Sebelum ditawan dan akhirnya dibunuh oleh seorang komandan perang Portugis, Joko Gendeng sudah melahirkan satu murid, namanya Mat Belor. Kelak dialah yang akan membalaskan dendam kematian sang guru dari tangan Portugis. Namun, hal itu jelas sia-sia, karena Portugis sudah enyah dari Nusantara, dan terusirnya Portugis membawa petaka lain bagi rakyat Nusantara, pasalnya giliran Belanda yang mengusik ketenangan penduduk yang sempat tenang beberapa hari sebelum tentara Belanda itu datang.
Kedatangan Belanda malah bukan menjadi petaka bagi Mat Belor, melainkan sebaliknya. Mat Belor yang tengah mengembara di Madukara justru menjadi ancaman lain bagi rakyat Madukara. Bagaimana tidak, Mat Belor adalah petarung tangguh, hampir setiap orang yang lewat sudah dibunuhnya, atau paling tidak terluka jika kebetulan harus berhadapan satu lawan satu dengan Mat Belor. Prestasi terbaiknya adalah membunuh seorang Mayor dari KNIL yang beberapa waktu lalu sempat menghalanginya berjumpa dengan Gubernur untuk menagih jatah pajak. Ini yang menjadi kehebatan dari seorang Mat Belor, dia sanggup untuk melumpuhkan sepuluh orang hanya dengan beberapa pukulan saja. Bahkan seorang gubernur pun tak kuasa untuk membendung apalagi menolak apa yang dia inginkan.
Suatu sore, di pojok kota Madukara, sekelompok orang tengah ngopi di warung yang kebetulan milik pribumi. Nampak beberapa petarung sedang menggunjingkan Mat Belor, mereka saling tawa, Â saling bercanda, dan sesekali menghisap rokok dan menyeruput kopi. Di jalan berlalu lalang beberapa prajurit yang selalu siaga kalau-kalau ada yang memberontak pada pemerintahan kolonial. Kadang kala, juga nampak beberapa prajurit yang secara kasar menyeret orang yang coba memberontak pada pemerintahan kolonial.
Sore itu berlangsung agak mencekam suasananya, hingga salah seorang petarung mulai angkat bicara.
"Diantara kalian siapa yang pernah berjumpa dengan Mat Belor?" kata seorang petarung yang baru saja mengepulkan asap rokoknya memulai pembicaran.
"Saya pernah menemuinya kemarin di dekat markas KNIL," jawab Jembul salah seorang dari mereka.
"Benarkah itu tuan?" tanya Wage, salah seorang petarung juga yang seolah tak percaya.
"Iya benar. Bahkan saya sempat bertarung dengannya," Jembul menanggapinya dengan mantab.
"Lantas kenapa kamu masih hidup?" tanya Wage lagi, seolah benar-benar tidak yakin.
"Dia adalah petarung yang hebat, olah kanuragannya cukup piawai yang hampir mirip dengan legenda Pasundan, Prabu Siliwangi. Saya pun hampir tewas saat menghadapinya. Tapi bukan Jembul namanya kalau tidak bisa lari dari petarungan yang akan berujung maut itu," Jembul menjawabnya dengan ketenangan.
"Bagaimana caranya?" Wage bertanya kembali.