Hari itu berlalu seperti biasanya, namun di malam harinya, Lila tidak bisa tidur. Ia terus memikirkan Aruna dan apa yang sebenarnya terjadi di masa lalunya. Ada sesuatu yang membuatnya merasa terhubung dengan wanita misterius itu, sesuatu yang tidak bisa dijelaskan dengan kata-kata.
Keesokan harinya, Lila kembali ke bukit pada sore hari seperti biasa. Namun, kali ini Aruna tidak muncul. Lila menunggu dan terus menunggu, tapi sosok wanita itu tidak datang. Ada perasaan cemas yang tiba-tiba menyergap hati Lila. Biasanya, Aruna selalu muncul tanpa diminta, seakan mereka sudah berjanji untuk bertemu di sana setiap sore.
Lila menunggu hingga matahari benar-benar tenggelam, tapi tetap saja Aruna tidak terlihat. Dengan perasaan sedih, Lila akhirnya pulang ke rumah.
Hari-hari berikutnya pun sama. Aruna tidak pernah datang lagi. Lila terus menunggu di bukit, namun yang datang hanyalah senja yang hening dan sunyi. Tidak ada senyum Aruna, tidak ada cerita dari masa lalu, tidak ada kehangatan yang biasa Lila rasakan setiap kali mereka bersama.
Lila mulai bertanya-tanya apakah ia hanya berhalusinasi selama ini. Apakah Aruna benar-benar ada, ataukah ia hanya bagian dari khayalan yang ia ciptakan sendiri? Namun, hatinya menolak untuk percaya bahwa semua itu hanyalah ilusi. Ia bisa merasakan kehadiran Aruna, bahkan sekarang pun, ia merasa bahwa Aruna masih ada di suatu tempat.
Lila tidak menyerah. Setiap sore, ia tetap mendaki bukit dan duduk di tempat yang sama, berharap Aruna akan kembali. Dan akhirnya, setelah seminggu penuh menunggu dalam ketidakpastian, Aruna muncul lagi.
"Kamu pergi kemana?" tanya Lila dengan nada penuh kerinduan dan sedikit marah. "Aku menunggumu setiap hari!"
Aruna tersenyum tipis, namun kali ini senyumannya terlihat lebih muram daripada biasanya. "Maafkan aku, Lila. Ada sesuatu yang harus aku selesaikan."
Lila merasa ada sesuatu yang tidak beres. Aruna tampak lebih pucat dan lelah dari biasanya. "Apa yang sebenarnya terjadi, Aruna? Tolong, katakan padaku," pinta Lila dengan nada memohon.
Aruna terdiam sejenak, lalu menghela napas panjang. "Mungkin sudah waktunya kamu tahu, Lila. Aku bukan manusia seperti kamu."
"Aku tahu itu," jawab Lila cepat. "Tapi, siapa kamu sebenarnya?"