Bram tersadar bahwa ini bukan takhayul semata. Ini adalah kenyataan yang harus dihadapinya. Dengan air mata berlinang, ia mengangguk pelan. "Aku akan pergi. Aku akan meninggalkan tempat ini."
Begitu ia mengatakan itu, bayangan-bayangan tersebut memudar, meninggalkan Bram sendirian di ruang tamu. Suara bisikan itu lenyap, dan udara kembali hangat.
Bram keluar dari rumah, bertemu dengan Amara yang sudah menunggunya di mobil.
"Kita akan pergi, sekarang," kata Bram dengan suara pelan namun tegas.
Amara memeluknya erat, merasakan kelegaan luar biasa. Mereka meninggalkan rumah itu, dan tidak pernah kembali lagi.
Beberapa bulan kemudian, lahan itu kembali kosong, ditumbuhi rumput liar yang tinggi. Tidak ada yang berani membelinya lagi. Penduduk Sukamaju kembali menghormati tanah itu, membiarkannya tetap kosong, sebagai tempat peristirahatan bagi roh-roh yang terjebak di sana.
Mereka yang lewat hanya bisa berbisik pelan, mengenang keluarga yang pernah tinggal di sana. "Riwayat tanah ini memang kelam," kata mereka. "Lebih baik dibiarkan saja. Biarkan mereka beristirahat dengan damai."
Sumbawa, 18 November 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H