Fakta-fakta itu membuat Indonesia kalah jauh dengan negara maju. Mereka mempulikasi sekitar 30 ribu judul buku per tahun dibanding penduduk Indonesia yang kurang lebih 250 juta orang, jelas jauh. Perbandingannya satu orang belum bisa membaca satu buku. Padahal di negara maju, satu orang bisa membaca tiga sampai lima buku. Di Indonesia malah kebalikannya. Tiga sampai lima buku dibaca oleh hanya satu orang.
Pengalaman dengan mata dan kepala membuktikan bahwa bangsa kita amat lemah untuk urusan literasi. Kepedulian bangsa maju apa mereka datang dari utara atau selatan menunjukan bahwa mereka sangat mandiri untuk urusan literasi.
Craig Pentland, teman saya sejak tahun 1996 dari Perth- Australia setiap kali datang berlibur ke Sumatera selalu tak pernah lupa menamatkan bacaan tentang Indonesia. Terakhir ia menghadiahkan saya buku “The Rainbow Troop- atau Laskar Pelangi”, karya Andre Hirata dalam versi Bahasa Inggris. Rekan- rekan yang datang dari utara- Eva, Guni dan Ulla Mo (dari Swedia) juga sangat bergairah saat mengomentari buku- buku yang barusan mereka baca. Begitu juga dengan Benjamin dan Celine (dari Perancis) yang menanyakan:
“Siapa nama pengarang Indonesia yang cukup populer dan dimana saya bisa membeli atau memperoleh buku-buku tersebut ?”
Sungguh literasi telah menjadi kebutuhan kognitif utama mereka. Ibarat kebutuhan perut akan makanan dan minuman yang selalu perlu kita cari tiap hari. Pantaslah Bangsa Australia, Swedia dan Perancis lebih maju. Warga negara mereka yang sangat peduli dan butuh dengan literasi ikut memajukan SDM negara mereka.
Akhirnya sosialisasi atau pelatihan Kurikulum 13 yang saya ikuti pada sebuah hotel di Padang berakhir. Ada rasa optimis bahwa program literasi juga menjadi program yang diprioritaskan di sekolah. Semua sekolah- stake holdernya- juga segera menggelar program penguatan literasi sekolah.
Hari berlalu dan minggu berganti, program literasi yang sempat bergema hanya sebatas wacana dan sebatas slogan. Bukankah semua sekolah lebih peduli untuk mengejar skor, demi menjaga nama baik sekolah, nagari, instansi, dan hingga kabupaten atau propinsi. Maka program active learning dan penguatan literasi terasa sepi kembali dan tidak jelas wujudnya. Yang ada hanyalan pelatihan dan pelatihan untuk memacu kehebatan kognitif. Skor yang tinggi melalui kekuatan kognitif bakal bikin orang akan berdecak kagum.
Dalam buku “School Healing- Menyembuhkan Problem Sekolah” yang ditulis oleh Marjohan (Terbitan :Insan Madani, Yogyakarta, 2009) dapat dibaca bahwa literasi memang merupakan problem di sekolah. Beberapa sub- judul kupasan buku ini: Budaya Membaca dan Menulis Masih Minim Di Sekolah, Menumbuhkan Budaya Gemar Belajar Dan Hidup Mandiri, dan Kemandirian dalam Belajar Perlu Ditingkatkan.
Ini menunjukan bahwa program literasi belum menjadi agenda utama. Dengan arti kata bahwa perpustakaan yang semrawut, minat baca yang rendah, motivasi belajar yang rendah belum merupakan kekhawatiran yang besar dari warga sekolah. Pada hal cukup banyak program- program unggulan yang kebijakannya dari pusat telah dirancang/ ditulis oleh pakar pendidikan untuk segera diimplementasikan. Namun karena minimnya budaya literasi- yaitu kemampuan seseorang (masyarakat sekolah) dalam menggunakan informasi tertulis atau cetak untuk mengembangkan kualitas diri susah buat terwujud.
Petunjuk untuk melaksanakan gerakan literasi sekolah, ternyata sudah dirancang. Sayangnya sejumlah orang yang katanya punya peran dalam manajemen pendidikan, tidak memahami/ membaca buku petunjuk tersebut. Pemerintah melalui Departemen Pendidikan Nasional telah merancang parameter sekolah yang telah membangun budaya literasi yang mencakup lingkungan fisik, Lingkungan Sosial dan Afektif dan Lingkungan Akademik. Gambarannya sebagai berikut:
a). Lingkungan Fisik