Sampailah kami di satu titik cerita. Ame nampak sedih. Guratan sedihnya terlihat di ekspresi wajahnya yang makin kaku dimakan usia. Perjuangannya menjadikan anaknya sarjana belum membuahkan hasil. Ame belum menuai perjuangannya. Perbincangan terhenti sejak buliran air matanya jatuh mengenai kakinya. Aku terdiam, pura-pura menikmati sopi pemberiannya. Sebab aku tidak tahu harus bagaimana. Aku hanya jadikan diri pendengar setia, tanpa komentar berlebihan.
"Hidup ini terlampau susah. Aku tidak tenang, banyak gunjingan yang datang. Hutang makin banyak. Sopi tidak laku-laku," katanya parau.
Kalau sudah begini jadinya, aku pasti diam. Hanya menjadi pendengar saja.
"Belum lagi, Anto tidak ada kabar. Sekolahnya tidak selesai-selesai. Teman-teman seangkatannya sudah pulang, bahkan sudah kerja. Aku dan Marta jadi bahan gunjingan," curhatnya. Ame menangis.
          Ya itu betul. Aku pernah dengar orang gunjing. Banyak sekali tafsiran mereka. Ada yang bilang Anto tidak kuliah lagi. Ia hanya ongkang-ongkang di Bali. Ada pula yang bilang, kalau ia lanjutkan pendidikan S-2. Mana yang benar, aku pun tak tahu. Lama aku dan Anto tidak saling kabar. Kalau Ame tanya, Anto pasti bilang 'sebentar lagi'. Itulah jawaban yang didapat. Kalau begitu jadinya, Ame dan Ine pasti manggut-manggut saja. Semua alasan anaknya diterima, mau bagaimana lagi, mereka tidak tahu soal kuliah. Yang mereka tahu hanya cari uang biaya kuliah, meski modal utang.
        Menjadi bahan gunjingan memang semacam wajib diterima. Apalagi, dulu Anto menyelenggarakan pesta5 sebelum ia berangkat tujuh tahun silam. Bukan hanya itu, tiga tahun setelahnya diadakan lagi acara yang sama. Redaksi surat undangan acara pun diganti, dari kata melanjutkan menjadi kata menyelesaikan. Yah, bukan hal baru di kampungku acara demikian. Itu sudah turun-temurun dilaksanakan. Tradisi bahu-membahu ini adalah upaya untuk menyukseskan cita-cita seseorang. Sudah jelas kalau yang bersangkutan gagal, maka gunjingan menjadi santapan keluarga.
"Ah, kasihan. Sudah pesta malah gagal," kata Pak Joko.
"Lihat anaknya Pak Ary, sudah sarjana, kerja di bank lagi," kata Tante Lusia.
"Sudah tahu keluarga modal utang, anak bergaya bukan kepalang. Hasil pesta malah beli motor baru, handphone android versi baru. Gaya betul, tidak tahu malu," kata yang lainnya.
        Semua gunjingan mereka memang benar adanya. Aku pernah melihatnya di status facebook si Anto. Masih ingat betul dalam otakku status facebook-nya tiga tahun lalu: Teman jalan. Asyik! Statusnya dengan gambar motor gede hitam. Beberapa hari kemudian, aku melihat lagi, kali ini ia tulisakan di dinding facebook-nya tentang handphone android barunya.
             Pesta5 Budaya khas orang Manggarai untuk memberi sumbangan dalam bentuk uang. Tujuannya adalah membantu biaya              pendidikan. Besarnya sumbangan tergantung yang ikut acara tersebut. Orang yang pesta (pengantinnya) berdiri di depan              tenda yang biasanya dibuat di depan rumah atau tempat luas lainnya. Orang yang memberi sumbangan biasanya                       diundang         sebelumnya. Para tamu akan dijamu setelahnya. Kemudian dilanjutkan acara goyang ria sampai pagi.                   Hasil pengumpulan dana ini (pesta) biasanya mencapai puluhan juta.
"Kamu beda, Nak. Kamu beda sekali. Kamu sudah sukses," kata ame seraya menepuk pundakku.