"Kenapa? Kaget ya kamu," kata perempuan setengah baya itu.
"Ada apa sih, Tan, sebenarnya?" tanya Riko dengan suara terbata-bata.
"Ya, seperti yang kamu lihat. Motor bututmu tidak dibutuhkan lagi."
"Apa, Tan? Salahku apa, Tan?"
"Kamu tidak salah. Motor bututmu itu yang salah," jawab perempuan itu sambil menutup pintu rumahnya.
       Riko tak mengerti apa maksud perkataan itu. Pikirannya kalang kabut. Hatinya perih menyaksikan drama tanpa ada skenario itu. Dalam perjalanan Dinda hanya diam saat Cris mengajaknya bicara. Ia memikirkan betapa hancur hati kekasihnya, Riko. Sesekali ia melihat ke belakang. Ia berharap Riko membututi mereka. Ia bertekad turun di tengah jalan seandainya Riko menyusul.
        Cris tak bosan-bosan memuji dirinya sendiri. Ia terus saja bicara soal bisnisnya yang kini mulai mengkristal. Dinda hanya diam dan sesekali tersenyum tanpa makna ke arah Cris. Ia sama sekali tidak menaruh simpati pada laki-laki tampan dan sombong itu. Dinda buka mulut saat Cris memujinya. Ia bertanya-tanya maksud perkataan Cris.
"Kamu tambah cantik aja, Din. Sangat berbeda sekali dulu waktu kamu SMA."
"Maksud kamu apa?"
Cris hanya tersenyum. Sementara itu Dinda terjebak dalam kalimat pujian yang dikatakan Cris.
"Makasih ya sudah mengantar aku pagi ini,"kata Dinda.