Bram mengerutkan dahi. "Mungkin hanya angin."
Tapi Amara tidak yakin. Ia berdiri dan melangkah menuju jendela, mengintip ke halaman belakang yang gelap. Pohon tua di sana tampak bergerak tertiup angin malam, namun ada sesuatu yang lain. Bayangan seseorang, atau mungkin sesuatu, berdiri di antara dedaunan.
"Br... Bram," panggil Amara dengan suara pelan.
Bram mendekat dan memandang keluar jendela. "Tidak ada apa-apa, sayang. Kau mungkin hanya terlalu lelah."
Amara mengangguk pelan, meski rasa cemas masih menguasai hatinya. Mereka kembali duduk, berusaha melanjutkan malam itu tanpa memikirkan hal aneh yang baru saja terjadi.
Seminggu berlalu, dan segala sesuatunya tampak berjalan lancar. Bram sibuk dengan pekerjaannya, sementara Amara mulai menata rumah dengan perabotan yang mereka beli sedikit demi sedikit. Namun, perasaan tidak nyaman itu tak kunjung hilang. Setiap malam, Amara mendengar suara-suara aneh dari halaman belakang---suara langkah kaki, gemerisik daun, dan bisikan samar yang membuat bulu kuduknya merinding.
Suatu malam, ketika Bram tertidur pulas, Amara memutuskan untuk menyelidikinya sendiri. Dengan senter di tangan, ia keluar melalui pintu belakang. Udara malam terasa dingin menusuk, dan suara jangkrik mengisi keheningan. Amara menyusuri jalan setapak menuju pohon tua di sudut halaman.
Saat ia sampai di sana, senter yang dipegangnya tiba-tiba berkedip, lalu mati. Dalam kegelapan, ia merasakan hawa dingin yang tak wajar, seolah-olah ada seseorang yang berdiri sangat dekat dengannya, menghembuskan napas di tengkuknya. Amara membeku, ketakutan.
Tiba-tiba, terdengar suara berbisik, begitu jelas di telinganya. "Pergi... dari sini."
Amara terkejut dan berlari sekuat tenaga kembali ke rumah. Ia mengunci pintu dan langsung membangunkan Bram.
"Amara, tenang. Apa yang terjadi?" tanya Bram, bingung melihat istrinya yang ketakutan.