Mohon tunggu...
Marisa Fitri
Marisa Fitri Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi

Saya adalah salah satu mahasiswi semester akhir. Saya memiliki hobi membaca dan menulis karya sastra yang memiliki nilai moral tersendiri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Cerpen: Harapan di Balik Bukit Tinggi

10 September 2024   20:59 Diperbarui: 10 September 2024   21:59 97
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Di sebuah desa yang dikelilingi oleh hamparan sawah hijau dan bukit-bukit menjulang, hiduplah seorang gadis bernama Lila. Setiap sore, ketika matahari mulai tenggelam, Lila selalu duduk di sebuah batu besar di puncak bukit, memandangi senja yang berwarna oranye kemerahan. Bagi Lila, senja adalah saat yang paling ia tunggu-tunggu setiap harinya, meskipun orang-orang di desanya sering mengatakan bahwa ia aneh karena senang menyendiri di bukit.

Namun, ada alasan mengapa Lila selalu menanti senja di bukit. Di tempat itu, ia bisa berbicara dengan sosok yang hanya ia bisa lihat---Aruna, seorang perempuan misterius yang entah datang dari mana. Aruna memiliki rambut panjang yang berkilau seperti emas di bawah sinar matahari, dan senyumannya selalu membuat Lila merasa tenang.

"Kenapa kamu selalu di sini, Aruna?" tanya Lila pada suatu sore. Matahari mulai tenggelam perlahan, mewarnai langit dengan semburat oranye yang memukau.

Aruna tersenyum, memandangi langit senja. "Aku juga suka senja, seperti kamu," jawabnya pelan. "Tapi, mungkin alasanku lebih dalam dari sekadar menyukai keindahannya."

Lila terdiam. Sejak pertama kali bertemu dengan Aruna, ia selalu merasa ada sesuatu yang berbeda pada wanita itu. Kehadiran Aruna bagaikan angin, tak kasat mata namun bisa dirasakan. Lila tahu Aruna bukan manusia biasa, tapi ia tak pernah bertanya lebih jauh.

"Apakah kamu berasal dari sini?" tanya Lila lagi, mencoba memecah keheningan.

"Desa ini adalah bagian dari masa laluku, Lila. Sangat lama, bahkan mungkin lebih lama dari yang bisa kamu bayangkan," jawab Aruna. Tatapan matanya menerawang, seakan sedang mengingat sesuatu yang jauh dari ingatan.

Lila selalu penasaran, tapi ia tidak ingin memaksa. Aruna selalu tampak melankolis ketika ditanya tentang masa lalunya, seolah ada luka yang belum sembuh sepenuhnya.

"Apakah kamu pernah bahagia di sini?" tanya Lila, kini dengan nada yang lebih lembut.

"Aku pernah bahagia," jawab Aruna, kali ini dengan suara yang lebih lirih. "Tapi, kebahagiaan itu tidak bertahan lama. Dan itulah mengapa aku selalu kembali ke bukit ini, setiap senja."

Lila tidak bertanya lagi. Ia tahu, meskipun Aruna selalu tersenyum padanya, ada duka yang dalam di balik senyuman itu. Mereka berdua duduk dalam keheningan, memandangi matahari yang perlahan menghilang di balik cakrawala.

Hari itu berlalu seperti biasanya, namun di malam harinya, Lila tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan Aruna dan apa yang sebenarnya terjadi di masa lalunya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa terhubung dengan wanita misterius itu, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.

Keesokan harinya, Lila kembali ke bukit pada sore hari seperti biasa. Namun, kali ini Aruna tidak muncul. Lila menunggu dan terus menunggu, tapi sosok wanita itu tidak datang. Ada perasaan cemas yang tiba-tiba menyergap hati Lila. Biasanya, Aruna selalu muncul tanpa diminta, seakan mereka sudah berjanji untuk bertemu di sana setiap sore.

Lila menunggu hingga matahari benar-benar tenggelam, tapi tetap saja Aruna tidak terlihat. Dengan perasaan sedih, Lila akhirnya pulang ke rumah.

Hari-hari berikutnya pun sama. Aruna tidak pernah datang lagi. Lila terus menunggu di bukit, namun yang datang hanyalah senja yang hening dan sunyi. Tidak ada senyum Aruna, tidak ada cerita dari masa lalu, tidak ada kehangatan yang biasa Lila rasakan setiap kali mereka bersama.

Lila mulai bertanya-tanya apakah ia hanya berhalusinasi selama ini. Apakah Aruna benar-benar ada, ataukah ia hanya bagian dari khayalan yang ia ciptakan sendiri? Namun, hatinya menolak untuk percaya bahwa semua itu hanyalah ilusi. Ia bisa merasakan kehadiran Aruna, bahkan sekarang pun, ia merasa bahwa Aruna masih ada di suatu tempat.

Lila tidak menyerah. Setiap sore, ia tetap mendaki bukit dan duduk di tempat yang sama, berharap Aruna akan kembali. Dan akhirnya, setelah seminggu penuh menunggu dalam ketidakpastian, Aruna muncul lagi.

"Kamu pergi kemana?" tanya Lila dengan nada penuh kerinduan dan sedikit marah. "Aku menunggumu setiap hari!"

Aruna tersenyum tipis, namun kali ini senyumannya terlihat lebih muram daripada biasanya. "Maafkan aku, Lila. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan."

Lila merasa ada sesuatu yang tidak beres. Aruna tampak lebih pucat dan lelah dari biasanya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Aruna? Tolong, katakan padaku," pinta Lila dengan nada memohon.

Aruna terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Mungkin sudah waktunya kamu tahu, Lila. Aku bukan manusia seperti kamu."

"Aku tahu itu," jawab Lila cepat. "Tapi, siapa kamu sebenarnya?"

"Aku adalah roh yang terjebak di antara dunia ini dan dunia berikutnya," kata Aruna dengan suara yang sangat pelan, hampir seperti bisikan. "Dulu, aku hidup di desa ini, dan aku memiliki seseorang yang sangat kucintai. Namun, kebahagiaan kami tidak bertahan lama. Aku meninggal karena sebuah tragedi yang mengerikan, dan sejak itu, jiwaku tidak bisa pergi."

Lila merasa tubuhnya merinding mendengar cerita Aruna. "Tragedi apa yang terjadi padamu?"

"Aku dibunuh," jawab Aruna, suaranya bergetar. "Orang yang aku percayai menghianatiku. Cintaku sendiri yang mengakhiri hidupku."

Lila terdiam, hatinya terasa sakit mendengar pengakuan itu. Ia tidak pernah menyangka bahwa di balik senyuman lembut Aruna, tersembunyi luka yang begitu dalam.

"Setelah kematianku, aku terjebak di sini, di bukit ini, tempat di mana aku dulu sering menghabiskan waktu bersama orang yang kucintai. Aku selalu menunggu, berharap bisa menemukan kedamaian, tapi aku tidak pernah bisa."

Lila menatap Aruna dengan mata berkaca-kaca. "Kenapa kamu tidak bisa pergi?"

"Karena hatiku belum sepenuhnya ikhlas," jawab Aruna pelan. "Aku masih terikat oleh rasa sakit dan pengkhianatan. Dan aku juga terikat oleh kenangan---kenangan tentang cinta yang seharusnya tidak pernah ada."

Lila tidak tahu harus berkata apa. Ia hanya bisa duduk di samping Aruna, merasakan beban yang selama ini wanita itu bawa sendirian.

"Apa yang bisa aku lakukan untuk membantumu?" tanya Lila, suaranya bergetar.

Aruna tersenyum tipis. "Terima kasih, Lila. Kamu sudah banyak membantuku hanya dengan menjadi teman dan mendengarkan ceritaku. Tapi, mungkin inilah akhirnya. Aku harus pergi."

"Pergi kemana?"

"Ke tempat di mana aku seharusnya berada. Dunia ini bukan lagi tempatku."

Lila merasa hatinya hancur. "Aku tidak ingin kamu pergi, Aruna."

"Aku tahu," jawab Aruna dengan lembut. "Tapi aku sudah terlalu lama terjebak di sini. Dan kamu juga, Lila, harus melanjutkan hidupmu tanpa terus terikat padaku."

Matahari mulai tenggelam lagi di balik bukit, mewarnai langit dengan warna merah keemasan. Aruna bangkit dari duduknya, lalu memandang Lila untuk terakhir kalinya.

"Selamat tinggal, Lila. Terima kasih untuk segalanya."

Dan sebelum Lila sempat mengatakan apa-apa, Aruna menghilang, lenyap bersama senja.

Lila tetap duduk di sana, memandangi langit yang perlahan berubah menjadi gelap. Air mata mengalir di pipinya, tapi ia tahu bahwa Aruna akhirnya telah menemukan kedamaian. Meskipun sakit kehilangan, Lila merasa lega. Setidaknya, Aruna tidak lagi terjebak di dunia ini.

Dan sejak hari itu, senja di bukit tidak lagi sama. Tapi, setiap kali matahari tenggelam, Lila selalu teringat akan Aruna---teman yang datang dari senja dan pergi bersama malam.

Sumbawa, 10 September 2024

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun