Mohon tunggu...
Markus Lettang
Markus Lettang Mohon Tunggu... Pengacara - Asisten Pelayanan Hukum LBH Apik Jakarta

Fakultas Hukum Universitas Pamulang; Ario Basyirah And Patners Law Firm.

Selanjutnya

Tutup

Hukum

Anak Melakukan Tindak Pidana Serius, Dapatkah Diupayakan Diversi?

23 Juli 2024   16:25 Diperbarui: 23 Juli 2024   16:27 141
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Markus Lettang Saat Penaganan Perkara ABH  di Polda Metro Jaya (Dokpri)

Penulis akan menulis dengan struktur sebagai berikut: Pertama, Penulis akan menguraikan ketentuan tentang diversi lalu memberikan pendapat bahwa aparat penegak hukum dapat mengupayakan diversi terhadap Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) yang melanggar ketentuan pidana yang ancaman pidananya 7 tahun atau lebih; Kedua, penulis akan berargumentasi bahwa aparat penegah hukum dapat pula mengupayakan diversi terhadap ABH yang melakukan tindak pidana serius, misalnya pembunuhan; Ketiga, Penulis mengahiri dengan beberapa pernyataan sebagai pembelaan terhadap kritikan atas pendapat penulis.

Tindak pidana Serius dalam konteks ini adalah tindak pidana pembunuhan, tindak pidana narkotika dan tindak pidana terorisme.

Anak menurut Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 Tentang Perubahan Atas Undang-undang Nomor 23 Tahun 2002 Tentang Perlindungan Anak, Pasal 1 ayat (1) bahwa:

Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.

Dalam konteks diversi, Undang-undang Nomor 11 Tahun 2012 Tentang Sistem Peradilan Pidana Anak (UU SPPA) melalui Pasal 7 Ayat (1) memerintahkan kepada aparat penegak hukum untuk melakukan upaya diversi terhadap Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) yang diduga melakukan tindak pidana dengan kategori sebagaimana tersebut dalam Pasal 7 ayat (2). Adapun rumusan lengkap Pasal 7 UU SPPA sebagai berikut:

"Pasal 7

(1.) Pada tingkat penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan perkara Anak di pengadilan negeri wajib diupayakan Diversi.

(2.) Diversi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dilaksanakan dalam hal tindak pidana yang dilakukan:

a. diancam dengan pidana penjara di bawah 7 (tujuh) tahun; dan

b. bukan merupakan pengulangan tindak pidana."

Lalu, Pasal 9 UU SPPA menyatakan bahwa:

1. Penyidik, Penuntut Umum, dan Hakim dalam melakukan Diversi harus mempertimbangkan:

a. kategori tindak pidana;

b. umur Anak;

c. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; dan

d. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

Lalu, penjelasan otentik Pasal 9 Ayat (1) Huruf a bahwa:

"................, Diversi tidak dimaksudkan untuk dilaksanakan terhadap pelaku tindak pidana yang serius, misalnya pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme, yang diancam pidana di atas 7 (tujuh) tahun."

Memperhatikan penjelasan Pasal 9 ayat (1) huruf bahwa "pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme tidak dimaksudkan untuk diupayakan diversi."

Namun, apakah ketentuan pasal a quo harus dimaknai secara ketat?

Sebelum menjawab pertanyaan ini secara tegas, penulis identifikasi beberapa komponen sebagai indikator, yaitu:

Pertama, Pembentuk undang-undang hanya mengatur/menentukan sebuah perbuatan sebagai perbuatan pidana secara umum; Kedua, ketentuan yang bersifat mengatur adalah konten primernya, bukan penjelasannya. Penjelasan hanya salah satu dari model penafsiran, sama hal dengan penafsiran historis.

Ketiga, Doktrin hukum menyediakan berbagai metode pemaknaan terhadap teks undang-undang, dan aparat penegak hukum secara Ex -- officio dapat memilih metode apa yang hendak digunakan.

Keempat, APH adalah stakeholder yang bersentuhan dan mengalami langsung sebuah peristiwa konkret (peristiwa pidana) dan mempunyai kebijaksanaan untuk melihat jauh ke depan dan mendalam melebihi pengetahuan pembuat undang-undang, karena itu ia mengetahui bahwa setiap kasus konkret mempunyai karakter khusus yang tidak diketahui oleh pembentuk undang-undang pada saat menciptakan sebuah undang-undang (impunitas), sehingga jika ia mendewakan teks undang-undang secara ketat dapat menimbulkan ketidakadilan.

Dalam konteks ini, Fuller mengatakan bahwa salah satu cara untuk menghindari hasil yang tidak adil dalam menafsirkan undang-undang adalah dengan cara yang bertentangan dengan ketentuan ketentuan yang jelas.

Dalam konteks ABH, bila memperhatikan secara sistematik dan komprehensif UU Perlindungan anak, UU SPP, dan peraturan-perundangan-undangan di bawahnya, diketahui roh daripada perundangan perundang-undangan a quo adalah kepentingan terbaik bagi anak berhadapan dengan hukum.

Sampai di sini, Penulis memberikan pendapat hukum terhadap ketentuan Pasal 7 ayat (1) Jo Pasal 9 ayat (1) sebagai berikut:

Pertama, Ancaman pidana 7 tahun atau di atasnya (kategori tindak pidana) bukan syarat tunggal untuk menentukan dapat tidaknya dilakukan diversi, melainkan harus dikombinasi pula dengan komponen lain, yaitu: 1. umur anak; 2. hasil penelitian kemasyarakatan dari Bapas; 3. dukungan lingkungan keluarga dan masyarakat.

Kedua, Pasal 7 Ayat (1) Jo Pasal 7 Ayat (2) Pada pokoknya bahwa UU SPPA memerintahkan (wajib) kepada aparat penegak hukum yang bersangkutan untuk melakukan upaya diversi terhadap Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) yang diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana di bahwa 7 tahun. Norma kewenangan dalam konteks ini adalah norma kewenangan yang bersifat perintah (wajib/Gebond).

Bila Rumusan Pasal 7 Ayat (1) Jo Pasal 7 Ayat (2) a quo diformulasikan secara a contrario (penafsiran a contrario) maka aparat penegak hukum yang bersangkutan dapat melakukan diversi terhadap Anak Berhadapan Dengan Hukum (ABH) yang diduga melakukan tindak pidana dengan ancaman pidana di atas 7 tahun. Dalam konteks ini, norma kewenangan bersifat izi (dapat). Norma kewenagan dalam konteks ini disebut diskresi.

Dengan demikian, UU SPPA telah memberikan diskresi kepada aparat penegak hukum untuk melakukan atau tidak melakukan upaya diversi terhadap ABH yang melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya 7 tahun bahkan di atasnya.

Lantas, Apakah tindak pidana pembunuhan, pemerkosaan, pengedar narkoba, dan terorisme masuk dalam lingkup kewengan diskersi? Menurut penulis, Betul bahwa perbuatan membunuh dan terorisme adalah tindak pidana yang eksistensinya adalah mala in se (perbuatan buruk sejak semula); dan narkoba adalah mala in prohibita (kemudian ditentukan sebagai perbuatan pidana). Ketiganya adalah perbuatan yang jahat (tindak pidana). Namun, dalam konteks proses sistem peradilan pidana, kita tidak bisa mengenalisir. Harus memperhatikan dan mengidentifikasi secara detai setiap kasus konkret, karena setiap peristiwa pidana (tindak pidana) mempunyai atribut berbeda.

Dalam peristiwa tertentu, ABH (sebagi subjek delik) lahir dan dibentuk oleh lingkungan yang kejam (hidup dan dibesarkan dalam ketidakadilan). Oleh karena itu, pertanyaan dalam konteks ini, adakah kemungkinan ABH a quo dapat menjadi pribadi yang lain selain menjadi orang yang kejam/penjahat/pembunuh?

Betul bahwa ia melakukan tindak pidana yang serius (penjahat), tapi apakah untuk itu ia dilahirkan? Apakah untuk itu tujuan awal hidupnya?

Atau, jangan-jangan puluhan tahun dia hidup dalam kekejaman dan penderitaan (ketidakadilan). Namun, tidak ada orang yang menolongnya, bahkan penegak keadilan (aparat penegak hukum) yang hendak menindaknya pun tidak!

Menurut penulis, meskipun ABH melakukan tindak pidana pembunuhan, narkoba, terorisme. Latar belakang historis dan pengalaman hidup yang pahit, yang membentuk ia sebagai pribadi yang kejam semestinya dapat menjadi alasan bagi aparat penegak hukum untuk mengupayakan diversi.

Sampai di sini, tegasnya, bila ABH melanggar ketentuan pidana yang ancaman pidananya di bawah 7 tahun, maka aparat penegak hukum wajib mengupayakan diversi. Sebaliknya, bila ABH melanggar ketentuan pidana yang ancaman pidananya 7 tahun atau di atas 7 tahun, maka aparat penegak hukum dapat mengupayakan diversi.

Penulis menyadari bahwa pendapat ini akan dikritik dengan alasan bahwa jika melakukan diversi terhadap ABH yang melakukan tindak pidana serius, maka di masa mendatang, dikwatirkan anak-anak lain akan melakukan tindak pidana yang sama dan akan mendapat validasi (rasionalisasi) berdasarkan pendapat ini. Untuk itu, sebelum mengakhiri tulisan ini, perlu penulis tegaskan beberapa hal sebagai pembelaan sebagai berikut:

Pertama, ABH adalah subjek hukum. Oleh karena itu tidak bisa dijadikan sebagai alat untuk mencegah tindakan serupa di masa depan.

Kedua, Adakah jaminan kepastian bahwa dengan memproses pidana (tanpa upaya diversi) terhadap ABH mencegah kejahatan serupa dimasa depan? Jika tidak, mengapa menjadikan ABH sebagai alat pencegahan terhadap sesuatu yang belum pasti.

Ketiga, Apakah tidak ada cara lain untuk mencegah kejahatan serupa di masa depan selain menjadikan ABH sebagai alat pencegahan kejahatan.

Penulis: Markus Lettang

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Hukum Selengkapnya
Lihat Hukum Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun