Saya duduk memperhatikan dua siswa yang terlibat perkelahian. Satu berbadan kecil, mata kirinya sedikit lebam. Satu berbadan agak besar, hidungnya berdarah. Bajunya juga dipenuhi darah. Ia tampak kacau.
        "Tolong selesaikan," kata salah seorang guru.
        "Saya bukan piket hari ini," saya menjawab santai, sambil memperhatikan kedua siswa itu yang sudah sejak tadi duduk.Â
Saya masih tidak bersedia ambil alih. Sebab takut dianggap melangkahi piket. Namun, karena beberapa desakan, saya melakukannya. Saya tidak tahu, kenapa harus saya yang menyelesaikannya. Bukan piket, bukan kesiswaan. Saya berpikir positif saja: mungkin guru-guru lain lebih mempercayainya, lebih-lebih saya sedang mengikuti Program Guru Penggerak.Yang ada kemungkinan "dugaan" saya mampu menyelesaikannya dengan pengetahuan yang didapatkan dari kegiatan itu.Â
 Sejenak, saya menatap dua siswa yang tadi. Ada kemarahan berkecamuk dalam diri. Sebagai manusia yang kerap menyelesaikan masalah dengan kekerasan, saya hendak menampar keduanya. Tapi, saya mengurungkannya. Saya berpikir untuk menyelesaikannya dengan cara lain. Mereka sudah tampak kesakitan, kalau nanti ditampar, mereka akan tambah sakit.
Saya memutuskan untuk menyelesaikan dengan cara rasional: Segitiga Restitusi.  Melalui pendekatan restitusi, ketika siswa berbuat salah, guru akan menanggapi dengan mengajak siswa  berefleksi tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka sehingga mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan menghargai dirinya. Pendekatan restitusi tidak hanya menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah.
Saya pun memulainya sesuai tahapan segitiga restitusi:
- Menstabilkan Identitas
Dalam tahapan ini, saya mengajukan pertanyaan.
"Apakah  perbuatan kalian ini baik sebagai seorang siswa?"
Mereka terdiam. Mereka tunduk.
"Tidak," jawab salah satunya.