Mohon tunggu...
Siti Mariyam
Siti Mariyam Mohon Tunggu... Lainnya - (Pe)nulis

Siti Mariyam adalah gadis yang lahir di planet bumi pada tahun 1999 silam. Gadis yang lahir dan tinggal di Tangerang Selatan ini mulai tertarik dunia kepenulisan sejak akhir masa SMP. Dari mulai hobi menulis diary hingga membaca cerpen-cerpen di internet juga novel. Ia selalu mencatat setiap kata baru yang ditemuinya saat menonton film dan membaca untuk menambah kosa kata dalam menulis ceritanya nanti. Dari semua itu, telah lahir beberapa cerita yang bisa kamu nikmati di halaman Kompasiana pribadinya.

Selanjutnya

Tutup

Cerbung

Kakakku Idola Teman-temanku (Part 6)

24 Desember 2023   00:00 Diperbarui: 28 Februari 2024   11:04 160
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

            "Kakak pembohong! Aku kecewa sama kakak!" Tanpa sesuai dengan pertanyaan yang ia ajukan, aku menjawab apa yang tengah kurasakan pada Kak Reno, seperti Inka kala itu yang mengetahui aku dan Kak Reno bersaudara.

            "Kamu bicara apa, sih? Kakak gak ngerti," Kak Reno kebingungan mendapat jawaban tersebut dariku.

            "Kakak memang gak pernah mengerti perasaanku!"

            "Kakak memang gak mengerti apa maksud kamu, Rena."

            "Kemarin kakak sebenarnya gak ada urusan di sekolah, kan? Kakak sengaja beralasan itu dan menyuruhku pulang duluan biar aku gak mengetahui kakak pergi sama Inka, kan? Kakak tega membohongi aku! Aku kecewa sama kakak!"

            "Nggak, Rena. Itu gak seperti yang kamu pikir. Kakak benar ada tugas dari sekolah kemarin. Sekolah akan mengadakan acara dua minggu lagi, jadi kakak.."

            "Cukup, Kak! Aku gak mau mendengarkan apapun lagi dari kakak!"

Aku lalu pergi meninggalkan Kak Reno dengan hati yang marah tanpa memberi kesempatan padanya untuk berbicara lagi. Namun, ia dengan cepat menghentikan langkahku dan menjelaskan bahwa semua yang aku tuduhkan itu salah.

            "Cukup, Kak Reno!" Seketika aku langsung menutup mulut setelah mengatakan itu, karena sadar ini kali kedua aku memanggilnya 'kakak' beserta nama. Ia tak mau aku memanggilnya 'Kak Reno', seperti yang dijelaskan olehnya dulu padaku.

"Panggil kakak aja, ya. Gak usah pakai nama," Kak Reno menegurku saat adiknya ini memanggil dirinya sama seperti anak-anak lain yang merupakan tetangga kami dengan sebutan 'Kak Reno'.

"Tapi yang lain panggil Kak Reno dan kakaknya beserta nama, Kak?" Dengan polosnya aku mengatakan demikian yang kala itu berusia antara lima atau enam tahunan.

"Karena mereka memiliki dua kakak, jadi untuk membedakan ia memanggilnya beserta nama. Kalau kamu, kan, kakaknya cuma kakak. Jadi panggil kakak aja, ya?"

"Oohh.. gitu ya, Kak?"

"Iya Rena.. coba misalkan ibu, ibu ada berapa? Satu, kan? Cocok gak memanggil ibu beserta namanya?"

"Nggak, Kak. Jadi gak sopan aku sama ibu,"

"Nah.. iya, kan? Jadi kamu panggil kakak apa?"

"Aku panggil kakak, 'kakak' aja."

"Karena..?"

"Karena kakak aku cuma kakak, jadi panggilnya 'kakak' aja."

"Pintar adik kakak," Kak Reno mengatakan itu sambil mencubit kedua pipiku dengan gemas.

Ia lalu meneruskan mengajariku naik sepeda, yang kala itu pada sore hari kami bermain bersama anak-anak lain. Mulai sejak saat itu, aku tak lagi memanggilnya dengan sebutan 'Kak Reno' hingga sekarang. Dan barusan, setelah sekian lama, aku mengulanginya lagi.

            "'Kakak' aja, Rena, jangan pakai nama!" Untuk mengingatkan adiknya, Kak Reno kembali mengatakan hal tersebut padaku. Kali ini dengan sedikit meninggikan suaranya, tidak selembut dulu.

            "Karena kakak bukan kakak aku lagi sekarang! Kakakku bukan pembohong seperti kakak!" Akupun ikut meninggikan suara menjawabnya. Ini kali pertama aku bersikap kurang baik pada Kak Reno. Kurang ajar lebih tepatnya.

            "Kakak gak bohong, Rena. Makanya kamu dengarkan penjelasan kakak dulu,"

            "Gak ada yang perlu dijelasin, Kak. Aku kecewa sama kakak!"

            Aku kembali pergi meninggalkannya. Namun, lagi dan lagi terhenti karena ada Inka yang mencegahku. Entah darimana ia berasal, tiba-tiba dirinya sudah ada di hadapanku dan mengatakan ini..

            "Pak Reno benar, Rena. Kamu harus percaya sama kakak kamu."

            "Kamu gak usah membela Kak Reno. Aku kecewa sama kalian berdua. Mulai sekarang aku gak akan melarang kamu dekat-dekat Kak Reno, karena dia bukan kakakku lagi!"

            Akupun berlalu pergi dari Inka dan Kak Reno yang tengah berusaha menjelaskan padaku tentang apa yang kulihat kemarin, tentang mereka yang sembunyi-sembunyi pergi tanpa sepengetahuanku.

