Mohon tunggu...
Maria G Soemitro
Maria G Soemitro Mohon Tunggu... Freelancer - Volunteer Zero Waste Cities

Kompasianer of The Year 2012; Founder #KaisaIndonesia; Member #DPKLTS ; #BJBS (Bandung Juara Bebas Sampah) http://www.maria-g-soemitro.com/

Selanjutnya

Tutup

Nature Artikel Utama FEATURED

World Water Day 2020, karena Air Butuh Mengalir

22 Maret 2020   08:15 Diperbarui: 22 Maret 2021   07:25 731
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

World Water Day diperingati setiap tanggal 22 Maret, karena manusia sangatlah rese. Setiap musim hujan marah-marah karena banjir, sementara di musim kemarau manusia begitu mendamba air.

Salah air apa coba?

Jumlah mereka tetap. Sekitar 71 persen dari permukaan bumi, itu kata The United States Geological Survey Water Science School.

Sedangkan jumlah air tawar, yang bisa dikonsumsi manusia hanya 3 persen air. Itupun hanya 30 % yang ada di tanah. Selebihnya, sebanyak 69 persen membeku di es dan gletser.

Cuma 0,26 persen air dunia ada di danau air tawar.

Dan hanya 0,001 persen yang ada di atmosfer.

Nah lho, jumlah yang demikian kecil dihujat, diharapkan nggak balik lagi, ketika berbentuk banjir dan masuk ke rumah, memporakporandakan harta manusia. Kemudian pergi, meninggalkan lapisan lumpur.

Sebaliknya, di musim kemarau, duh gebetan pun kalah oleh air. Setiap saat kran air ditengok sambil berujar: "Kok air belum ngalir ya? Kapan ya?" Kemudian PDAM ditelepon, ditanya tentang kedatangan air.

Pegawai PDAM yang menerima telepon akan didesak, dipepet dengan pertanyaan yang meluncur bak mitraliur, membuat sang petugas harus sabar jika tak mau masuk surat pembaca.

Malangnya, wong cilik tidak bisa menelepon PDAM. Karena sehari-hari hanya mengandalkan air dari MCK umum.

Jika sumur kering dan air tidak mengalir, mereka terpaksa membeli air, dengan jumlah rupiah yang membuat keluarga mulai menimbang: "Harus ngorbanin apa nih? Rokok? Susu bayi? Atau cicilan sepeda motor?

Karena Air Ingin Dimengerti

Masih ingat sewaktu Yuni Shara mengunggah ihwal rumahnya yang kebanjiran? Tidak hanya berpenampilan kece, penyanyi yang memiliki akun @yunishara36 tersebut menunjukkan ketinggian air yang masuk rumah. Pertanda air tak mengenal strata. Nggak peduli pemilik rumah adalah seleb yang punya sepatu boot Burberry untuk bermain air, atau wong cilik yang cuma bertelanjang kaki. Semua diterjang air.

Air memang tak bisa disuap.

Air juga tidak mempan sogokan.

Air hanya butuh tempat mengalir. Dia mencari jalan menuju saluran air, atau mencari lahan yang belum ditutup semen dan beton. Syukur-syukur jika yang ditemuinya adalah lahan sehat, tempat biota tanah hidup dan berkembang biak dengan merdeka.

Karena air hujan akan meresap di lahan seperti ini. Seperti manusia menyesap kopi dengan nikmat. Seperti spon kering merindu air yang akan menyedot air dengan kemampuan maksimal.

Mari Gelar Karpet Merah untuk Air

Jika sudah tahu penyebab banjir, pastinya nggak perlu lagi perang hestek di Twitterland. Sebab air ngga peduli medsos. Air nggak kenal buzzer. Trending topic nggak akan memengaruhi jalan air. Lempeng aja dia mah.

(lempeng= lurus/Bahasa Sunda)

Ada 2 pihak yang bisa mempengaruhi jalan air agar tak berubah menjadi banjir. Yaitu:

Pemerintah Daerah

Setiap daerah memiliki regulasi, termasuk DKI Jakarta yang seharusnya bisa menerapkan Pergub Nomor 20 Tahun 2013 Tentang Sumur Resapan, yang berisi:

"Kewajiban pembuatan sumur resapan bagi perorangan dan badan hukum ditujukan pada: 

a) setiap pemilik bangunan dan bangunan yang menutup permukaan tanah dan; 

b) setiap pemohon dari pengguna air tanah." 

Sementara, ayat 2 berbunyi, "Selain kewajiban pembuatan sumur resapan juga diwajibkan membangun di atas lahan lima ribu meter persegi atau lebih diwajibkan menyiapkan satu persen dari lahan yang akan digunakan untuk bangunan kolam resapan di luar perhitungan sumur resapan." 

Sanksi atas hal ini, sesuai pasal 17 ayat (1) akan dikenakan sanksi administratif. Sanksi administratif tersebut, sebagaimana dijelaskan di ayat (2), adalah peringatan tertulis, pembekuan izin, dan pencabutan izin. Ayat (3) pasal yang sama menyatakan, pelanggar dapat dikenakan sanksi pidana sesuai dengan peraturan perundang-undangan. 

Peraturan di atas menegaskan 2 hal:

Setiap pemilik bangunan (perorangan maupun komersial) wajib membangun sumur resapan

Setiap bangunan komersial/swasta wajib membuat samur resapan, membangun kolam resapan jika berdiri di atas lahan dengan luas lima ribu meter persegi atau lebih serta wajib melakukan pembayaran pajak atas penggunaan air tanah.

Seperti diketahui, selain penggundulan kawasan resapan air dan ancaman air pasang, penggunaan air tanah yang tidak bertanggung jawab telah membuat permukaan DKI Jakarta berkurang dari waktu ke waktu. Kondisi permukaan tanah DKI Jakarta yang tidak sehat membuat air hujan kesulitan meresap.

Zero Run Off oleh dan untuk Warga masyarakat

Berapa persen sih warga Jakarta yang membangun sumur resapan?

Jika pihak swasta digedor-gedor dan tetap kesulitan untuk memaksa mereka membangun sumur resapan, apalagi warga masyarakat. Walau pemahaman mengenai lingkungan yang berkelanjutan semakin dipahami sebagai solusi, tidak hanya bagi generasi sekarang, juga generasi selanjutnya.

Awal 2020, Anies Baswedan sudah menawarkan solusi "zero run off", sayangnya menjadi tertawaan republik twitter. Yang mentertawakan tentu saja bukan enviromentalist, terlebih bukan pakar hidrologi.

Karena para pakar ITB lah yang menyarankan zero run off, yaitu menangkap air hujan di lokasi hujan turun.

Contohnya turun hujan di satu kawasan perumahan, maka setiap kepala keluarga yang tinggal di perumahan tersebut wajib membuat sumur resapan.

Nggak mampu membuat sumur resapan? Silakan membangun lubang resapan Biopori (LRB) di pekarangan rumah, yang bertujuan membuat air hujan tidak melompat keluar dari garis rumahnya.

Nggak ada pekarangan rumah? LRB dan sumur resapan bisa banget dibangun di selokan dan di jalan umum. "Blok Tempe" suatu kawasan yang dibangun Ridwan Kamil bersama BCCF membuktikan bahwa air banjir bisa diatasi di kawasan kumuh tersebut. Air nggak jalan-jalan membanjiri kawasan yang lebih rendah.

Air yang masuk keluar lagi melalui ubin/sela-sela lantai rumah? Itu pertanda lahan tempat bangunan berdiri sudah sakit kronis, tak mampu menyerap air sebagaimana seharusnya.

Sehingga harus dilakukan tindakan penyelamatan dengan membangun LRB dan mengisinya dengan sampah organik secara teratur. Agar mikroorganisme kembali datang, menyuburkan tanah dan membantu tanah menyesap limpasan air hujan.

Silakan lihat klik Biopori mengenai cara pembuatan LRB yang ditemukan Ir Kamir Raziudin Brata, M.Sc ini.

Air dan Climate Change

"Air dan Perubahan Iklim" menjadi tema Hari Air Sedunia, 22 Maret 2020. Seperti tahun-tahun sebelumnya yang menampilkan beragam tema, seperti "Water for All, Leaving No One Behind" pada tahun 2019, dan "Nature for Water" di tahun 2018.

PBB memprediksi pada tahun 2050, populasi dunia akan tumbuh sekitar 2 miliar orang atau mencapai jumlah hampir 10 miliar, dan Indonesia menempati peringkat ke 4 sebagai negara dengan jumlah penduduk terbanyak.

Alih fungsi lahan tak terelakan. Akibat ulah manusia sebanyak 71 persen lahan basah alami dunia telah hilang sejak tahun 1900. Bersamaan dengan itu climate change memperburuk situasi.

Pada 2018, IPCC (Intergovernmental Panel on Climate Change), sebuah lembaga penelitian resmi di bawah PBB, menggambarkan konsekuensi bencana yang memungkinkan suhu rata-rata global melebihi 1,5 derajat Celcius.

Sungguh bukan perpaduan yang bagus. Namun bukan berarti tidak bisa berbuat apa-apa. Walaupun Jakarta diprediksi akan tenggelam pada 2050, namun manusia tidak hanya rese, namun juga kreatif. Manusia kerap melakukan inovasi tak terduga.

Tunggu saja apa yang akan dilakukan manusia menghadapi kelangkaan air terkait climate change, sekaligus ancaman banjir yang bakal lebih parah.

Saya sih optimis.

sumber: Tempo.co

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Nature Selengkapnya
Lihat Nature Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun