"Bram, kita harus pergi dari sini sekarang!" Amara berteriak histeris.
Bram terbangun dengan wajah bingung. "Apa yang kau bicarakan? Apa yang terjadi?"
"Tolong percaya padaku. Ada sesuatu di sini... sesuatu yang tidak bisa kita lihat, tapi sangat nyata. Aku tidak mau tinggal di sini lagi!"
Melihat ketakutan di wajah istrinya, Bram akhirnya setuju untuk menginap di hotel malam itu. Mereka mengemasi barang-barang penting dan segera meninggalkan rumah.
Keesokan harinya, Bram memutuskan untuk menyelidiki sendiri. Ia kembali ke rumah dan mulai menggali di dekat pohon tua di halaman belakang, tempat Amara mendengar bisikan itu. Setelah menggali beberapa meter, sekopnya menghantam sesuatu yang keras.
Dengan hati-hati, Bram membersihkan tanah yang menutupi benda itu. Ia terkejut saat menemukan peti kayu yang terkubur di sana. Peti itu tampak tua dan sudah lapuk, namun masih terkunci rapat.
Bram membawa peti itu ke dalam rumah dan membukanya. Di dalamnya, ia menemukan foto-foto lama, surat-surat, dan sebuah boneka kayu yang terlihat menyeramkan. Di salah satu foto, ia melihat wajah keluarga yang pernah tinggal di sana---seorang pria, wanita, dan seorang anak perempuan kecil. Di balik foto itu tertulis: "Keluarga Arta, 1965. Hidup kami akan selalu dikenang di tanah ini."
Namun, yang membuat Bram terkejut adalah surat yang tertulis dengan tangan yang gemetar: "Jika kau menemukan ini, ketahuilah bahwa kami terjebak di sini. Tolong bebaskan kami."
Tiba-tiba, udara di sekitar Bram berubah dingin. Suara bisikan yang pernah didengar Amara kini terdengar jelas di telinganya. "Tolong... bebaskan kami..."
Bram merasa tubuhnya kaku, tak bisa bergerak. Sosok bayangan mulai muncul di sekelilingnya, semakin jelas. Wajah-wajah yang ada di foto kini berdiri di depannya, dengan tatapan sedih dan memohon.
"Kami terjebak di sini," ujar sosok pria itu. "Tanah ini terkutuk karena dosa kami. Kami hanya bisa bebas jika tempat ini dibiarkan kosong."