            "Rena, kamu boleh gak percaya sama Pak Reno, tapi aku bisa jelaskan ke kamu kalau kemarin memang Pak Reno ada tugas di sekolah..."

            Aku terus berjalan tanpa mengindahkan Inka yang sedang berbicara. Bagaimana aku bisa percaya, dengan Kak Reno saja aku tak percaya. Aku benar-benar kecewa pada kakakku saat ini. Ia tega membohongi adiknya sendiri. Padahal, dulu ia yang mengajarkan padaku untuk tidak boleh berbohong. Tapi, sekarang ia melakukan itu.

            Tanpa terasa air mata mengalir di pipiku. Aku tak pernah begini sebelumnya, menjadi gadis cengeng yang selalu meneteskan air mata ketika ada masalah. Sungguh ini masalah terburuk yang belum pernah aku hadapi.

            Biasanya ketika ada masalah, aku selalu cerita ke Kak Reno. Ia selalu mendengarkan curhatan adiknya ini tanpa pernah bosan. Tak tahu kenapa, aku lebih suka mengonsultasikan setiap masalah ke Kak Reno daripada ke ibu. Tapi sekarang, aku malah bermasalah dengannya.

            Aku masih ingat betul ketika SD dulu mendapat tugas dari guru untuk menuliskan cita-cita ketika besar menjadi apa. Aku malah bertanya pada Kak Reno, dengan maksud memberi saran untuk adiknya ini. Padahal, cita-cita itu kan sesuatu yang kita sendiri menentukan, bukan malah bertanya pada orang lain. Dasar bocah kecil.

"Kak, cita-cita aku jadi apa, ya?

"Loh, kok, nanya kakak? Kamu cita-citanya mau jadi apa?" Lelaki itu membalikkan pertanyaannya padaku.

"Aku mau jadi adik yang baik buat kakak aja, deh."

"Menjadi adik yang baik itu bukan cita-cita, Rena. Tapi memang sudah seharusnya setiap adik harus bersikap baik kepada kakaknya, termasuk kamu."

"Makanya aku mau menjadi adik yang baik buat kakak."

"Kamu udah jadi adik yang baik buat kakak, Rena. Bahkan, kamu adik terbaik yang kakak miliki."

Aku tersenyum ke GR-an mendengarnya saat itu. Jelas saja, adiknya Kak Reno kan, cuma aku, sudah pasti aku menjadi yang terbaik karena tidak ada saingan. Hehe

"Kalau kakak cita-citanya mau jadi apa?" Aku pun menanyakan hal tersebut pada Kak Reno.

"Cita-cita kakak ingin menjadikan kamu dan yang lainnya pintar," aku memandang Kak Reno dengan penuh tanda tanya karena tak mengerti maksud jawabannya itu.

"Maksud kakak?"

"Kakak ingin menjadi guru seperti guru-guru di sekolah kamu."

"Jadi guru? Kakak serius?"

"Kakak serius, Rena. Doakan kakak, ya."

"Aku pasti akan mendoakan yang terbaik buat kakak. Nanti kakak jadi guru di sekolahku, ya."

"Iya, Rena. Tapi untuk sekarang kakak jadi guru buat kamunya di rumah dulu, ya. Karena kakak, kan, masih harus belajar juga seperti kamu."

"Iya, Kak. Di manapun kakak mengajarku sekarang, aku tetap senang diajar oleh kakak. Pokoknya kakak semangat, ya."

"Kamu juga harus lebih semangat dari kakak."

Dan.. percakapanku bersama Kak Reno kala itu benar terwujud. Ia telah menjadi guru di sekolahku sekarang. Namun, cita-citaku yang ingin 'menjadi adik yang baik' untuknya tidak terwujud jika mengetahui sikapku yang tak sesuai dengan ucapanku tersebut.

            "Rena!"

            Aku kembali mendengar Kak Reno memanggil di beberapa langkah kaki ini berjalan di luar sekolah. Aku tak mau menoleh ke arahnya, aku sungguh kecewa.

            "Renaa!"

            Panggilan Inka pun tak kuindahkan. Aku terus berjalan sambil meneteskan air mata.

            Kak Reno kembali memanggilku, begitu juga dengan Inka. Namun, kali ini panggilannya berbeda, teriakkannya terdengar begitu khawatir. Mereka menambahkan kata 'awas' setelah menyebut namaku.

            Seketika itu juga aku tersadar bahwa ada sebuah mobil sedang melaju ke arahku. Aku langsung menghentikan langkah kaki ini, menyaksikan kendaraan beroda empat itu semakin lama semakin dekat ke arah diriku. Karena tak bisa berbuat apa-apa lagi, tubuhku pun tertabrak oleh mobil tersebut. Aku merasa terbang di udara selama beberapa detik yang kemudian terhempas di jalan.

            "Renaaaa!!!"

            Aku kembali mendengar suara Kak Reno yang begitu khawatir. Disusul dengan mataku yang semakin lama semakin tak jelas pandangannya, hingga akhirnya mataku tertutup. Namun, aku masih sedikit sadar, bisa mendengar lagi suara Kak Reno dan Inka beserta langkah kakinya yang berlari menghampiriku. Aku bisa merasakan tangan Kak Reno mengangkat setengah tubuhku ke pangkuannya dan menggoyang-goyangkannya, menepuk-nepuk pipiku sambil terus memanggil-manggil namaku. Ingin sekali aku menjawab Kak Reno, tetapi mulutku rasanya berat sekali untuk dibuka. Sebelum tak sadarkan diri, aku berusaha dengan susah payah akhirnya bisa mengatakan ini walau terbata-bata..

"Ma-ma-af, ka-ka-kakak!"

                                                                                                                                       ***

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerbung Selengkapnya
Lihat Cerbung Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun