Mohon tunggu...
Marisa Fitri
Marisa Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Saya adalah salah satu mahasiswa semester 6. Saya memiliki hobi membaca dan menulis karya sastra.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen: Di Ujung Hujan

1 Oktober 2024   23:17 Diperbarui: 1 Oktober 2024   23:33 36
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Malam itu, Rina menatap hujan yang jatuh dengan deras dari balik jendela kamarnya. Suara rintik air menimpa atap rumah terasa menenangkan, namun perasaan sepinya semakin menguat. Ini adalah malam yang kesepuluh berturut-turut sejak dia kembali ke rumah orang tuanya setelah beberapa tahun merantau ke kota besar. Di kota, dia merasa hidup, namun di sini, di desa kecilnya, semua terasa lamban dan monoton.

Hujan semakin deras, seolah langit juga ikut merasakan kesedihannya. Rina memejamkan mata, mengingat kembali mimpinya untuk menjadi seorang penulis. Dia selalu bermimpi menulis novel yang dapat menginspirasi orang lain, tetapi sepertinya, semua impian itu kini terpendam di balik rutinitas harian. Kesibukan kota dan segala yang ditawarkannya membuatnya merasa lebih hidup, sementara di desa, hanya ada kenangan masa lalu yang menghantuinya.

Satu-satunya hal yang menghiburnya adalah buku-buku yang tertata rapi di rak kamarnya. Rina mengambil salah satu buku itu, sebuah novel klasik yang pernah ia baca saat masih di sekolah. Saat membuka halaman pertama, ia teringat saat-saat menghabiskan waktu di perpustakaan desa, di mana semua mimpi dan harapan terasa mungkin. Buku itu mengingatkannya pada masa-masa indah ketika dia bercita-cita tinggi dan berani bermimpi.

Namun, saat jari-jarinya menyentuh halaman, terdengar suara ketukan di pintu. Rina tersentak dan menutup buku itu. "Siapa ya?" pikirnya. Dengan hati-hati, ia membuka pintu dan mendapati sosok seorang pemuda berdiri di depan, basah kuyup oleh hujan. Dia mengenakan jaket hijau tua yang sudah robek di sana-sini, dan wajahnya memancarkan keringat dan lelah.

"Ada apa?" tanya Rina, terkejut.

"Saya... saya Tio. Teman adikmu. Maaf mengganggu, tapi bisakah saya berteduh sejenak?" katanya, suaranya hampir tenggelam oleh suara hujan.

Rina merasa ragu, namun melihat ekspresi panik di wajah Tio, ia akhirnya mengangguk dan mempersilakan masuk. "Silakan, masuk saja."

Tio masuk dan menggetarkan jaketnya, memercikkan air ke lantai. Rina menunjukkan tempat duduk di meja kecil di sudut kamar. Tio duduk dengan berat, seolah beban di pundaknya terlalu berat untuk diangkat. Rina mengambil handuk dan memberikannya kepada Tio.

"Terima kasih," kata Tio, sambil mengusap wajahnya yang basah.

Mereka berdua terdiam dalam suasana hening. Rina memerhatikan Tio dari sudut mata. Dia ingat adiknya pernah menyebut tentang Tio---sosok yang selalu ceria dan penuh energi. Namun sekarang, Tio tampak berbeda. Wajahnya yang tampan terlihat letih, dan matanya kehilangan kilau.

"Jadi, apa yang membawamu ke sini di tengah hujan deras ini?" tanya Rina, berusaha mencairkan suasana.

Tio menarik napas dalam-dalam, "Sebenarnya, saya ingin bertemu dengan adikmu, namun dia tidak ada di rumah. Saya mencari dia, karena kami ada urusan penting."

Rina mengangguk. Dia tahu adiknya sering pergi ke tempat yang jauh dan kadang tidak memberi tahu orang tuanya. Dia merasakan kekhawatiran Tio, tetapi tidak tahu bagaimana membantu. "Apa ada yang bisa saya bantu?" tanyanya.

Tio memandang Rina, dan untuk sesaat, Rina merasa ada yang berbeda. Di balik wajah lelahnya, ada kilasan harapan. "Kalau bisa, tolong sampaikan padanya bahwa saya sangat membutuhkan bantuan. Ini masalah serius."

Rina menahan napas, penasaran. "Masalah apa yang kamu maksud?"

Tio terlihat ragu sejenak. "Sebaiknya saya tidak membicarakannya sekarang. Saya hanya berharap dia segera pulang."

Rina merasa curiga, tetapi ia menghormati keputusan Tio. Hujan terus mengguyur, dan suasana di dalam kamar menjadi lebih intim. Tio kemudian mulai bercerita tentang kehidupannya di kota, dan perlahan-lahan Rina merasakan ketertarikan yang tumbuh. Dia teringat kembali pada mimpinya yang hilang, terinspirasi oleh semangat Tio yang tetap menyala meskipun dalam kesulitan.

"Jadi, apa kamu juga punya mimpi?" tanya Rina, mencoba menggali lebih dalam.

Tio tersenyum tipis. "Saya ingin menjadi musisi. Musik adalah segalanya bagi saya. Namun, saya harus berjuang keras untuk mewujudkannya. Ada banyak rintangan di kota, dan kadang saya merasa lelah."

Rina terdiam, meresapi setiap kata yang diucapkan Tio. Dia merasa tersentuh oleh keteguhan Tio untuk mengejar impiannya, meskipun dalam keadaan yang sulit. Sejenak, dia melupakan semua ketakutan dan keraguannya sendiri.

"Bisa jadi kita berdua sama," kata Rina pelan. "Saya juga memiliki mimpi untuk menulis, tetapi entah mengapa, saya merasa terjebak di sini."

Tio memandang Rina dengan tajam. "Mimpi itu harus diperjuangkan, Rina. Jangan biarkan ketakutan menghalangimu. Hujan ini mungkin seperti rintangan yang harus kita hadapi, tetapi setelah hujan, ada pelangi."

Rina tersenyum mendengar kata-kata Tio. "Pelangi... Saya selalu menyukai pelangi."

Waktu berlalu, dan mereka terus berbicara, berbagi cerita tentang impian dan harapan masing-masing. Rina merasa terhubung dengan Tio, seperti menemukan teman baru yang mengerti apa yang dia rasakan. Suara hujan di luar menjadi latar yang sempurna untuk percakapan mereka yang semakin dalam.

Namun, saat malam semakin larut, Tio tiba-tiba terlihat gelisah. "Rina, saya harus pergi sekarang. Terima kasih banyak atas tempat berteduhnya. Saya tidak ingin mengganggu terlalu lama."

Rina terkejut. "Tapi hujan masih deras, Tio. Kenapa kamu tidak tinggal lebih lama?"

Tio menggeleng. "Saya harus mencari adikmu. Dia harus tahu tentang ini."

"Baiklah," kata Rina dengan ragu. "Tapi hati-hati, ya."

Tio mengangguk dan meraih jaketnya. Sebelum pergi, dia berbalik dan menatap Rina dengan serius. "Ingat, jangan pernah ragu untuk mengejar mimpimu. Kamu bisa melakukannya."

Setelah Tio pergi, Rina kembali ke kamar dan menatap jendela yang basah oleh hujan. Dia merasa aneh, campuran antara cemas dan bersemangat. Kata-kata Tio terngiang di kepalanya. Dia ingin mengejar mimpinya, tetapi di mana dia harus mulai?

Tanpa sadar, Rina membuka laptopnya dan mulai menulis. Kata-kata mengalir deras seperti hujan di luar. Dia menulis tentang mimpinya, tentang harapan dan ketakutannya, dan tentang Tio yang memberinya semangat. Tanpa disadari, Rina telah menghabiskan berjam-jam di depan layar, dan saat dia berhenti, rasa lega dan kebahagiaan menyelimuti hatinya.

Keesokan paginya, Rina terbangun dengan perasaan segar. Hujan sudah berhenti, dan sinar matahari mulai menyinari desanya. Ia melangkah ke jendela dan melihat pelangi menghiasi langit. "Pelangi," bisiknya. Dia teringat akan percakapan dengan Tio semalam.

Keputusan untuk mengejar mimpinya semakin bulat. Dia tidak bisa membiarkan ketakutan dan keraguan menghalanginya lagi. Dia akan mulai menulis cerita yang telah lama ingin ditulis, terinspirasi oleh pengalaman dan pertemuannya dengan Tio.

Rina segera menyiapkan sarapan, berencana untuk menghubungi ibunya dan memberitahu bahwa dia akan menghabiskan lebih banyak waktu di desa. Dia merasa lebih percaya diri dan bersemangat untuk menjelajahi kreativitasnya.

Namun, saat ia sedang menikmati sarapan, tiba-tiba suara ketukan terdengar di pintu. Rina terkejut dan segera menuju pintu. Saat membukanya, dia mendapati Tio berdiri di depan, tampak lelah dan cemas.

"Tio! Ada apa?" tanya Rina, khawatir.

"Saya... saya tidak menemukan adikmu," jawab Tio dengan napas tersengal-sengal. "Saya sudah mencarinya di sekitar desa, tetapi tidak ada jejaknya."

Rina merasa khawatir. "Apa yang terjadi? Kenapa kamu mencarinya begitu mendesak?"

Tio menjelaskan bahwa ada sesuatu yang aneh terjadi di kota. Beberapa teman mereka menghilang secara misterius, dan dia merasa adik Rina mungkin juga terjebak dalam situasi yang sama. Rina merasa jantungnya berdegup kencang. Ia tidak ingin kehilangan saudaranya.

"Harus ada cara untuk menemukannya. Mungkin kita bisa mencari di tempat-tempat yang pernah dia kunjungi?" usul Rina.

Tio mengangguk. "Kita bisa mulai dari Hutan Larangan. Dia pernah mengatakan ingin menjelajahi tempat itu."

Rina merasa bersemangat dan ketakutan sekaligus. Hutan Larangan adalah tempat yang selama ini dia hindari. Namun, dengan semangat yang baru bangkit dalam dirinya, dia tahu dia tidak bisa mundur sekarang.

Setelah menyiapkan perbekalan, Rina dan Tio berangkat menuju Hutan Larangan. Setiap langkah terasa berat, tetapi Rina berusaha meneguhkan hatinya. Dia tahu, untuk menemukan adiknya, dia harus menghadapi ketakutannya.

Saat mereka memasuki hutan, suasana kembali berubah. Suara burung dan hewan lain kembali menghilang, dan hanya ada desah angin yang terdengar. Rina merasakan ketegangan di udara, tetapi kali ini dia tidak mau menyerah.

"Tio, kita harus tetap fokus," katanya, berusaha menenangkan dirinya.

Mereka berjalan lebih dalam, mengikuti jalan setapak yang samar. Tio mengamati sekitar, mencoba mencari tanda-tanda keberadaan adik Rina. Namun, semakin dalam mereka menjelajah, semakin Rina merasakan ada sesuatu yang mengintai mereka.

"Tio, apakah kamu merasakannya?" Rina bertanya.

"Merasakan apa?" Tio menjawab, tampak bingung.

"Sepertinya ada yang mengikuti kita," ujar Rina, merasa tidak nyaman.

Tio menatap Rina dengan serius. "Jangan takut. Kita harus terus berjalan."

Akhirnya, mereka tiba di sebuah area terbuka di dalam hutan. Di sana, ada sebuah batu besar yang terlihat seperti altar. Rina merasa ada sesuatu yang aneh dengan tempat ini. "Tio, sepertinya tempat ini tidak biasa."

Saat mereka mendekat, Rina melihat ada ukiran aneh di batu tersebut. "Ini... ini seperti yang ada di rumahku," katanya, terkejut.

"Rina, ada yang aneh di sini," kata Tio, sambil mengawasi sekeliling.

Tiba-tiba, mereka mendengar suara dari arah belakang. Rina dan Tio berbalik dan melihat sosok yang berdiri di antara pepohonan. Hati Rina berdebar kencang. "Siapa itu?" tanyanya ketakutan.

Sosok itu melangkah maju, dan Rina tertegun saat mengenali wajahnya. "Adikku!" serunya.

Adiknya, Dinda, terlihat kotor dan lelah, tetapi ada kilatan keberanian di matanya. "Kak! Tio!" serunya, berlari menghampiri mereka.

Rina berlari memeluk Dinda. "Aku khawatir padamu! Di mana kamu selama ini?"

Dinda tampak bingung, "Aku... aku tidak tahu. Setelah berkeliling, aku terjebak di sini. Ada sesuatu yang menghalangiku untuk keluar."

Tio segera bertanya, "Apa yang terjadi? Kenapa kamu bisa terjebak di sini?"

Dinda menggeleng. "Aku hanya mengikuti suara yang memanggilku. Rasanya seperti ada yang memanggilku ke dalam hutan ini."

Rina merasa ada sesuatu yang tidak beres. "Kita harus pergi dari sini. Ini bukan tempat yang aman."

Namun, saat mereka berusaha pergi, tiba-tiba suasana berubah. Angin berhembus kencang, dan suara gemuruh terdengar di kejauhan. Rina merasakan ketegangan di udara. "Ada sesuatu yang salah," katanya.

Tio menggenggam tangan Rina dan Dinda, "Ikuti aku, kita harus cepat keluar dari sini."

Mereka berlari, tetapi hutan seolah menahan mereka. Rina merasa seolah ada yang menariknya kembali. "Ayo, jangan berhenti!" teriak Tio, berusaha memacu mereka untuk terus bergerak.

Saat mereka berlari, suara aneh bergema di antara pepohonan. "Tinggalkan tempat ini... tinggalkan tempat ini..." suara itu berbisik, seolah mencoba membujuk mereka untuk berhenti.

Rina merasa ketakutan, tetapi dia tahu mereka tidak boleh menyerah. Dia berusaha mengingat kembali semua cerita neneknya tentang hutan ini, tentang bagaimana untuk melawan ketakutan.

"Jangan dengarkan suara itu!" Rina berteriak. "Kita harus fokus untuk keluar!"

Dengan semua kekuatan yang ada, mereka terus berlari. Rina merasakan kakinya lelah, tetapi semangatnya tidak padam. Dia ingin melindungi adiknya dan Tio.

Akhirnya, setelah berlari cukup lama, mereka melihat cahaya di kejauhan. "Itu dia! Kita hampir sampai!" Tio berteriak dengan semangat.

Mereka melanjutkan berlari menuju cahaya, dan saat mereka mendekat, mereka merasakan udara segar yang menyelimuti tubuh mereka. Akhirnya, mereka keluar dari hutan dan melihat desa di depan mereka.

Setelah keluar dari hutan, Rina, Tio, dan Dinda terengah-engah. Mereka saling berpandangan dan kemudian tersenyum. "Kita berhasil!" kata Rina.

Dinda terlihat kelelahan tetapi bahagia. "Kak, terima kasih sudah mencariku."

Rina memeluk adiknya. "Aku akan selalu mencarimu, Dinda. Tidak peduli apa pun yang terjadi."

Tio menatap mereka dengan senyuman lebar. "Kalian hebat. Kalian bisa mengatasi ketakutan kalian."

Mereka berjalan kembali ke desa dengan langkah ringan. Di sana, Rina merasa ada sesuatu yang telah berubah dalam dirinya. Dia telah menghadapi ketakutannya dan menemukan kekuatan yang tidak pernah dia sadari ada dalam dirinya. Dia tahu, untuk mengejar mimpinya, dia harus berani menghadapi segala rintangan.

Rina berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak lagi ragu. Seperti pelangi yang muncul setelah hujan, harapan dan impiannya akan selalu ada. Dia akan terus menulis, mengekspresikan semua yang telah dia alami, dan menjadikan pengalaman itu sebagai bagian dari kisah hidupnya.

Malam itu, Rina duduk di depan laptopnya, menulis dengan penuh semangat. Dia menulis tentang petualangan mereka di Hutan Larangan, tentang keberanian yang ditemukan di tengah ketakutan, dan tentang betapa berharganya arti sebuah keluarga.

Hujan kembali turun, tetapi kali ini, Rina tidak merasa sendirian. Dia tahu bahwa dia memiliki Tio dan Dinda yang selalu mendukungnya. Mimpinya kini terasa lebih dekat, dan dengan setiap kata yang ditulisnya, dia merasa lebih hidup.

"Ini baru awal," gumamnya. "Aku tidak akan berhenti. Tidak sekarang."

Dengan penuh keyakinan, Rina terus mengetik, membiarkan jari-jarinya menari di atas keyboard, menciptakan dunia baru yang penuh harapan dan keajaiban. Di ujung hujan, ia menemukan jati dirinya dan kekuatan untuk bermimpi kembali.

Sumbawa, 01 Oktober 2024

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun