Ketika kementerian olahraga melontarkan wacana agar semua perempuan anggota paskibraka harus menggunakan celana panjang, maka banyak yang menolak.Â
Ada yang melihat ini bertentangan dengan nilai feminisme, dan juga mencurigai ini ada pengaruhnya dari nilai ekslusif dan radikalisme dari kelompok tertentu yang terasa sudah merasuk bangsa ini.
Koteka dan Harga Diri Masyarakat Papua
Kembali pada gerakan menggunakan koteka oleh para mahasiswa di Jayapura.Â
Pasti ada diskusi panjang dan hangat dapat digelar dari fenomena ini. Ada yang menyetujui, tapi pasti ada juga yang menentangnya.Â
Namun jika kita telaah lagi motivasi dan percakapan singkat antara mahasiswa dan dosen yang menegur mahasiswa yang dianggap menggunakan busana yang tidak pantas dan tidak sesuai, kita bisa merasakan adanya alasan yang lebih dalam dari sekedar busana.
Sudah menjadi rahasia umum, dalam sejarah bangsa ini, terutama di masa orde baru, ada semacam gerakan politik untuk menyamaratakan budaya di negara ini.Â
Gerakan penyeragaman tersebut nampaknya menyebabkan luka yang sampai saat ini masih belum sembuh.
Khusus untuk masyarakat Papua, tekanan penyeragaman ini tidak hanya menyangkut cara berbusana, bahkan sampai apa yang menjadi makanan pokok merekapun dipaksa untuk berubah.Â
Sebelumnya masyarakat Papua yang di wilayah pegunungan biasa makan umbi - umbian dan di wilayah pesisir makan papeda dari bahan sagu. Hal itu memang sesuai dengan sumber daya alam yang tersedia di pulau Papua yang kaya dan indah itu.
Namun dengan motivasi pemerintah waktu itu mau "mengangkat martabat" masyarakat Papua, maka diperkenalkan lah beras dan nasi sebagai bahan makanan pokok. Untuk saat ini makanan pokok yang dulunya mereka nikmati berubah menjadi "cemilan" atau makanan sampingan.Â