Jurus Jitu Segitiga Restitusi: Gara-Gara Satu Lidi
M. Hamse
Â
Jumat, 17 Februari 2023, bumi baru saja dibasuh hujan. Ini tidak salah, sekarang memang musim hujan. Saya masih santai di kantin, menikmati kopi dan bercanda ria dengan beberapa orang guru. Menghabiskan waktu sejenak, setelah dari pagi, Â jam 07.30 WITENG mengajar. Menghadapi berbagai persoalan belajar dalam kelas. Menghadapi siswa yang beragam.Â
Suasana itu menjadi terganggu, saat terjadi keributan di sudut ruang sekolah, tepat jam 09.40 WITENG. Terjadi keributan yang tak tahu sebabnya di sudut ruang sekolah. Saya tidak menggubris, dengan beberapa alasan. Bukan ingin meninggalkan tugas saya selaku guru. Hanya karena beberapa alasan! Â Hingga saya didatangi oleh seorang guru dan menceritakan hal yang terjadi.Â
        "Ada siswa yang berkelahi. Tolong selesaikan," katanya. Kalimat ini seolah (menurut saya) memiliki harapan yang tinggi.
        Oh, ternyata itu penyebab keributan. Yang tentu mengganggu suasana!
        "Saya bukan guru piket hari ini," saya menjawb singkat.
Memang betul saya tidak sebagai piket hari itu. Kalau nanti mengiakan yang disampaikan guru tersebut, kesannya saya mengintervensi tugas guru piket. Saya tidak bermaksud menolak. Hanya saja waktunya tidak tepat untuk saya tangani.
Saya masih diam dan mengamati kejadian itu dari jauh. Tampak semua murid, yang totalnya ratusan lebih berkerumun. Mendatangi TKP sekedar melihat kejadian. Saya jadi penasaran! Karena penasaran, saya mendatangi TKP. Hanya mau melihat saja, seperti siswa-siswa sekolah. Di TKP sudah tampak beberapa guru yang sudah melerai perkelahian itu. Saya pun berhadapan dengan dua siswa yang bermasalah. Saya menganjurkan mereka ke ruang guru. Sebab tiak baik jika diselesaikan di muka umum.Â
        "Guru piket, mohon segera selesaikan." Saya mengatakan demikian, tidak hendak memerintah. Sekedar mengingatkan.
Saya duduk memperhatikan dua siswa yang terlibat perkelahian. Satu berbadan kecil, mata kirinya sedikit lebam. Satu berbadan agak besar, hidungnya berdarah. Bajunya juga dipenuhi darah. Ia tampak kacau.
        "Tolong selesaikan," kata salah seorang guru.
        "Saya bukan piket hari ini," saya menjawab santai, sambil memperhatikan kedua siswa itu yang sudah sejak tadi duduk.Â
Saya masih tidak bersedia ambil alih. Sebab takut dianggap melangkahi piket. Namun, karena beberapa desakan, saya melakukannya. Saya tidak tahu, kenapa harus saya yang menyelesaikannya. Bukan piket, bukan kesiswaan. Saya berpikir positif saja: mungkin guru-guru lain lebih mempercayainya, lebih-lebih saya sedang mengikuti Program Guru Penggerak.Yang ada kemungkinan "dugaan" saya mampu menyelesaikannya dengan pengetahuan yang didapatkan dari kegiatan itu.Â
 Sejenak, saya menatap dua siswa yang tadi. Ada kemarahan berkecamuk dalam diri. Sebagai manusia yang kerap menyelesaikan masalah dengan kekerasan, saya hendak menampar keduanya. Tapi, saya mengurungkannya. Saya berpikir untuk menyelesaikannya dengan cara lain. Mereka sudah tampak kesakitan, kalau nanti ditampar, mereka akan tambah sakit.
Saya memutuskan untuk menyelesaikan dengan cara rasional: Segitiga Restitusi.  Melalui pendekatan restitusi, ketika siswa berbuat salah, guru akan menanggapi dengan mengajak siswa  berefleksi tentang apa yang dapat mereka lakukan untuk memperbaiki kesalahan mereka sehingga mereka menjadi pribadi yang lebih baik dan menghargai dirinya. Pendekatan restitusi tidak hanya menguntungkan korban, tetapi juga menguntungkan orang yang telah berbuat salah.
Saya pun memulainya sesuai tahapan segitiga restitusi:
- Menstabilkan Identitas
Dalam tahapan ini, saya mengajukan pertanyaan.
"Apakah  perbuatan kalian ini baik sebagai seorang siswa?"
Mereka terdiam. Mereka tunduk.
"Tidak," jawab salah satunya.
"Berbuat salah itu tidak apa-apa. Kita harus menyelesaikannya, agar tidak terjadi lagi."
Setelah mengatakan demikian, saya melanjutkan ke tahap berikutnya.
Setidaknya, dari jawaban mereka, ada penyesalan dalam diri. Saya berharap ini jawaban yang jujur. Semoga demikian! Semoga ini bukan karena mereka takut!
- Validasi Tindakan  yang Salah
Dalam tahapan ini, saya juga mengajukan beberapa pernyataan.
"Saya memberi waktu untuk kalian menjelaskan titik persoalannya."
Dua-duanya mulai berbicara, bahkan saling menuduh. Saya mendiamkan mereka.
"Saya mulai dari kamu," saya menyilakan yang berbadan kecil.
"Kamu setelah ini," saya mengatakan kepada yang berbadan agak besar.
Yang berbadan kecil mulai menjelaskan.
"Saya kelas VIII B. Saat istirahat main-main ke kelasnya (VIII D). Saya mengambil satu lidi yang tergeletak di bawah meja. Kemudian dia mendorong. Tidak hanya mendorong, ia memegangi kerah baju saya, disusul satu pukulan ke arah mata," jelasnya.
Yang berbadan agak besar menimpali. Saya memberinya kode untuk diam. Untuk menunggu gilirannya.
"Saya memberi kamu waktu sekarang. Silahkan!"
Ia hanya diam dan menunduk. Saya masih setia menunggunya.
"Kenapa? Apa benar yang dijelaskan temanmu ini?"
Ia mengangguk. Saya mengelus dada. Hanya gara-gara sapu lidi, mereka berkelahi.
Kemudian, saya lanjut ke tahap berikutnya.
- Menanyakan Keyakinan
Dalam tahap ini, saya menghendaki mereka menemukan solusi dari kejadian ini.
"Bagaimana kamu memperbaiki ini?"
Keduanya diam. Saya mengajukan pertanyaan yang sama dan beberapa penjelasan.
"Damai, Pak," jawab salah satu dari mereka.
"Baik. Silahkan bersalaman dan berpelukan."
Mereka kemudian dipersilahkan membersihkan diri. Sebelum kembali ke kelas, saya mengingatkan mereka untuk sudahi masalahnya. Untuk tidak boleh dendam. Semoga!
Rasanya lega. Saya berhasil mengurungkan niat untuk memberi hukuman fisik bagi siswa yang tadi. Saya mendapat banyak pelajaran di balik kejadian ini. Saya diajarkan untuk bersikap tabah, sabar, dan mampu menyelesaikan masalah tanpa sentuhan fisik.
M. Hamse
Bajo, 18/02/2023
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H