Di tengah hiruk pikuk Kota Jakarta, terdapat sebuah kafe kecil yang tersembunyi di sudut jalan. Namanya "Caf Chronos." Tidak banyak yang tahu tentang tempat ini, kecuali beberapa orang yang secara tidak sengaja menemukannya. Bangunannya sederhana, dengan jendela besar yang menghadap ke jalan sempit.Â
Di dalamnya, suasana tenang dengan musik jazz yang lembut mengalun di udara. Kafe ini dikenal bukan karena menunya yang istimewa, melainkan karena keunikannya yang misterius: di tempat ini, waktu seolah-olah berhenti.
Hari itu, Satria, seorang pekerja kantoran yang selalu disibukkan oleh rutinitas, tidak sengaja menemukan kafe ini.Â
Saat itu, ia sedang berjalan kaki pulang dari kantor setelah hari yang panjang. Rasa lelah dan stres memaksanya untuk mencari tempat yang tenang. Tanpa berpikir panjang, ia melangkahkan kakinya ke dalam Caf Chronos.
Begitu masuk, Satria langsung merasa ada yang berbeda. Udara di dalam kafe terasa sejuk dan damai, seolah memutusnya dari kesibukan dunia luar.Â
Ia memilih duduk di sudut, tepat di sebelah jendela, dan mulai melihat sekeliling. Di salah satu sudut kafe, ia melihat seorang pria tua dengan rambut putih yang duduk sambil membaca buku.Â
Di meja lain, sepasang kekasih tengah berbincang pelan, diselimuti oleh cahaya temaram dari lampu gantung. Namun, yang paling menarik perhatiannya adalah seorang wanita muda yang duduk sendirian di dekat rak buku. Ia terlihat begitu tenang, menikmati secangkir kopi sambil menatap keluar jendela.
Setelah beberapa saat, seorang pelayan datang menghampirinya. "Selamat malam, apa yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu dengan suara lembut.
"Saya pesan kopi hitam saja, tolong," jawab Satria.
Pelayan itu tersenyum, lalu berbalik untuk menyiapkan pesanannya. Satria kembali menatap keluar jendela, menyadari bahwa di luar, malam mulai menjelang.Â
Namun, ada sesuatu yang aneh. Waktu sepertinya berjalan lebih lambat dari biasanya. Langit jingga senja tampak bertahan lebih lama dari yang seharusnya. Dan di dalam kafe, suasana itu terasa abadi, seperti waktu benar-benar berhenti.
Beberapa menit kemudian, kopi yang dipesannya tiba. Satria menyeruputnya perlahan, merasakan kehangatan cairan hitam itu mengalir di tenggorokannya. Saat itu, wanita yang duduk sendirian tadi, berdiri dan berjalan ke arah pintu keluar. Namun, sebelum ia keluar, ia berhenti sejenak dan menatap Satria.Â
Tatapan mata mereka bertemu. Mata wanita itu tampak dalam, seolah menyimpan banyak rahasia yang tak terucapkan. Satria merasa ada sesuatu yang familiar dalam tatapan itu, tapi ia tidak bisa mengingat di mana ia pernah melihatnya.
Wanita itu tersenyum tipis, lalu melangkah keluar dari kafe. Ketika pintu tertutup, Satria merasa ada sesuatu yang hilang. Ia tidak bisa menjelaskan perasaan itu, tapi sepertinya wanita itu meninggalkan sesuatu yang penting, sesuatu yang berhubungan dengannya.
Keesokan harinya, Satria kembali ke kafe tersebut. Rasa penasaran dan perasaan aneh yang dirasakannya malam sebelumnya memaksanya untuk mencari tahu lebih banyak.Â
Kali ini, kafe tampak lebih sepi. Hanya ada pelayan yang sama dengan hari sebelumnya dan seorang pria tua yang duduk di meja yang sama dengan buku yang sama.
"Selamat datang kembali," sapa pelayan itu dengan senyum hangat.
Satria tersenyum tipis, lalu duduk di tempat yang sama. "Kopi hitam, seperti kemarin," katanya singkat.
Pelayan itu mengangguk dan pergi untuk menyiapkan pesanannya. Satria kembali menatap ke luar jendela, berharap bisa melihat wanita itu lagi, tetapi dia tidak ada di sana.Â
Satria mencoba mengingat wajahnya, mencoba menghubungkan apa yang ia rasakan dengan wanita itu. Namun, ingatannya terasa kabur, seperti mimpi yang sulit diingat kembali.
Ketika pelayan datang membawa kopinya, Satria bertanya, "Wanita yang kemarin duduk di sana, siapa dia?"
Pelayan itu mengernyitkan dahinya. "Wanita? Maaf, saya tidak ingat ada wanita yang datang kemarin. Kafe ini sangat sepi kemarin, hanya ada Anda, pria tua itu, dan sepasang kekasih."
Satria terkejut. Bagaimana mungkin pelayan itu tidak mengingatnya? Wanita itu jelas ada di sana, mereka bahkan saling menatap. "Anda yakin? Dia duduk di dekat rak buku, sendirian."
Pelayan itu tampak ragu sejenak, tapi kemudian menggeleng. "Maaf, Pak, saya tidak ingat ada wanita seperti yang Anda deskripsikan. Mungkin Anda salah ingat?"
Satria mengerutkan kening. Bagaimana mungkin ia salah ingat? Wanita itu begitu nyata. Tapi pelayan itu tampak jujur, dan Satria tidak punya alasan untuk meragukannya.
Setelah pelayan pergi, Satria memutuskan untuk memeriksa rak buku tempat wanita itu duduk. Di sana, ia menemukan sebuah buku tua dengan sampul yang sudah pudar. Judulnya "Chronos: Sang Penjaga Waktu." Tanpa berpikir panjang, ia mengambil buku itu dan membawanya ke mejanya.
Buku itu menceritakan tentang seorang pria yang memiliki kemampuan untuk menghentikan waktu. Pria itu, yang dikenal sebagai Chronos, menggunakan kekuatannya untuk membantu orang-orang menemukan kedamaian di tengah kekacauan hidup mereka. Namun, kekuatannya juga menjadi kutukan karena ia tidak bisa bergerak maju dalam hidupnya.Â
Chronos terjebak dalam lingkaran waktu yang terus berulang, dan satu-satunya cara untuk mematahkan kutukan itu adalah dengan menemukan seseorang yang bisa mengingatnya, bahkan ketika waktu berhenti.
Satria merasa ada sesuatu yang aneh dengan cerita ini. Seolah-olah buku itu berbicara langsung kepadanya. Ia terus membaca, mencoba memahami hubungan antara cerita di dalam buku dan apa yang terjadi di kafe ini.
Ketika Satria menutup buku itu, tiba-tiba ia mendengar suara pelan di belakangnya. "Apakah kau sudah menemukan jawabannya?"
Satria terkejut dan berbalik. Di sana, berdiri pria tua yang sebelumnya duduk membaca. Wajahnya dipenuhi keriput, namun matanya memancarkan kebijaksanaan yang mendalam.
"Apa maksud Anda?" tanya Satria.
Pria tua itu tersenyum lembut. "Wanita yang kau cari, dia bukan siapa-siapa, dan dia adalah segalanya. Dia adalah penjaga waktu, seperti yang diceritakan dalam buku itu. Kafe ini bukan hanya tempat biasa. Di sini, waktu berhenti, memberi kesempatan bagi mereka yang tersesat untuk menemukan jalan mereka kembali."
Satria merasa bingung. "Tapi kenapa saya? Kenapa saya bisa melihatnya?"
"Karena kau sedang mencari jawaban," jawab pria tua itu. "Di tengah kesibukan hidupmu, kau kehilangan arah. Kafe ini menarikmu, karena di dalam dirimu, kau ingin waktu berhenti, setidaknya untuk sementara, agar kau bisa merenung dan menemukan kedamaian."
Satria terdiam. Kata-kata pria tua itu menggema dalam pikirannya. Memang benar, akhir-akhir ini ia merasa hidupnya terlalu cepat. Pekerjaan, tekanan, harapan---semuanya membuatnya merasa seperti sedang berlari tanpa tujuan. Kafe ini memberinya kesempatan untuk berhenti, untuk beristirahat, dan untuk menemukan kembali apa yang hilang dalam hidupnya.
"Apakah dia akan kembali?" tanya Satria pelan, berharap bisa bertemu wanita itu lagi.
Pria tua itu tersenyum penuh arti. "Dia selalu ada di sini, menunggu orang-orang seperti dirimu. Tapi dia tidak akan muncul kecuali kau benar-benar membutuhkannya. Terkadang, jawaban yang kita cari sudah ada di dalam diri kita sendiri. Kita hanya perlu berhenti sejenak untuk menemukannya."
Setelah berkata demikian, pria tua itu kembali ke mejanya dan melanjutkan membaca bukunya. Satria merenung, mencoba memahami semua yang baru saja didengarnya.Â
Mungkin memang benar, kafe ini adalah tempat di mana waktu berhenti, memberikan kesempatan bagi mereka yang tersesat untuk menemukan arah mereka kembali.
Satria menatap kembali ke luar jendela. Malam sudah tiba, dan langit dipenuhi bintang. Ia merasa lebih ringan, seolah beban yang selama ini menekannya telah sedikit terangkat.Â
Mungkin dia tidak akan pernah tahu siapa wanita itu sebenarnya, atau kenapa kafe ini memiliki kekuatan seperti itu. Tapi satu hal yang pasti, ia menemukan kedamaian yang sudah lama ia cari.
Malam itu, Satria meninggalkan kafe dengan langkah yang lebih ringan. Di luar, jalanan sudah sepi, hanya ada suara angin yang berbisik. Ia berjalan pulang dengan senyuman di wajahnya, merasa siap untuk menghadapi hari esok dengan semangat baru.
Namun, ketika ia melihat ke belakang, kafe itu tidak ada lagi. Hanya ada bangunan kosong, seolah kafe itu tidak pernah ada di sana. Satria berhenti, merasa kebingungan. Apakah semua itu hanya mimpi? Tapi buku yang ada di tangannya mengingatkannya bahwa apa yang ia alami adalah nyata.
Di tengah kesunyian malam, Satria menyadari bahwa kafe itu akan selalu ada di hatinya, menjadi tempat di mana ia bisa berhenti sejenak, merenung, dan menemukan kembali dirinya sendiri. Meskipun kafe itu tidak lagi ada di dunia nyata, kedamaiannya akan selalu ada bersamanya, kapan pun ia membutuhkannya.
Dan mungkin, di suatu tempat, di sudut lain dunia ini, ada seseorang yang sedang memasuki kafe serupa, mencari jawaban atas pertanyaan hidupnya. Kafe di mana waktu berhenti, dan kedamaian bisa ditemukan di setiap cangkir kopi.
Sumbawa, 4 September 2024
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H