Hujan turun dengan deras, membasahi jalanan yang sudah lama ditinggalkan matahari. Suara rintik air menghentak atap rumah, menciptakan irama yang lembut dan menenangkan. Di dalam sebuah kafe kecil yang terletak di sudut jalan, seorang wanita bernama Tara duduk sendirian, menyesap secangkir kopi. Wajahnya memancarkan kesedihan yang mendalam, tatapannya kosong menatap ke luar jendela.
Sejak perpisahan itu, setiap detik terasa menyakitkan. Tara dan Aditya, kekasih yang telah bersama selama empat tahun, terpaksa berpisah setelah Aditya mendapatkan tawaran kerja di luar negeri. Meskipun mereka berjanji untuk saling menunggu, jarak yang jauh dan kesibukan masing-masing membuat janji itu tampak semakin samar.
Hari ini, Tara datang ke kafe ini dengan harapan bisa merasakan kembali kenangan indah bersama Aditya. Kafe ini adalah tempat favorit mereka; tempat di mana mereka sering berbagi cerita, tawa, dan cinta. Namun, semua itu kini terasa seperti mimpi yang hilang.
Setelah menunggu beberapa saat, Tara meraih ponselnya dan membuka aplikasi pesan. Di dalam daftar kontak, nama Aditya masih ada, meskipun sudah lama tidak ada pesan yang masuk. Ia merasa ingin mengirimkan pesan, tetapi rasa takut menghalanginya. Rasa takut bahwa pesan itu tidak akan mendapatkan balasan, atau bahkan lebih buruk, jika balasan itu hanyalah kata-kata kosong.
Tara menutup ponselnya dan menatap ke luar jendela lagi. Hujan semakin deras, seolah ikut merasakan kesedihannya. Di kejauhan, ia melihat seorang pria berlari menuju kafe, terjebak dalam hujan. Pria itu memakai jas hujan kuning cerah yang mencolok, dan meski hujan, senyum di wajahnya tampak menawan.
Pria itu masuk ke dalam kafe dan mengibaskan air dari jas hujannya, menarik perhatian beberapa pengunjung. Tara tidak dapat menahan senyum kecil ketika melihatnya. Ia selalu mengagumi orang-orang yang tetap bisa tersenyum di tengah kesedihan.
Setelah memesan kopi, pria itu melihat sekeliling, lalu matanya bertemu dengan Tara. Tara terkejut, tidak menyangka akan ada tatapan yang menawannya. Pria itu berjalan mendekat.
"Apakah kursi ini kosong?" tanyanya sambil menunjuk kursi di depan Tara.
"Ya, silakan," jawab Tara dengan suara pelan.
"Terima kasih," katanya sambil duduk. "Aku Kiran."
"Tara," jawabnya singkat, merasa sedikit canggung.
Kiran adalah pria yang tampak ceria, wajahnya selalu dihiasi senyum. Mereka berdua mulai berbincang, Kiran menceritakan pengalamannya di kota ini, sedangkan Tara mendengarkan dengan penuh perhatian, meskipun pikirannya masih terus melayang kepada Aditya.
Mereka berbicara tentang hujan, tentang kafe, dan tentang kehidupan. Kiran memiliki cara untuk menghibur orang-orang di sekitarnya, dan sedikit demi sedikit, senyuman Tara mulai kembali. Namun, di dalam hati, ada rasa bersalah karena ia merasa seolah mengkhianati Aditya.
Pertemuan itu berlangsung singkat, tetapi cukup membuat Tara merasa lebih baik. Ketika Kiran meminta nomor ponselnya sebelum berpisah, Tara ragu sejenak, tetapi akhirnya memberikannya.
"Semoga kita bisa bertemu lagi di sini," kata Kiran dengan senyum lebar.
Tara hanya mengangguk. Saat Kiran meninggalkan kafe, hujan mulai reda. Meskipun hatinya masih terasa kosong, Tara merasa sedikit lebih ringan.
Hari-hari berikutnya, Tara kembali ke kafe itu, dan meskipun Kiran tidak selalu ada, dia menemukan dirinya menantikan kehadirannya. Kiran mengirimkan pesan, menanyakan kabarnya, dan mereka mulai berbicara lebih sering. Meski Tara merasa bersalah karena menggantikan Aditya dalam pikirannya, ia juga tidak bisa mengabaikan rasa nyaman yang ditawarkan Kiran.
Beberapa minggu kemudian, Kiran mengajak Tara untuk bertemu di taman. Hujan baru saja berhenti, meninggalkan aroma segar di udara. Di taman, Kiran membawa sebuah payung besar untuk melindungi mereka dari kemungkinan hujan kembali.
"Terima kasih sudah mau datang," kata Kiran saat mereka duduk di bangku taman.
"Senang bisa bertemu," jawab Tara, sedikit gugup.
"Bisa kita bicara tentang apa yang terjadi denganmu?" Kiran mengamati wajahnya.
Tara menatap jauh ke depan, mencoba mengumpulkan kata-kata. "Sebenarnya, aku baru saja putus dengan kekasihku. Kami berpisah karena jarak, dan aku tidak tahu apakah aku masih bisa mencintainya seperti dulu."
Kiran mendengarkan dengan penuh perhatian. "Itu pasti sulit. Jarak memang bisa menghancurkan banyak hal."
"Iya, dan aku merasa bersalah karena merasa lebih baik setelah bertemu denganmu," Tara mengaku, menundukkan kepala.
Kiran tersenyum lembut. "Tidak ada yang salah dengan itu. Terkadang kita perlu menemukan kebahagiaan di tempat lain untuk melanjutkan hidup."
Malam berikutnya, Tara menerima pesan dari Kiran. "Hujan lagi malam ini. Maukah kamu menemani aku di kafe?"
Hujan memang selalu membawa kenangan, dan Tara merasa senang bisa bertemu Kiran lagi. Saat tiba di kafe, mereka berbincang lagi, tertawa dan saling berbagi cerita. Saat Kiran mengajaknya berjalan di luar, Tara tidak bisa menolak.
Mereka berjalan di tengah hujan dengan payung yang dibawa Kiran. Tara merasa bebas, merasakan kebahagiaan yang sudah lama hilang. Ketika Kiran menggenggam tangannya, ia merasakan aliran listrik yang mengalir di tubuhnya.
"Aku suka hujan," kata Kiran. "Semua orang cenderung bersembunyi di dalam rumah, tapi hujan adalah saat terbaik untuk merasakan hidup."
Tara tersenyum. "Aku setuju. Hujan adalah cara alam untuk menghapus kesedihan."
Namun, saat mereka berlari melawan hujan, Tara merasa ada sesuatu di dalam hatinya yang belum sepenuhnya terlepas dari Aditya. Ia menatap wajah Kiran dan merasa bingung, seolah terjebak dalam perasaan yang bertentangan.
Beberapa bulan berlalu, dan hubungan mereka semakin dekat. Tara merasakan cinta mulai tumbuh dalam dirinya, namun setiap kali ia bersenang-senang bersama Kiran, bayang-bayang Aditya selalu menghantui pikirannya.
Suatu sore, saat mereka duduk di bangku taman yang sama, Tara mengalihkan pandangannya. "Kiran, aku merasa tidak adil padamu."
"Kenapa?" Kiran menatapnya dengan bingung.
"Aku masih memikirkan Aditya, meskipun aku bersamamu," ujar Tara, suaranya bergetar.
Kiran terdiam sejenak. "Tara, aku tahu kamu masih mencintainya. Tapi kamu juga harus ingat, hidup terus berjalan. Tidak ada yang bisa menghentikannya."
"Aku tidak ingin menyakitimu," kata Tara, air mata mulai menggenang di matanya.
Kiran mengulurkan tangannya, menghapus air mata di pipi Tara. "Kamu tidak menyakitiku. Justru, aku menghargai kejujuranmu. Tapi ingat, aku ada di sini untukmu, apapun yang terjadi."
Hari-hari berikutnya terasa semakin sulit. Meskipun Kiran selalu berusaha memberikan dukungan, Tara merasa semakin bingung. Setiap kali hujan turun, ia teringat kenangan indah bersama Aditya, dan setiap senyuman Kiran mengingatkannya pada betapa berartinya cinta.
Suatu malam, saat hujan deras mengguyur kota, Tara memutuskan untuk mengirim pesan kepada Aditya. Mungkin ini adalah kesempatan untuk menutup bab yang belum selesai. Ia mengetik pesan dengan hati-hati, mengekspresikan semua perasaannya, harapannya, dan permohonan maaf. Namun, ketika menekan tombol kirim, rasa takut kembali menyergapnya.
Berharap yang terbaik, ia menunggu balasan. Beberapa jam kemudian, ponselnya berbunyi. Tara membuka pesan itu dengan hati berdebar. "Tara, aku sudah mendengar tentangmu. Aku harap kamu baik-baik saja. Tapi aku sudah menjalani hidup yang baru di sini. Mungkin lebih baik kita tidak berhubungan lagi."
Tara merasa hatinya hancur berkeping-keping. Ia tak pernah mengira bahwa perpisahan ini akan menghilangkan semua harapan. Ia menangis sejadi-jadinya, merasa seolah semua yang telah dibangunnya dengan Kiran selama ini akan sia-sia.
Hari-hari setelah pesan itu terasa gelap. Tara menjauh dari Kiran, merasa tidak pantas untuk bersenang-senang sementara hatinya masih terikat pada kenangan Aditya. Kiran berusaha mendekat, tetapi Tara selalu menghindar.
"Aku ingin kamu tahu, aku di sini untukmu," kata Kiran, mencoba menyentuh tangan Tara.
"Tapi aku tidak bisa, Kiran. Aku masih terjebak dalam ingatan tentang Aditya," jawabnya sambil menunduk.
Kiran mendesah, merasa putus asa. "Aku tidak ingin memaksamu, Tara. Tapi aku juga tidak bisa melihatmu tersiksa seperti ini. Kamu berhak bahagia."
"Aku hanya butuh waktu," jawab Tara, suaranya lemah.
Beberapa minggu kemudian, Tara pergi ke kafe tempat mereka pertama kali bertemu. Hujan turun dengan lebat, dan saat duduk di sudut kafe, ia mulai merenungkan semua yang terjadi. Ia merasa seolah hidup dalam dua dunia---dunia di mana Aditya adalah cinta sejatinya dan dunia di mana Kiran memberinya harapan baru.
Sambil menyesap kopi, Tara merasa ada suara kecil di dalam hatinya yang berkata untuk bergerak maju. Namun, perasaan bersalah selalu menghantuinya, menahan langkahnya. Saat itu, ia melihat Kiran masuk ke kafe. Wajahnya tampak basah kuyup, tetapi senyumannya tetap bersinar.
Tara terkejut melihat Kiran berlari menuju meja. "Kamu di sini!"
"Iya," jawab Tara, berusaha tersenyum meski hatinya terasa berat.
Kiran duduk di depan Tara dan mengamati wajahnya. "Aku sangat khawatir. Kenapa kamu menghindar?"
"Tapi aku tidak bisa bersama kamu seperti ini," jawab Tara.
Kiran menggenggam tangan Tara, memandang dalam-dalam. "Tara, aku tidak ingin mengubah perasaanmu. Tapi jika kamu merasa tidak siap, katakan saja. Aku akan menghormatinya."
Tara menatap mata Kiran yang penuh harapan. Di dalam hatinya, ada perasaan campur aduk---cinta, kebingungan, dan penyesalan. "Kiran, aku merasa bingung. Aku tidak tahu harus bagaimana."
Kiran menarik napas dalam-dalam. "Jika kamu butuh waktu, ambil saja. Aku tidak akan pergi ke mana-mana. Tapi jika kamu ingin kita mencoba, aku ada di sini."
Saat Kiran berkata begitu, Tara merasakan ketulusan dalam suaranya. Ia merindukan perasaan bahagia yang dibawa Kiran ke dalam hidupnya. "Aku ingin mencoba," ungkapnya pelan.
"Tidak ada paksaan, Tara. Hanya langkah kecil, satu per satu," Kiran menjawab, senyum lembut menghiasi wajahnya.
Tara merasa sedikit lega. Meskipun bayang-bayang Aditya masih menghantuinya, ada harapan baru yang bersinar di depan. Mereka berbicara dan tertawa lagi, merayakan momen sederhana yang membuat hidup terasa lebih indah.
Beberapa bulan kemudian, musim hujan datang lagi. Tara dan Kiran sering menghabiskan waktu bersama, berbagi tawa dan cerita. Meski Aditya masih menjadi bagian dari ingatan, Tara mulai merasakan cinta yang tulus terhadap Kiran. Ia belajar bahwa cinta tidak selalu harus menghapus masa lalu, tetapi bisa saling melengkapi.
Suatu sore, saat hujan turun dengan lembut, Kiran membawa Tara ke taman. Mereka berjalan di bawah payung, menikmati suasana yang sejuk dan menenangkan. Kiran menghentikan langkahnya di bawah pohon besar. "Tara, aku ingin mengajakmu berbicara tentang sesuatu yang penting."
Tara menatap Kiran, merasa sedikit tegang. "Apa itu?"
"Aku ingin kita melanjutkan hubungan ini dengan lebih serius. Aku mencintaimu, dan aku ingin kita bersama-sama menjalani hidup ini."
Hati Tara berdebar kencang. Ia tidak pernah membayangkan akan mendengar kata-kata itu. "Kiran, aku juga mencintaimu, tetapi..."
"Tapi apa?" Kiran menatapnya, matanya penuh harapan.
"Tapi aku masih merasa ragu. Aku tidak ingin terburu-buru," jawabnya jujur.
"Tidak masalah. Kita bisa melakukannya perlahan. Aku hanya ingin kamu tahu bahwa aku ada di sini, dan aku bersedia menunggu."
Saat mereka berpelukan di bawah hujan, Tara merasa ketenangan melingkupi mereka. Di antara suara hujan dan kebisingan di sekitar, ia merasa menemukan kembali jati dirinya. Ia tahu bahwa cinta membutuhkan waktu dan kesabaran, tetapi di sinilah ia ingin berada---bersama Kiran.
Malam itu, setelah pulang, Tara menerima pesan dari Aditya. "Tara, aku mendengar kabar tentangmu. Aku harap kamu baik-baik saja. Mungkin kita bisa bertemu dan berbicara?"
Tara membaca pesan itu berulang kali, merasakan campuran emosi yang mendalam. Ia tahu saatnya untuk menghadapi masa lalunya.
Beberapa hari kemudian, Tara mengatur pertemuan dengan Aditya di kafe yang sama. Saat ia memasuki kafe, hatinya berdegup kencang. Ia melihat Aditya duduk di sudut, wajahnya tampak lebih dewasa dan matang.
"Tara," sapanya, tersenyum.
"Aditya," balas Tara, duduk di hadapannya.
Mereka berbincang ringan, menanyakan kabar masing-masing. Namun, Tara tahu, mereka perlu membahas hal yang lebih dalam. "Aditya, aku ingin berbicara tentang kita."
Aditya mengangguk, wajahnya serius. "Aku juga ingin. Aku minta maaf atas apa yang terjadi. Aku tidak bermaksud menyakiti hatimu."
"Aku juga meminta maaf. Aku tidak bisa mengubah masa lalu, tetapi aku ingin kita saling memaafkan," Tara berkata.
Setelah beberapa saat, Aditya memecah keheningan. "Tara, aku sudah mencoba menjalani hidup baru di Yogyakarta. Dan aku menyadari bahwa kita memang ditakdirkan untuk berjalan di jalan yang berbeda."
Kata-kata itu membuat hati Tara terasa berat. "Apakah itu berarti kita tidak akan pernah bertemu lagi?"
"Aku akan selalu menghargai kenangan kita, tetapi aku pikir ini adalah keputusan yang tepat. Aku ingin kamu bahagia, entah dengan siapa pun itu," jawab Aditya.
Tara mengangguk, air mata mulai menggenang di matanya. "Aku juga ingin yang terbaik untukmu. Terima kasih untuk semua kenangan indah."
Mereka berpelukan, merasakan kedamaian saat mengucapkan selamat tinggal. Saat keluar dari kafe, Tara merasa seolah beban di pundaknya telah terangkat.
Setelah pertemuan itu, Tara kembali kepada Kiran dengan semangat baru. Mereka menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita dan tawa. Tara merasa lebih kuat, lebih mampu untuk mencintai tanpa merasa bersalah.
Suatu malam, saat hujan turun lembut, Kiran membawanya ke taman. "Tara, aku sudah memikirkan tentang kita. Aku ingin kita mengambil langkah selanjutnya."
"Langkah selanjutnya?" tanya Tara, merasa gugup.
"Aku ingin kita tinggal bersama," jawab Kiran dengan mantap.
Tara terkejut, namun hatinya terasa hangat. "Apakah kamu serius?"
Kiran mengangguk. "Aku serius. Aku ingin berbagi hidupku denganmu. Kita bisa membangun masa depan bersama."
Tara merasakan kebahagiaan yang tulus, dan tanpa ragu, ia menjawab, "Aku setuju!"
Mereka merencanakan kehidupan baru bersama, mengatur segala sesuatunya dengan penuh cinta. Tara merasa setiap hari semakin jatuh cinta pada Kiran, dan meskipun hujan sering turun, ia merasa nyaman dengan kehadiran Kiran di sisinya.
Suatu malam, saat hujan deras mengguyur, mereka duduk di beranda rumah baru mereka, menikmati segelas teh hangat. Kiran merangkul Tara, dan ia merasakan rasa aman yang tidak pernah ia rasakan sebelumnya.
"Hujan selalu membawa kita kembali ke kenangan," kata Kiran, tersenyum.
"Iya," jawab Tara. "Tetapi sekarang, hujan membawaku ke kamu."
Kiran menatapnya dengan penuh cinta, dan Tara tahu bahwa ini adalah cinta yang tulus---cinta yang tidak terhalang oleh masa lalu, tetapi dibangun di atas fondasi yang kuat dan penuh harapan.
Musim hujan berlalu, dan cinta mereka semakin tumbuh. Tara belajar untuk mencintai Kiran dengan sepenuh hati, tanpa bayang-bayang masa lalu. Ia merasa hidupnya semakin berwarna, setiap momen yang dilalui terasa begitu berarti.
Suatu malam, saat mereka duduk bersama, Kiran menggenggam tangan Tara. "Aku ingin kita merayakan cinta kita," katanya.
"Tentu, bagaimana caranya?" tanya Tara, penasaran.
Kiran tersenyum lebar. "Aku ingin mengajakmu ke tempat yang spesial. Tempat di mana kita bisa merayakan kebersamaan kita."
Beberapa hari kemudian, Kiran membawa Tara ke sebuah pantai yang indah. Di sana, mereka bermain di bawah hujan, merasakan kebebasan dan cinta yang tak terbatas.
Saat hujan mulai reda, Kiran berlutut di depan Tara, mengeluarkan cincin dari saku. "Tara, maukah kamu menikah denganku?"
Tara terkejut, air matanya menggenang. "Ya, aku mau!"
Keduanya berpelukan di bawah hujan, merasakan kebahagiaan yang tak terlukiskan. Di tengah hujan yang lembut, mereka berjanji untuk saling mencintai selamanya.
Beberapa bulan setelah pertunangan mereka, Tara dan Kiran merayakan pernikahan mereka dengan sederhana namun penuh cinta. Hujan turun dengan lembut saat mereka mengucapkan janji suci, seolah alam merestui cinta mereka.
Tara tahu bahwa perjalanan cinta tidak selalu mudah, tetapi ia yakin dengan langkah yang diambilnya. Kini, ia tidak hanya mencintai Kiran, tetapi juga mencintai kehidupannya yang baru, di mana setiap hujan membawa berkah dan harapan.
Cinta dalam hujan telah membawanya ke arah yang lebih baik---ke arah cinta yang tulus, penuh kehangatan, dan kebahagiaan. Dan saat hujan turun lagi di luar, Tara tersenyum, tahu bahwa hujan hanya akan membuatnya lebih mencintai setiap momen yang ada.
Sumbawa, 21 Oktober 2024
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI