Mohon tunggu...
M. Hamse
M. Hamse Mohon Tunggu... Guru - Hobi Menulis

Hobi Menulis

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Pembasuh Peluh (Bagian 2)

28 Januari 2023   17:09 Diperbarui: 28 Januari 2023   17:12 163
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

          Riko hanya bisa diam dalam kemalangannya. Ia tak kuasa kekasih yang ia cintai kini bersandar di bahu pilihan ibunya. Sungguh apes nasib cerita cinta yang ia pupuk selama bertahun-tahun. Kisah itu hanyalah memori yang tak bisa ia lupakan. Waktu tak henti-hentinya berputar seiring roda perjalanan hidup yang tak pernah berhenti. Kadang kebahagiaan dapat direngkuh dalam genggam, dan kebahagiaan itu akan hilang seketika.

          Seperti biasa Riko menjemput Dinda di rumahnya. Ia menunjukkan perhatian yang lebih yang dilandasi cinta yang tulus. Ia rela mengantar dan menjemput Dinda setiap pagi. Ia melakukan itu tanpa beban. Yang ia lakukan adalah demi cinta yang ia ukir selama ini. Beberapa hari setelahnya Riko mendapat pesan singkat dari Dinda. Hal itu ia terima tanpa berprasangka buruk terhadap kekasih hatinya itu.

         Hari ini kamu tidak usah datang menjemput aku. Aku temani ibu menjenguk ayah di rumah sakit. 

            Ayah masih terlihat letih. Raganya yang dulu kekar kini mengkerut. Wajah yang dulu ceria kini tampak muram. Sementara ibu masih sibuk merapikan barang-barang dalam kamar rumah sakit itu. Selimut tipis membalut tubuh ayahnya yang semakin mengecil. Dinda tak kuasa melihat penderitaan ayahnya. Air matanya jatuh membasahi pipinya. Ia mengusap dahi ayahnya seraya mencium keningnya. Ia rebahkan kepala di atas raga ayahnya yang kaku. Ia ingin merasakan detak jantung orang yang menjadi panutan dalam hidupnya. Ia ingin pastikan jantung itu masih berdetak sebagai tanda kehidupan. Ia tersentak, ayahnya terbangun dari lelapnya. Tangan yang lembut penuh kasih sayang itu menghapus air mata di sudut matanya. Ayah ikutan menangis melihat putri semata wayangnya menitikkan air mata. Ibu pun demikian. Keluarga kecil itu merangkul satu sama lain. Seakan mereka merenungi perjalanan hidup mereka yang di warnai penderitaan dan kesedihan. Sedikit senyum, ayah menampakkan giginya. Ayah tersenyum melihat putrinya yang kini dewasa. Meskipun jauh dalam hati, ayah merasakan kesedihan dalam jiwa putrinya.

"Bagaimana kehidupan rumah tanggamu? Kamu bahagiakan sayang? Ayah ikut bahagia jika kamu bahagia,"kata ayah dengan suara pelan.

"Iya Yah, Dinda bahagia. Dinda lebih bahagia lagi saat ayah ada di samping Dinda"jawab Dinda sambil menangis.

"Apa Cris sangat sibuk sehingga ia tidak bersama kalian?"tanya ayah.

"Iya Yah,"jawab Dinda.

               Suara itu tidak bisa menyembunyikan kesedihan rumah tangganya. Ia pastikan ayah tidak mengetahui perihal rumah tangganya yang porak-poranda. Ia tidak mau ayah semakin sakit memikirkan rumah tangganya. Ia ingin melihat ayahnya bahagia di atas tempat tidur yang menemaninya dua tahun belakangan ini.

                                                                                                                    ***

"Jangan sakiti Riko Din,"kata Rini hari itu di depan lobi kantor.

"Maksud kamu apa Rin?"tanya Dinda bingung.

"Kamu baru saja membuat Riko sakit hati,"Rini serius.

"Iya, maksudnya apa? Aku tidak mengerti Rin."

"Siapa yang mengantar kamu barusan?"tanya Rini penasaran

"Oh, jadi itu toh. Dia sahabatku waktu SMA,"jawab Dinda dengan senyum kecil di bibirnya.

"Aku harap itu benar Din."

          Dinda hanya tersenyum mendengar kata sahabatnya itu. Hari itu Dinda sebenarnya tidak bahagia sedikitpun meski ia di antar mobil mewah milik Cris. Ia lebih memilih diantar motor butut milik Riko.

             Pagi-pagi sekali Cris mendatangi rumahnya. Ia sangat cepat akrab dengan ibunya. Dengan gaya seorang eksekutif muda Cris mulai memuji dirinya sendiri di depan ibunya. Apalagi ibunya sudah sejak lama mengenal Cris. Waktu SMA Cris memang sering main-main ke rumah Dinda. Ibunya sangat kenal dengan Cris. Sejak itulah ibunya berniat menjodohkan Dinda dengan Cris. Ibu melihat Cris adalah pemuda yang tampan dan mapan. Mobilnya mewah, pakayannya necis. Hal itulah yang mempengaruhi ibunya. Dan sejak itulah ibunya tidak mau lagi Dinda di antar motor butut. Sebelum kehadiran Cris, Riko adalah satu-satunya orang menginjak rumah itu. Ibunya sangat senang karena Riko bisa membuat Dinda tersenyum dalam kesedihan yang melanda keluarga mereka. Ibu berubah total sejak kehadiran Cris. Riko dicampakkan. Seperti halnya pagi itu.

"Tante minta bantuan kamu ya,"kata ibunya pagi itu.

"Iya Tante. Dengan senang hati,"jawab Cris santai.

"Tolong antarkan Dinda ke kantornya. Ibu tak ingin ia diantar motor butut itu lagi,"kata ibunya menghina Riko.

Jurus pertama berhasil. Cris sanggup melumpuhkan hati perempuan setengah baya itu. Tipuan muslihatnya mengena.

"Din, mulai hari ini Cris yang antar jemput kamu ke kantor. Ibu tidak mau anak ibu yang cantik naik motor butut,"kata ibunya ketus.

"Apa, Bu?"tanya Dinda kaget.

"Ia, Din, aku yang mengantar kamu mulai hari ini," Cris ikut meyakinkan Dinda.

"Tapi, Bu..."

"Tidak ada tapi-tapian," jawab ibunya.

              Dinda menurut saja. Ia melangkah pelan keluar rumahnya. Cris sudah stand by  di samping mobil mewahnya. Sementara itu motor butut Riko sudah terparkir di depan rumah bertingkat itu. Dengan gaya sederhananya Riko menyapa. Ibunya hanya diam dan tidak menjawab.

"Hati-hati ya," kata ibunya dari depan pintu.

Riko terdiam melihat sandiwara pagi itu. Ia seperti orang ling-lung. Ia kebingungan.

"Maaf, Rik," kata Dinda pelan.

               Riko hanya bisa menatap kekasihnya saat tangan berkulit putih itu membuka pintu mobil. Ia masih kebingungan dalam diam.

"Kenapa? Kaget ya kamu," kata perempuan setengah baya itu.

"Ada apa sih, Tan, sebenarnya?" tanya Riko dengan suara terbata-bata.

"Ya, seperti yang kamu lihat. Motor bututmu tidak dibutuhkan lagi."

"Apa, Tan? Salahku apa, Tan?"

"Kamu tidak salah. Motor bututmu itu yang salah," jawab perempuan itu sambil menutup pintu rumahnya.

              Riko tak mengerti apa maksud perkataan itu. Pikirannya kalang kabut. Hatinya perih menyaksikan drama tanpa ada skenario itu. Dalam perjalanan Dinda hanya diam saat Cris mengajaknya bicara. Ia memikirkan betapa hancur hati kekasihnya, Riko. Sesekali ia melihat ke belakang. Ia berharap Riko membututi mereka. Ia bertekad turun di tengah jalan seandainya Riko menyusul.

               Cris tak bosan-bosan memuji dirinya sendiri. Ia terus saja bicara soal bisnisnya yang kini mulai mengkristal. Dinda hanya diam dan sesekali tersenyum tanpa makna ke arah Cris. Ia sama sekali tidak menaruh simpati pada laki-laki tampan dan sombong itu. Dinda buka mulut saat Cris memujinya. Ia bertanya-tanya maksud perkataan Cris.

"Kamu tambah cantik aja, Din. Sangat berbeda sekali dulu waktu kamu SMA."

"Maksud kamu apa?"

Cris hanya tersenyum. Sementara itu Dinda terjebak dalam kalimat pujian yang dikatakan Cris.

"Makasih ya sudah mengantar aku pagi ini,"kata Dinda.

"Aku siap mengantar kamu kemana pun kamu mau,"jawab Cris seraya menatap wajah cantik itu.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun