"Sama. Biar habis mandi, bisa langsung makan." Danang membela diri. Dinda duduk tepat di sebelah Danang. Mereka makan bersama layaknya pengantin baru yang sedang menikmati makan malam bersama yang sebetulnya kemalaman. Hehe...
Danang menatap Dinda penuh arti. "Kenapa, Mas?" tanya Dinda seolah merasa ada yang berbeda dari tatapan suaminya.
"Makasih, ya. Selama ini, kamu sudah mau merawat Mas, menggantikan Mas cari nafkah. Mas udah ngerepotin kamu. Mas nggak bisa jadi suami yang baik." Kalimat demi kalimat ini keluar dengan penuh penekanan dan perasaan dari mulut Danang. Tanpa sadar air mata Dinda mengalir. "Hei, kok nangis?" bujuk Danang, menyeka air mata istrinya dengan ibu jari.Â
"Mas... Jangan bikin aku takut," bisik Dinda dengan suaranya yang serak akibat menangis.
"Kenapa takut?" tanya Danang bingung.
"Terakhir kali Mas ngomong gini, besoknya Mas masuk ICU. Sebulan nggak sadarkan diri," jawab Dinda manja kemudian kembali terisak.
"Enggak. Nggak masuk ICU, kok," jawab Danang lembut lantas merengkuh istrinya ke dalam pelukannya. Beberapa menit, mereka menikmati pelukan penuh perasaan ini hingga Dinda angkat bicara.
"Mas."
 "Ya."
"Jangan pernah bersalah karena semua ini. Mas nggak salah. Nggak ada orang yang mau sakit, Mas," bisik Dinda di telinga Danang yang masih memeluk suaminya. Danang mengangguk, sebutir air matanya lolos membasahi pipi, cepat-cepat disekanya sebelum ketahuan Dinda.Â
Dinda terlelap di pelukan Danang yang juga terlelap. Namun, tiba-tiba mata Danang terbelalak, sebelah tangannya yang tak memeluk Dinda memegangi dadanya. Raut wajahnya menjelaskan bahwa Danang sedang menahan rasa sakit. Ia menarik napasnya dalam-dalam, mengembuskannya perlahan, barang kali mencoba meredakan rasa sakit atau mungkin menahannya. Â