"Ame," panggilku.
      Ia berhenti sejenak. Tersenyum padaku yang masih asyik menyisir rambut di dekat jendela. Aku menawarkannya rokok, aku tahu, ia adalah pecinta rokok yang sampai hari ini belum mundur.
      "Kamu sudah bahagia, sudah sarjana. Di panggil guru lagi," candanya sambil menyalakan rokok.
      Aku tertawa kecil. Candanya menurutku berlebihan. Zaman sekarang, guru bukanlah profesi yang membanggakan, gaji kecil, juga sering menjadi bahan cemoohan masyarakat.
        Ine1 Panggilan untuk mama atau ibu dalam bahasa Manggarai, Flores, NTT. Ame2 panggilan untuk ayah atau bapak dalam              bahasa Manggarai, Flores, NTT. Gogong3 Bahasa Manggarai, Flores, NTT untuk menyebut sebuah wadah berbentuk tabung             yang  dipakai untuk menyimpan hasil sadapan aren, terbuat dari bambu.
 "Bangga apanya, Ame? Gaji saja tidak cukup beli rokok, apalagi beli bensin," kataku. "Belum lagi pengeluaran lainnya, justru Ame yang menjanjikan kerjanya. Bayangkan harga sopi4 satu jerigen jumbo 'besar' sekarang itu Rp 600. 000!" lanjutku.
Ia tertawa kecil, menampakkan giginya yang tinggal dua.
      "Setidaknya kamu sudah sarjana. Ayahmu pasti bangga!" katanya, lalu ia pamit.
      Aku masih memperhatikannya dari jendela. Tampak jalannya sudah terseot-seot. Belum lagi kalau ia pulang dengan hasil sadapan aren dalam gogong yang dibawanya, pasti berat.
      "Tadi itu siapa yang bertamu di rumah sebelah?" tanya ayah.
      Aku menggeleng.
"Memang tadi Ame Paulus singgah, ngobrol sebentar di depan. Hanya aku tidak tanya," terangku.