Sepuluh menit sebelum pelajaran berakhir, Kak Reno memberitahukan dan mengundang kami untuk datang ke acara ulang tahunnya yang akan diadakan pada malam Minggu mendatang. Mengetahui hal tersebut, semua anak begitu antusias, terutama para gadis centil itu.
     "Bapak ulang tahun yang ke berapa, Pak?"
      Kak Reno baru saja selesai bicara, Inka sudah bertanya.
    "Kamu lihat sendiri di kartu undangannya, ya," Jawab Kak Reno yang sedang memberikan kartu-kartu tersebut kepada yang lain.
Lalu, dengan cepat ia membuka kartu pemberian dari guru tercintanya itu, seketika ia berkata..
     "Wah.. baru dua puluh lima tahun, Pak? Masih muda, ya? Cocok dong, sama aku!"
     Apa? Ia bicara apa barusan? Aku tidak salah dengar, kan? Untuk memastikan tidak salah mendengarnya, aku mengorek-ngorek telinga. Siapa tahu ada kotoran yang membuat pendengaranku terganggu, masalahnya sudah lama aku tidak membersihkan telinga ini. Tapi, setelah aku memasukkan jari kelingkingku sampai dalam telinga, tidak ada sesuatu di dalamnya. Berarti aku tidak salah dengar? Oh, tidak. Tuhan, tolong hilangkan Kak Reno dari pikirannya. Aku tak rela kakakku terus menerus disukai gadis ABG itu.
      "Heh, centil! Pikiran kamu, tuh, udah kejauhan. Kaya Pak Reno mau aja sama kamu? Pak Reno juga pasti pilih-pilih dulu sebelum jadi pasangannya,"
      "Hahaha,"
     Lagi-lagi kelas menjadi riuh, karena perkataan Arbi yang menjawab ucapan tidak karuan gadis itu.
    "Nggak, lah. Pak Reno malah bahagia kalau berpasangan sama aku,"
    Aku hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala mendengarnya. Gadis itu benar sudah dibuat gila oleh Kak Reno.
     "Sudah, sudah. Kalian ini selalu ribut. Pokoknya malam Minggu besok jangan lupa datang, dan sekarang kalian boleh istirahat," Sembari berlalu mengeluari kelas, Kak Reno berkata.
    Tidak lama kemudian, para gadis itu membicarakan tentang persiapan untuk datang ke ulang tahun Kak Reno nanti, dari mulai pakaian yang akan ia kenakan sampai kado yang akan mereka bawa. Telingaku yang panas mendengar suara mereka seperti tikus terjepit pintu itupun ke luar dari kelas. Lama-lama telingaku bisa menjadi tuli jika terus menerus mendengarnya. Dasar, gadis-gadis alay.
     Sampai akhirnya, hari spesial Kak Reno pun tiba. Tamu undangan yang merupakan teman-temanku sekaligus murid-muridnya di sekolah sudah banyak berdatangan setengah jam sebelum acaranya dimulai. Mereka datang dengan mengenakan pakaian yang rapi sambil membawa kado untuk Kak Reno.
      Aku melongo seperti kambing congek ketika melihat beberapa tamu undangan yang tidak lain adalah gadis-gadis centil itu datang dengan penampilan cantik dan begitu anggun. Kamu tahu Natasha Wilona, kan? Aktris cantik muda bertalenta yang digemari banyak masyarakat Indonesia. Kurang lebih mereka seperti dirinya, sempurna.
Tapi? Apa? Kenapa mereka bisa seperti itu? Jangan-jangan mereka operasi plastik dulu sebelum ke sini, biar Kak Reno terpesona melihatnya? Aarrgghh.. aku ini kenapa, sih? Sama teman sendiri kok, sampai punya pikiran seperti itu?
      Â
      Tepat pukul delapan, acara istimewa Kak Reno dimulai. Teman-teman mengelilingi gurunya itu yang malam ini berusia dua puluh lima tahun. Senyum dan tawa menghiasi keberlangsungan acara tersebut. Kak Reno tak banyak bicara, hanya memberikan senyum saat melihatku.
      Ketika Kak Reno memotong kue ulang tahun itu, aku yakin ia akan memberikan potongan pertama tersebut untuk adiknya ini. Tapi, aku salah. Inkalah yang mendapatkan kue itu, karena ia yang merampas sendiri dari tangan Kak Reno. 'Dasar, gadis centil.' Aku berteriak dalam hati. Aku pun secara diam-diam masuk ke rumah, karena muak melihat adegan yang menyakitkan hati.
      "Kamu kok, masuk? Acara kakaknya, kan, belum selesai," ibu bertanya padaku saat kami berpapasan di ruang tengah. Ibu tidak ikut meramaikan acara anak lelakinya itu, dan hanya menonton dari dalam.
      "Iya, aku capek banget, Bu. Tadi siang, kan, habis bantu kakak beres-beres. Lagi juga kakak ada teman-temanku, kok." Jawabku bohong. By the way, di sekolah kami liburnya Sabtu dan Minggu. Jadi aku bisa ikut membantu Kak Reno.
      Padahal, rasa capek itu sudah hilang setelah melihat Kak Reno tersenyum dan mengatakan terimakasih padaku karena sudah membantu menyiapkan acara ulang tahunnya. Tapi, akibat melihat Inka dekat-dekat dengannya membuatku kembali menjadi capek. Bukan tubuhku, melainkan hatiku.
      "Ya udah, kamu istirahat, ya?" Ibu membelai lembut rambutku. Aku menjawab dengan senyuman, lalu masuk ke kamar. Baru beberapa saat menaruh tubuh ini ke kasur, aku langsung masuk ke alam bawah sadarku.
      Keesokkan harinya lagi di sekolah, tiba-tiba Inka melontarkan pertanyaan-pertanyaan saat diri ini hendak ke kelas.
      "Ternyata Pak Reno itu kakak kamu? Jadi, karena itu yang membuat kamu suka salah memanggilnya dengan sebutan 'Kak'? Karena itu juga yang membuat kamu gak suka melihatku dekat dengan Pak Reno?"
      Aku membelalakkan mata sambil mulut menganga mendengar ucapannya itu. Tahu darimana ia akan hal itu? Selama ini tak ada yang tahu masalah tersebut, selain aku dan Kak Reno. Masalah panggilan itu, ya, aku memang suka salah memanggilnya. Panggilan 'kakak' yang biasa kupakai di rumah terbawa saat di sekolah.
      "Ka-kamu ta-tahu da-darimana masalah itu?" Dengan sedikit tergagap seperti komedian Aziz Gagap, aku bertanya.
      "Dari mamahmu waktu malam itu!" jawabnya.
      Ibu? Ibu bilang apa ke dia? Aduh.. ibu kenapa tidak bisa untuk diajak berkompromi, sih? Padahal, aku sama Kak Reno sudah menutupi ini semua dari yang lain. Aku tak mau mereka tahu bahwa kami berdua kakak beradik, karena takut mereka akan mengira Kak Reno pilih kasih jika aku mendapat nilai bagus darinya disebabkan itu.
      "Jawab aku, Rena!"
      Seketika aku terkejut mendengar pekikkan darinya.
      "Iya, Pak Reno itu kakakku, dan aku gak suka melihat kamu dekat dengannya. Memang kamu gak sadar, nama kita sama, Rena dan Reno? Kamu juga gak sadar, wajah kami ini hampir mirip?
Semenjak kakakku menjadi guru di sini, belajarku gak tenang karena melihatnya di dekati kamu juga yang lain setiap hari. Aku cemburu, Inka, aku cemburu!"
Aku menjawab dengan kesal, seperti pemain sinetron di televisi saat mengetahui kekasihnya diambil oleh orang lain.
Aarrgghh.. kenapa aku jadi drama seperti ini, sih? Kan berabe kalau misalnya aku diajak main sinetron oleh sutradara, bisa-bisa jadi pemain sinetron beneran. Padahal cita-citaku bukan menjadi itu. Hihi
Apaan sih, aku ini? Kaya bisa akting aja. Berpura-bura menjadi orang jahat saja tidak bisa, apalagi menjadi pemain sinetron yang harus menguasi semua peran.
      Inka hanya diam mendengarnya, sambil menatapku dengan penuh amarah dan menahan tangis yang ingin pecah. Ia pasti tak menyangka mengetahui semua ini. Guru yang ia kagumi ternyata merupakan kakak dari teman yang ia musuhi. Tapi,
ia tidak bisa memungkiri itu, karena kenyataannya sudah seperti ini.
      "Kalian kenapa?"
      Tiba-tiba suara Kak Reno menyadarkan kami berdua dari kediaman.
      "Inka, Rena, kenapa?" Katanya kemudian.
      "Bapak tega udah membohongiku dan semuanya. Rena ini adik bapak, kan? Aku kecewa sama bapak!"
      Seketika air mata Inka meluncur di pipinya yang mulus setelah mengatakan itu, ia lalu masuk ke kelas. Sementara Kak Reno yang tidak mengerti mengapa ia begitu wajahnya dipenuhi tanda tanya, kemudian melihatku dan berkata. "Rena, ada apa?"
      "Tanya aja sama murid kesayangan kakak itu!" Jawabku sambil juga berlalu masuk ke kelas. Duh.. kenapa aku jadi ikutan marah seperti Inka, sih? Oh, Kak Reno, maafkan aku.
      Tidak lama kemudian, Kak Reno masuk ke kelas. Inka, si gadis centil itu tidak membuka suara saat guru Bahasa Indonesia yang ia kagumi menyapa, bahkan celotehan melanturnya tak juga ia keluarkan. Melihatnya begitu, Arbi yang biasa menggoda Inka pun bertanya.
      "Hei, centil! Tumben kamu diam aja? Biasanya memuji-muji Pak Reno?"
      "Hahaha,"
      Seperti biasa, semua teman tertawa mendengar lelucon darinya yang membuat kelas menjadi riuh.
      "Berisik kamu! Mau aku sumpal mulutmu pakai sepatuku?" Sambil membelalakkan mata, Inka menjawab ucapan murid lelaki tersebut.
      "Uh.. galak! Aku takut!"
      "Hahaha,"
      Lagi-lagi kelas menjadi ramai.
      Melihat kami seperti itu, Kak Reno kesal. Ia memukul meja sambil berkata..
      "DIAM!"
      Seketika kami menutup mulut dan menundukkan kepala, karena terkesiap mendapati guru baru Bahasa Indonesia yang biasanya baik berubah menjadi seperti itu.
                                                                ***
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H