas. Kenapa bisa tenggelam?"

Agak tenang Pardun menjawab, "Tadi mpok Iroh sedang mencuci pakaian di sungai, terus hujan lebat, debit air langsung naik dan arusnya semakin deras. Mpok Iroh kepeleset dan hanyut."

"Apa! Kenapa kamu lapor ke saya. Kamu temui Mahmudin, dia kan yang pemimpinnya sekarang."

"Sudah, kang. Tapi dia malah nyuruh orang lain untuk menolong mpok Iroh. Sementara kami disuruh mendoakan keselamatan mpok Iroh."

"Suruh berdoa? Dia tidak terjun ke sungai menyelamatkan mpok Iroh? Lantas dia sedang apa sekarang?"

"Mahmudin sedang duduk di sungai sambil menghitung biji tasbih. Warga yang bisa berenang terjun ke sungai menolong mpok Iroh. Yang lain menunggu di bibir sungai."

"Kalau begitu, ayok kita ke sana!"

Hujan tiba-tiba berhenti, kang Tinus dan Pardun secepatnya ke lokasi. Sesampainya di sana, mpok Iroh belum ditemukan. Warga yang mencarinya berkesimpulan bahwa mpok Iroh sudah hilang, ia dihanyutkan aliran sungai. Sementara Mahmudin berdiri dan menghampiri kang Tinus.

"Ia sudah hanyut, kita tak bisa melawan takdir," kata Mahmudin.

"Harusnya bisa kalau kamu ikut membantu mencarinya. Dulu ayahmu Ki Darsi, selalu bisa menolong warga. Tapi kamu tidak!" kang Tinus bicara dengan nada yang agak meninggi.

"Aku bukan seperti ayahku, ia berbuat musyrik, tak boleh menyekutukan Allah," katanya.

Kang Tinus hampir saja memukulnya, tapi Mahmudin segera memalingkan muka dan pergi meninggalkan kang Tinus beserta warga. Kejadian seperti itu berulang kali terjadi, ada warga yang selamat karena ditolong warga lain, ada yang nahas meninggal. Sementara sikap Mahmudin masih sama, ia tak mau turun tangan menolong, hanya doa yang terus-menerus ia panjatkan, walaupun sepertinya tak ada satu pun doa yang mustajab.

Lambat laun, warga Meduran semakin mafhum dengan sikap Mahmudin, walau ia terkadang bersikap tak peduli. Tapi ia lambat laun pula menjelma sebagai pemimpin yang dipercaya warganya.

Jalan desa yang rusak, seiring berjalannya waktu dan terus ditimpa hujan dan panas secara cepat, jalan itu semakin rusak. Melihat itu, Mahmudin merasa perlu adanya perbaikan jalan. Ia lalu mengumpulkan warga ke Balai Warga, mengadakan sebuah pertemuan terbuka. Mahmudin menyampaikan hasratnya itu untuk merenovasi jalan desa. Tetapi karena Meduran adalah tanah perdikan, sedang pembiayaan tak pernah disokong dari kabupaten maupun negara, para warganya harus rela patungan.

Semua warga yang berkumpul di Balai Warga menyumbangkan apapun yang dapat mereka sumbangkan. Ada yang menyumbang sejumlah uang,beras,jagung, ataupun hasil panen lainnya, karena kebetulan warga Meduran kebanyakan seorang petani dan bekerja di perkebunan. Warga yang merantau ke luar desa juga turut menyumbang, kebanyakan dari mereka menyalurkan emas dan perak. Dari sekian banyak sumbangan, tak ada pemberian berupa material bangunan, karena tak ada yang tahu lokasi membelinya.

Semuanya disimpan dan dikelola langsung oleh Mahmudin. Hingga akhirnya pengerjaan memperbaiki jalan dimulai. Jalan mulai diaspal dari  sudut paling barat dan apabila sesuai rencana berakhir di depan rumah kang Tinus yang berada paling timur desa. Namun sudah sebulan lebih, pengaspalan jalan belum kunjung sampai di depan rumah kang Tinus. Jangankan sampai di sana, pengerjaan jika dihitung-hitung baru sepertiganya saja.

Rasman mengeluh, "Sudah sebulan lebih tapi pengaspalan jalan mentok segitu saja ya?"

"Iya, para pekerjanya malas ini," kata Pardun.

"Harusnya kita saja yang melakukannya." Tegas kang Tinus.

Rasman tertawa, "Kita mana bisa kang. Mengaspal jalan itu bukan perkara mudah."

Akhirnya mereka tertawa. Mereka sadar, taraf pengetahuan warga Meduran sangat terbelakang. Perkara material untuk mengaspal saja mereka tidak tahu, apalagi mengaspal jalan itu sendiri. Mereka tertawa karena mereka sadar kalau mereka terbelakang.

"Tapi..." Pardun memecah tawa.

Kang Tinus menimpali, "Tapi kenapa dun?"

"Apa kalian tidak merasakan keanehan? Maksud saya, perasaan dulu kita menyumbang banyak sekali barang dan uang, tapi buat mengaspal jalan yang panjangnya tak seberapa belum nyukup?"

Rasman menanggapi, "Ya mungkin harga materialnya mahal dun, belinya jauh, butuh ongkos juga ke sananya."

"Saya rasa Pardun ada benarnya. Namun kita tidak tahu juga apa yang dilakukan Mahmudin dengan sumbangan yang kita berikan."

"Jangan-jangan uang kita diembat, barang-barang kita raib," kata Pardun.

Rasman memotong, "Tidak, tidak. Kita tak boleh gelap mata seperti itu."

"Dulu, kita bisa minta Ki Darsi menerawangkan apa yang tengah terjadi. Kini, kita tidak tahu apa yang ada di hati pemimpin kita, dan apa kejadian sebenarnya," ungkap kang Tinus.

Sedang enak bergunjing di warung, perempuan dengan postur tubuh lumayan tinggi menghampiri Rasman, kang Tinus,dan Pardun. Sontak mata mereka terbelalak melihat perempuan muda dengan kulit kuning langsat, rambut terurai kira-kira setengah meter, berpakaian layaknya orang kota, tapi tanpa sepatu high hills. Perempuan itu menanyakan keberadaan Ki Darsi.

"Maaf akang-akang, akang teh kenal Ki Darsi?"

"Aya naon neng cari Ki Darsi? Eneng kenal dengan Ki Darsi?" tanya Pardun mengikuti logat sunda.

"Akang mah, ditanya malah balik nanya. Iya, saya kenal sama Ki Darsi, dan ingin bertemu dengannya. Sekarang keberadaannya dimana kang?"

"Aduh, ngapura neng. Orang yang eneng cari sudah lama meninggal," kang Tinus mencoba menjelaskan.

Mendadak perempuan itu menangis, air matanya mengucur sampai ke hidung. Kemudian Rasman menegurnya.

"Loh neng, kenapa menangis?"

"Kamu ini sebenarnya siapa?" tanya kang Tinus.

"Saya Rara Wisranti, putri bungsu Ki Darsi."

Sontak kang Tinus terkejut, ia sebagai yang paling tua sekaligus sahabat dekat Ki Darsi jelas mengenal perempuan itu.

"Neng Rawis, benarkah ini kamu?" tanya kang Tinus seolah tak percaya.

"Iya kang, saya anak perempuan Ki Darsi. Aki kerap memanggil saya Rawis." Kang Tinus pun berdiri.

"Walah, tidak terasa kamu sudah dewasa neng, semenjak dititipkan Ki Jasum di Gunung Lawu penampilanmu kok sedikit berubah?"

"Iya kang, sejak tak lagi merguru pada Ki Jasum, saya merantau ke kota, dan saya kembali ke Meduran karena ingin bertemu ayah saya. Tapi.."

"Sudah jangan menangis," kang Tinus menenangkan. "Biarkan ayahmu mengurus urusannya di sana."

Rawis pun dipersilakan duduk di warung. Kang Tinus dan yang lain mengajaknya berbicara panjang lebar. Kang Tinus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepada Rawis, mulai dari kematian Ki Darsi, hingga apa yang sudah diperbuat Daespati, kakaknya. Rawis tercengang mendengar kelakuan kakaknya yang sama sekali tak mencerminkan anak Ki Darsi.Ia pun mencoba menerawang, dengan mengucap jejampian, ia berhasil memperlihatkan apa yang sebenarnya dilakukan Mahmudin di belakang warga.

"Apa itu neng?" tanya Pardun ketap-ketip matanya meihat tangan halus Rawis yang memancarkan cahaya.

"Lihatlah!" usai merapalkan jejampian, Rawis meminta orang di sana melihat ke arah telapak tangannya.

"Sialan! Keparat!" umpat kang Tinus.

"Apanya yang keparat kang?" Pardun bertanya.

"Lihat saja sendiri."

"Bajingan tengik! Dia telah mengkhianati kami." giliran Pardun mengumpat.

"Kita harus bagaimana kang?" tanya Rasman.

"Aku akan menghajarnya!" kang Tinus hendak beranjak, namun Rawis menahan tangannya.

"Nanti dulu, kang!"

"Kenapa? Kamu takut abangmu mati?" tanya kang Tinus menoleh ke arah Rawis, wajahnya berbinar.

"Walau bagaimana, Mahmudin anak Ki Darsi, dan saya adiknya." Jawab Rawis, melepaskan tangan kang Tinus.

Kang Tinus berbalik, "maksudmu..." belum selesai bicara, Rawis langsung nyamber.

"Iya, biar saya yang urus Mahmudin." Setetes air mata keluar dari mata Rawis.

"Kamu hendak membunuhnya?"

"Mana mungkin saya membunuhnya, dia keluarga saya."

"Lantas?" Pardun penasaran.

"Aku akan mengiriminya mantra."

Semua orang terkejut, tak terduga perempuan itu hendak menyakiti Mahmudin lewat jampi-jampi. Rawis meminta mangkok pada pemilik warung, ia merogoh tas selempang lusuh, segenggam bunga kamboja diambilnya dari dalam tas dan memasukkannya ke mangkok. Rawis meminta teh pada pemilik warung dan menuangnya ke dalam mangkok. Mulutnya komat-kamit merapal mantra.

Mahmudin selesai Salat Ashar, ia memasukkan tangan kanan ke dalam saku kanan baju kokonya. Sekalung tasbih ia ambil dan memulai berdzikir. Lafaz demi lafaz ia rapalkan urut. Di warung, bibir Rawis tak mau diam, terus merapalkan mantra. Ia membaca mantra itu lama sekali, sementara Mahmudin selesai berdzikir. Ia letakkan tasbih di atas sajadah dan menengadahkan tangan, berdoa. Doanya singkat, Mahmudin pun bergegas berdiri.

Rawis masih terlihat bergeming merapalkan mantra, matanya terpejam. Tangannya tak berhenti bergerak-gerak di atas mangkok berisi teh dan bunga kamboja. Tiga orang lainnya hanya terpaku memandangi Rawis. Cukup lama ia merapalkan mantra dana akhirnya berhenti, Rawis terdiam, wajahnya mendadak pucat pasi, matanya terbuka tapi agak sayu. Pyarr! Mangkok terjatuh dan pecah, Rawis pun jatuh tersungkur ke tanah di depan warung, ketiga lelaki sedari tadi memandanginya bergegas menolong Rawis.

"Kenapa perempuan ini?" kata Rasman memegang tangan Rawis. Pardun memeriksa leher perempuan itu.

"Ia masih hidup, kemungkinan dia pingsan," kata Pardun.

"Cepat bawa ke dalam," kang Tinus menyuruh dua temannya membopong Rawis, ia sendiri melesat pergi dari warung. Tak ada yang tahu kemana kang Tinus pergi, karena tak ada pula yang berani bertanya. Rawis yang tak sadarkan diri dibopong masuk oleh kedua lelaki itu, beruntung pemilik warung sangat baik, ia mempersilakan Rawis untuk dibawa masuk.

Mahmudin hendak keluar rumah sejenak, ia sudah merencanakan sesuatu sore ini. Pintu rumah setinggi satu setengah meter dibukanya. Satu pukulan mengejutkan tiba-tiba melayang ke pipinya sebelah kanan. Ia menoleh, ternyata kang Tinus pelakunya. Mahmudin mencoba mengajak kang Tinus berdialog, ada apa gerangan memukulnya? Tak sempat ia bertanya, satu tinju lagi dilesatkan ke pipi sebelah kirinya.

Mahmudin tak punya kesempatan melawan, kaki kang Tinus melesat ke perutnya dan membuat masuk kembali ke dalam rumah, dan tersungkur. Kang Tinus menindihnya, dan menghajarnya habis-habisan. Hidung Mahmudin keluar darah menetes, kang Tinus tak peduli, ia terus menjotosnya. Giliran mulut Mahmudin yang mengeluarkan darah. Masa bodoh, kang Tinus terus menghajarnya, sampai-sampai Mahmudin tak sadarkan diri.

Puas membuat Mahmudin, kang Tinus enyah dari tempat itu dan kembali ke warung tadi. Sepanjang perjalanan ia terus menggerutu, dan merasa puas sekali menghabisi Mahmudin. "Mampus kau ustaz tengik," pikirnya. Ia sampai ke warung, dicarinya Rawis ke dalam rumah pemilik warung. Ia tak ada di sana.

"Kemana Rawis?" tanya kang Tinus kepada pemilik warung.

"Sudah dibawa pergi."

"Kemana?" kang Tinus penasaran.

"Ke Balai Warga, ada peluru di perutnya."

"Peluru?" seolah tak percaya, mata kang Tinus melotot.

"Iya, sepertinya ia kena tembak, beruntung ia seorang dukun. Kemungkinan ia gagal mengeluarkan peluru dari ususnya. Perempuan itu hanya bisa menahan rasa sakit dengan ramuan-ramuan."

"Kenapa tak bawa ke klinik?" wajah kang Tinus cemas.

"Sukmanya sudah lepas dari raganya."

"Apa maksudmu?" wajah kang Tinus berkaca-kaca.

"Apa kamu tuli? Meninggal kang, perempuan itu meninggal. Warga sedang berkumpul di sana sebelum prosesi pemakaman."

Seperti tersambar petir di siang bolong, kabar kematian Rawis begitu mengejutkan kang Tinus. Ia tahu, kini sudah tidak ada lagi yang bisa meneruskan perjuangan Ki Darsi. Anak perempuannya sudah meninggal, anak laki-lakinya memang barangkali masih selamat, tapi Mahmudin mustahil mau menjadi dukun. Kang Tinus hanya bisa duduk di warung, sendirian dengan tatapan kosong, ia gagal menangani Mahmudin, dan tidak bisa berbuat banyak untuk menolong Rawis. Ia merasa sudah mengkhianati kepercayaan ki Darsi kepadanya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun