Hujan menari di altar langit kelam,
menenun rindu dengan benang muram.
Rintiknya adalah gemawan air mata,
meluruhkan elegi jiwa yang tak bernyawa.
Pada pelataran malam yang sunyi,
angin mengabarkan kisah purbani.
Namamu terukir di nadi angkasa,
namun terhapus oleh dingin yang tak berasa.
Rinai hujan, orkestrasi pilu,
melodi yang memahat waktu menjadi bisu.
Tiap dentingnya adalah luka yang bernyanyi,
menghujam relung hati hingga tak terperi.
Di relung kabut, bayangmu menari,
melarung janji pada pusara mimpi.
Aku mengejarmu di samudra hampa,
namun langkahku tenggelam dalam gelora.
Adakah kau dengar jerit awan yang merintih?
Ia menyalami duka dengan irama lirih.
Tapi kau tetap menjelma keheningan,
membiarkan aku bersetia pada kehampaan.
Setiap tetes hujan adalah kisah yang gugur,
menjelma sajak kehilangan yang tak kabur.
Dingin membalut tubuhku yang retak,
seperti angin yang menoreh luka tanpa jejak.
Hujan berbicara dalam bahasa abadi,
mengisahkan perpisahan yang tak terperi.
Aku, penziarah pada makam kenangan,
menabur doa di altar kehampaan.
Kala petir berseru memecah kelam,
kupandang langit, mencari jawab yang diam.
Namun hujan tetap menjadi kitab yang tertutup,
menyimpan rahasia yang tak pernah ditelusup.
O, hujan, biarkan aku menulis takdirku,
di atas permukaanmu yang fana dan pilu.
Agar namanya tak lagi merajai nadiku,
dan rindu ini sirna bersama deras arusmu.
Namun, meski kau larutkan segalanya,
kenangan tetap bersarang di ruang tak bernama.
Ia, abadi seperti rintik yang jatuh ke bumi,
mendendangkan nyanyi sunyi, untuk hati yang mati.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H