"Saya Rara Wisranti, putri bungsu Ki Darsi."
Sontak kang Tinus terkejut, ia sebagai yang paling tua sekaligus sahabat dekat Ki Darsi jelas mengenal perempuan itu.
"Neng Rawis, benarkah ini kamu?" tanya kang Tinus seolah tak percaya.
"Iya kang, saya anak perempuan Ki Darsi. Aki kerap memanggil saya Rawis." Kang Tinus pun berdiri.
"Walah, tidak terasa kamu sudah dewasa neng, semenjak dititipkan Ki Jasum di Gunung Lawu penampilanmu kok sedikit berubah?"
"Iya kang, sejak tak lagi merguru pada Ki Jasum, saya merantau ke kota, dan saya kembali ke Meduran karena ingin bertemu ayah saya. Tapi.."
"Sudah jangan menangis," kang Tinus menenangkan. "Biarkan ayahmu mengurus urusannya di sana."
Rawis pun dipersilakan duduk di warung. Kang Tinus dan yang lain mengajaknya berbicara panjang lebar. Kang Tinus menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi kepada Rawis, mulai dari kematian Ki Darsi, hingga apa yang sudah diperbuat Daespati, kakaknya. Rawis tercengang mendengar kelakuan kakaknya yang sama sekali tak mencerminkan anak Ki Darsi.Ia pun mencoba menerawang, dengan mengucap jejampian, ia berhasil memperlihatkan apa yang sebenarnya dilakukan Mahmudin di belakang warga.
"Apa itu neng?" tanya Pardun ketap-ketip matanya meihat tangan halus Rawis yang memancarkan cahaya.
"Lihatlah!" usai merapalkan jejampian, Rawis meminta orang di sana melihat ke arah telapak tangannya.
"Sialan! Keparat!" umpat kang Tinus.