'Dor! Dor! Dor!'
"Kak Tyco, buka pintunya!"
Gue menggedor-gendor pintu rumah sambil memanggil kakak gue yang k*rang *jar itu.
"Kak Tyco!" Gue kembali memanggilnya, tetapi tidak ada jawaban juga. Ke mana si ini orang? Gue pun mencoba membuka pintunya, ternyata tidak dikunci. Lalu gue masuk.
"Kak Tyco, di mana lo? Keluar sini!" Gue teriak-teriak seperti di hutan memanggilnya.
"Apa sih? Berisik banget lo!" Kak Tyco menjawab tidak lama kemudian.
"K*rang *jar banget lo! Ninggalin gue sendirian di caffe. Malah belum dibayar lagi makanan sama minumannya,"
"Oh iya, gue lupa kalau ngajak lo ke caffe tadi. Soalnya tadi juga pas di toilet Angel telpon gue kalau dia udah di depan rumah, yaudah gue pulang, deh. Hahaha, sorry ya?"
(Btw, Angel itu pacarnya Kak Tyco)
"Sorry lo bilang? Gue kaget setengah mati pas pelayan caffe bilang kalau pesenannya belum dibayar. Untung aja gue masih ada duit, kalau gak ada, kan, gue pasti disuruh nyuci piring dulu."
"Hahaha... Pasti lo panik banget tadi?"
"Bukan panik lagi gue. Jahat banget lo niggalin adek lo sendirian. Terus tadi di jalan gue dimaki-maki sama orang-orang lagi,"
"Dimaki-maki gimana? Lo emang ngapain?"
"Udah, ah. Males gue sama lo. Pokoknya lo kakak terjahat di dunia, karna udah ngebiarin adek lo yang buta ini sendirian di luar rumah!"
"Jadi lo marah sama gue? Sorry, Yo."
Setelah mendengar ucapan terakhir Kak Tyco tersebut, gue tidak bisa menahan air mata yang sedari tadi pengin keluar. Gue menangis sejadi-jadinya. Gue gak marah sama lo, Kak. Tapi gue marah sama orang-orang yang memperlakukan gue yang gak baik di jalan tadi.
"Tyo, kok lo nangis? Tadi di jalan kenapa? Ada yang luka? Ada yang sakit? Mana yang sakit? Tunjukkin ke gue, biar gue obatin." Kak Tyco berkata dengan panik setelah tahu adik lelakinya ini meneteskan air mata. Apaan, sih, gue? Jadi cengeng gini. Tapi jujur, dada gue sesak.
"Hati gue yang sakit, Kak. Orang-orang di jalan tadi memperlakukan gue yang gak baik. Tadi gue sempat jatuh, kan, terus tongkat gue ke lempar gak tahu ke mana. Bukannya membantu, mereka malah maki-maki gue karena gue menghalangi jalan mereka.
Jadi gitu ya, sikap mereka sama orang-orang yang punya kekurangan di luaran sana? Gue bisa terima kalau gue yang digituin, tapi gue gak bisa terima kalau yang lain yang digituin.
Kita, manusia gak ada yang sempurna, pasti punya kekurangan. Sekalipun sempurna, pasti ada kurangnya juga. Ini gak adil, Kak!" Gue menjelaskan perasaan yang sedang gue rasakan pada Kak Tyco. Tanpa sadar, air mata gue sudah banyak yang berjatuhan sampai gue tersedu-sedu. Jujur, gue sangat sedih mengetahui jika yang lain diperlakukan kayak gitu.
"Begitulah manusia di dunia ini, Yo, banyak macamnya. Kita gak bisa buat orang lain peduli dan baik terhadap kita, walaupun kita selalu melakukan hal itu. Meskipun begitu, kita gak boleh berhenti untuk terus melakakukan kebaikan, karena apapun yang lo lakukan di dunia ini, pasti ada balasannya. Lo mesti ingat, gak ada kebaikan yang berbalas keburukan. Mata Tuhan gak akan pernah salah dalam melihat setiap perilaku hamba-Nya." Kak Tyco menjawab curhatan gue sambil mengusap-usap bahu gue. Ia juga sesekali menghapus air mata gue.
"Gue lebih baik kehilangan penglihatan gue dari pada harus kehilangan rasa peduli terhadap yang lain."
"Tapi lo gak apa-apa, kan, Yo? Gak ada yang luka juga, kan? Maaf banget ya, Yo. Gue udah ninggalin lo sendirian,"
"Gak apa-apa, Kak. Gue baik-baik aja, kok. Tadi ada yang nolongin gue. Ternyata masih ada juga orang baik di dunia ini. Tadi yang nolongin gue cewek, kayaknya seumuran lo, deh? Kayaknya juga cantik? Hahahah,"
Gue seketika tertawa terbahak-bahak.
"Ah, elo, Yo. Giliran cewek cantik aja lo langsung tahu,"
"Lo juga sama. Kan, lo yang ngajarin gue. Hahaha,"
"Enak aja, lo! Emang gue kakak apaan?"
"Kakak d*rj*na! Hahaha,"
"Adek terl*knat lo ya,"
"Hahaha,"
"Hahaha,"
Benar, ya. Setelah hujan pasti ada pelangi, dan setelah tangis pasti ada tawa, seperti yang sedang gue rasakan sekarang. Gue sangat senang bisa tertawa bersama Kak Tyco lagi. Tapi sayangnya, gue tidak bisa melihat wajahnya. Tidak apa-apa. Yang penting Kak Tyco selalu ada di samping gue, itu sudah lebih dari cukup.
"Kak, wajah lo gak berubah, kan?" Gue berkata sambil menggerakkan tangan mencari wajah Kak Tyco yang tengah berada di samping gue. Gue takut akan lupa wajahnya dia.
"Enggak lah, orang wajah ganteng begini. Emang mau berubah jadi apa?" Ia langsung menarik tangan gue dan menempelkannya pada wajahnya.
"Kali aja jadi Thanos, kan serem, jahat pula. Hahaha,"
"Si*lan lo!"
"Hahaha,"
Setelah gue meraba-raba, wajahnya Kak Tyco tidak berubah, masih sama. Matanya dua, hidungnya mancung lubangnya dua, ada bibir dan dagu. tidak berubah. Dia masih jadi kakak gue. Gue manggilnya dengan sebutan 'Kak', terkadang ditambah dengan nama depannya 'Tyco', menjadi 'Kak Tyco'.
Sebenarnya gue merasa jadi adik yang kurang sopan (k*rang aj*r lebih tepatnya). Sama kakak sendiri bahasanya 'lo' dan 'gue' padahal panggilan buatnya sudah sangat sopan, yaitu 'kakak'. Gue juga tidak tahu kapan panggilan itu gue pakai, yang jelas sudah dari sananya begitu. Hehehe. Sepertinya bukan hanya gue yang berbahasa kurang sopan sama kakak sendiri, rata-rata adik lelaki yang memiliki kakak lelaki juga pasti sama. Ngaku aja deh kalian yang begitu. Hihihi.
Begitulah cerita gue yang baru menjadi orang buta. Penyebabnya apa, gue tidak bisa cerita. Nanti gue jadi 'cengeng' lagi. Tapi, kapan-kapan gue akan cerita. Sekarang bukan waktu yang tepat untuk mengungkit-ungkit itu. Gue tidak marah sama Tuhan atas apa yang menimpa gue ini. Gue malah bersyukur, dengan keadaan yang seperti ini buat hubungan persaudaraan gue dan Kak Tyco menjadi lebih dekat.
Sebelumnya, jangankan mengobrol, makan pun gue selalu sendiri karena Kak Tyco lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah. Sekarang, telinganya selalu siap mendengarkan curhatan gue. Setiap kali gue meminta bantuan seperti mengambilkan minum atau membuatkan makan pun dia selalu siap melaksanakannya. Bukan bermaksud untuk merepotkan, tapi gue benar tidak bisa melakukan hal itu sendiri. Tidak apa-apa, lah. Anggap aja semua itu pengganti waktu Kak Tyco dulu yang jarang memperhatikan adiknya. Hehehe.
Gue belum yakin 100% bisa melakukan semua hal seperti pada saat mata gue bisa melihat, contoh lainnya adalah menyeduh kopi dan memasak mie instan. Dua hal yang sangat mudah itu tidak bisa gue lakukan pada dengan keadaan mata gue yang sekarang.
Untuk menyeduh kopi, gue pernah mencoba buat. Tapi kalau memasak mie, keberanian buat mencoba memasaknya aja tidak ada. Gue takut kompornya meledak saat dihidupkan. Akibatnya bukan hanya mencelakai gue, mencelakai Kak Tyco dan bisa jadi orang lain juga.
Gue tidak mau di penjara karena sudah buat orang celaka. Sengsara banget hidup gue jika di penjara dengan keadaan yang buta kayak gini. Cukup! Gue tidak mau membayangkan sesuatu yang membuat hidup gue semakin sengsara. Yang jelas, gue akan berusaha untuk hidup mandiri seperti pada saat mata gue bisa melihat. Melakukan hal apapun sendiri tanpa bantuan orang lain, terutama Kak Tyco. Gue yakin, gue bisa. Kalian percaya, kan?
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H