"Kamu sabar, ya." Lelaki itu menepuk lembut bahuku sebanyak dua kali, lalu pergi meninggalkanku dan ibu.
Tidak lama kemudian, setelah kepergian dokter, aku langsung masuk ke ruangan Kak Leo. Tangisku semakin menjadi-jadi melihatnya berbaring tak berdaya tanpa sadarkan diri.
"Kak, maafkan aku." Kupegang tangannya, lalu kucium. Berharap Kak Leo dapat merasakan kehadiranku di dekatnya walau dirinya tengah tak sadar.
"Aku benar-benar minta maaf, Kak. Karena aku kakak jadi celaka seperti ini."
Aku menghentikan tangis saat merasakan tangan Kak Leo yang sedang kupegang bergerak-gerak. Kemudian, kulihat matanya perlahan-lahan terbuka.
"Kakak udah sadar?" Aku tersenyum lebar mengetahui ia telah membuka mata.
"Lea, kok nangis? Maafin kakak, ya. Es krim kamu jatuh di jalan tadi. Nanti kakak belikan yang baru, ya?"
Padahal ia sedang terluka, tetapi masih sempat-sempatnya membahas masalah es krim itu.
"Nggak, Kak. Aku udah gak mau es krim lagi, aku cuma mau kakak sembuh."
"Kamu, kan, udah dapat nilai ujian semester lebih bagus dari kakak, jadi kamu berhak mandapat es krim itu, seperti yang sudah kita sepakati, bukan?"
Tangisku kembali pecah.