Hal menarik terjadi di sebuah kampus di Jayapura, Papua. Setelah dimulai oleh Devio Tekege pada hari Senin lalu, jumlah mahasiswa Papua di Jayapura yang mengenakan busana daerah berupa koteka ke kampus-kampus bertambah. Tercatat, empat mahasiswa lagi pada hari Rabu (29/05) mengikuti jejak Devio melakukan hal yang sama. (Suara Papua.com)
Keempat mahasiswa itu adalah Albertus Yatipai, mahasiswa Fakultas Ekonomi, Sastra dan Sosial Politik Universitas Sains dan Teknologi (USTJ), Yan Elopere, mahasiswa Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan di universitas yang sama, Hoseri Edowai dan Ideweriknak Arabo, keduanya mahasiswa Fakultas Hukum STIH UMEL Mandiri.
Tentu kelakuan para mahasiswa yang memakai koteka saat kuliah ini mengundang keheranan dan tanda tanya bagi para kolega dan dosennya. Bahkan ada dosen yang melarang mereka menggunakan koteka itu.
Seorang dosen bernama Syamsudin Usman, SE, MKP, berkata, "Albertus besok ko tidak boleh pakepakaian begini lagi".
Namun, Albertus bertanya balik. "Bapa kalau saya pakai busana adat trus kalau teman-teman pakepakaian batik itu beda kah?"
Kemudian dosen bersangkutan menanggapinya, "Menurut Bapa tidak apa-apa, cuma momen dan tempatnya itu dimana, bapa sebagai orangtua, bapa sampaikan begitu".
Albertus menjawab, "Ah Bapa, menurut saya itu sama saja, itu busana." Kemudian Albertus menyalami dosen tersebut dan keluar dari ruang kuliah.
Alasan dan motivasi yang disampaikan Oleh para mahasiswa itu juga sangat menarik.Â
"Ini merupakan contoh untuk mengajak teman-teman, mari kita pake pakaian adat sama-sama bukan hanya dari pegunungan saja, tetapi semua mahasiswa Papua, harus tampil dengan busana adat," kata Albertus, yang sehari-hari adalah penghuni Asrama Katolik Tauboria, Jayapura.
"Kami sebagai contoh buat teman-teman. Saya melihat bahwa budaya itu sangat penting, maka saya berharap mereka juga dapat mengikuti kami," kata Yan Elopere, yang pada hari itu mengikuti ujian proposal.
Benturan dan Penilaian Budaya
Budaya atau kultur adalah adalah bagian dari peradaban manusia.Â
Representasi dari budaya dan kultur itu diwujudkan dalam berbagai bentuk seperti cara berpakaian, seni, tulisan, tarian, acara dan lain - lain.
Tidak satu suku atau bangsa yang mau dianggap memiliki kultur budaya yang lebih rendah. Karena memang kultur budaya itu adalah kristalisasi dari nilai - nilai luhur yang dimiliki mereka.
Namun memang dalam realitanya perjumpaan dan pertemuan antar budaya tidak selalu berjalan dengan harmonis. Ada semacam keinginan persaingan dan saling mendominasi untuk menunjukkan keunggulan budaya dan kultur masing - masing.
Hal inilah yang menyebabkan adanya konflik dan bahkan perang untuk menghilangkan budaya dan kultur yang dianggap lebih rendah atau inferior.
Dalam sejarah bangsa Indonesia hal ini adalah peristiwa yang kita alami bahkan terjadi sampai hari ini.Â
Setiap hari kita temukan dan rasakan betapa persaingan dan saling mendominasi ini masih terus berlangsung.
Kita lihat saja saat ini tata cara berpakaian menjadi perdebatan, bukan hanya karena alasan estetika dan kepantasan tapi sampai jadi konflik politik dan harga diri bangsa.
Hal itu terlihat ada sekelompok orang Indonesia yang ingin menunjukkan bahwa kultur budaya Indonesia tidak lebih rendah dari kultur budaya bangsa lain.
Kampanye itu ditunjukkan dengan gerakan nasional menggunakan busana batik, kebaya dan sarungan.
Perdebatan dan kontroversi seragam para Paskibraka perempuan  di hari kemerdekaan sesungguhnya masuk dalam kategori perdebatan ini.Â
Ketika kementerian olahraga melontarkan wacana agar semua perempuan anggota paskibraka harus menggunakan celana panjang, maka banyak yang menolak.Â
Ada yang melihat ini bertentangan dengan nilai feminisme, dan juga mencurigai ini ada pengaruhnya dari nilai ekslusif dan radikalisme dari kelompok tertentu yang terasa sudah merasuk bangsa ini.
Koteka dan Harga Diri Masyarakat Papua
Kembali pada gerakan menggunakan koteka oleh para mahasiswa di Jayapura.Â
Pasti ada diskusi panjang dan hangat dapat digelar dari fenomena ini. Ada yang menyetujui, tapi pasti ada juga yang menentangnya.Â
Namun jika kita telaah lagi motivasi dan percakapan singkat antara mahasiswa dan dosen yang menegur mahasiswa yang dianggap menggunakan busana yang tidak pantas dan tidak sesuai, kita bisa merasakan adanya alasan yang lebih dalam dari sekedar busana.
Sudah menjadi rahasia umum, dalam sejarah bangsa ini, terutama di masa orde baru, ada semacam gerakan politik untuk menyamaratakan budaya di negara ini.Â
Gerakan penyeragaman tersebut nampaknya menyebabkan luka yang sampai saat ini masih belum sembuh.
Khusus untuk masyarakat Papua, tekanan penyeragaman ini tidak hanya menyangkut cara berbusana, bahkan sampai apa yang menjadi makanan pokok merekapun dipaksa untuk berubah.Â
Sebelumnya masyarakat Papua yang di wilayah pegunungan biasa makan umbi - umbian dan di wilayah pesisir makan papeda dari bahan sagu. Hal itu memang sesuai dengan sumber daya alam yang tersedia di pulau Papua yang kaya dan indah itu.
Namun dengan motivasi pemerintah waktu itu mau "mengangkat martabat" masyarakat Papua, maka diperkenalkan lah beras dan nasi sebagai bahan makanan pokok. Untuk saat ini makanan pokok yang dulunya mereka nikmati berubah menjadi "cemilan" atau makanan sampingan.Â
Perubahan yang berwarna pemaksaan ini rupanya sampai saat ini menyisakan perlawanan. Pemakaian koteka dalam realita di atas konteksnya memang dalam bingkai ini.
Rupanya di antara generasi muda Papua semakin ada rasa bangga akan akar budaya mereka. Mereka tidak ingin didikte oleh nilai - nilai luar yang belum tentu juga sesuai dengan kultur asli mereka.
Kaum muda ini juga menolak jika dinilai budaya asli yang mereka miliki dianggap lebih rendah dari budaya lainnya.
Pemakaian koteka hanyalah simbol dari perlawanan dan rasa bangga itu.Â
Tentu saja kita harapkan gerakan ini tidak hanya terbatas dalam menggunakan pakaian adat, tapi lebih dalam lagi kiranya para mahasiswa yang mewakili kaum intelektual ini sungguh mampu menggali nilai luhur lain dari budaya dan kultur Papua.Â
Pada gilirannya diharapkan nilai - nilai luhur itu bisa menyumbangkan keindahan dan kekayaan luar biasa bagi bangsa Indonesia yang memang beraneka ragam budaya, kultur dan agama ini.Â
Di sisi lain juga diharapkan usaha menggali nilai luhur ini tidaklah menjadi alsan untuk membenci budaya dan kultur lainnya.
Karena menjadi Indonesia memang harus bisa menerima keberagaman sekaligus juga mampu menyumbangkan kebhinekaan.***MG
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H