Mohon tunggu...
Maria Elly Rusfendy Saragih
Maria Elly Rusfendy Saragih Mohon Tunggu... Penulis - Pemimpin Redaksi

Menulis buku, memasak, membaca, menonton, menggabut (Hehehe ...)

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen : Tanpa Pamit

19 Juni 2023   13:54 Diperbarui: 20 Juni 2023   02:11 399
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.

"Mas, jangan tinggal aku. Mas..." Dinda histeris dalam pelukan Arman, adik bungsunya. Tepat ketika peti jenazah yang berisi suaminya di liang lahat hendak ditimbun. Ucapannya ini sukses memancing tangis haru biru dari pelayat yang ikut ke pemakaman. Begitu juga mampu mengganggu fokusku yang sedang mengabadikan momen sakral ini, tanganku gemetar.

"Udah, Mbak. Udah. Mas udah tenang. Mas udah nggak sakit lagi," bujuk Arman sambil mengelus-elus punggung Dinda yang masih memeluk Arman erat-erat.

"Aku masih belum siap, Dek. Aku belum sanggup tanpa Masmu," jawab Dinda masih histeris.

"Ikhlas, Din. Ikhlas." Salah seorang pelayat perempuan bersuara.

Ikhlas? Kata ini terlalu mudah kita ucapkan untuk menguatkan orang yang sedang kehilangan. Tapi... Hari ini aku tahu, bahwa kata 'ikhlas' tak semudah yang kita bayangkan. Berat! Ya, meskipun bisa tapi beri Dinda waktu. Dia hanya butuh waktu untuk melaksanakannya kewajibannya untuk 'ikhlas'.

Tiba-tiba tubuh Dinda luruh tak bertenaga. Tubuh Arman yang lebih kurus daripada dia, tak sanggup menopang tubuh Dinda. Sontak salah seorang sepupu membantu Arman menahan tubuh Dinda yang kini sudah terduduk di tanah. Tangisnya menganak sungai, tenaga terkuras, untung dia masih bisa mempertahankan kesadarannya.

Perlahan liang lahat sudah tertutup. Seorang pemuka agama menutup upacara pemakaman. Tak lama kemudian, para pelayat satu per satu berpamitan pada Dinda. Hingga tinggallah aku, Arman, Dinda dan Tante Yasmin-ibunya Dinda. Kami dengan setia menunggui Dinda meluapkan kesedihannya sambil memeluk batu nisan suaminya.

16 jam yang lalu

Sepeda motor Dinda berhenti tepat di depan pintu rumahnya. Ia membunyikan klakson beberapa kali. "Bentar," teriak seorang pria dari balik pintu. Kemudian pintu terbuka, tampak seorang pria yang membukanya. Dinda kesusahan hendak memasukkan sepeda motornya yang sudah mati ke dalam rumah.

"Sini, biar Mas yang masukin," tawar pria itu. 

Dinda menyanggah sepeda motornya dan masuk ke dalam rumah. Pria itu mengambil alih sepeda motor dan memasukkannya ke dalam rumah.

"Mas, laper lagi, nggak?" tanya Dinda yang sedang mengeluarkan beberapa bungkus mi instan dari tas sandangnya.

"Enggak sih. Tapi mau deh, kalo kamu masak mi," jawab pria itu mendekati Dinda.

"Aku bukan mau masak mi. Ini ada makanan titipan temanku." Dinda mengeluarkan sebuah kotak makanan dari dalam tasnya. Pria itu terkekeh ringan. "Kok ketawa?" tanya Dinda heran.

"Habis kamu nanya sambil ngeluarin mi instan, kirain mau makan mi instan," terang pria itu.

"Enggak, Ndut. Ini bonus dari kerjaan. Besok mau dijual. Kamu 'kan nggak bisa makan mi instan," lanjut Dinda yang hanya dijawab dengan anggukan oleh pria itu.

Ndut? Gendut maksudnya? Tidak. Lebih tepatnya bengkak. 

"Mas udah masak air buat mandi kamu tuh, mandi gih," perintah pria itu lagi.

"Uuu... Mas Danangku, Sayang. Kan aku selalu bilang, biar aku masak sendiri. Mas nggak boleh terlalu capek," protes Dinda sambil mencubit hidung pria yang ternyata bernama Danang itu.

"Mas nggak capek. Cuma manasin air mandi. Nggak sebanding sama kerja keras kamu gantiin Mas cari nafkah," jawab Mas Danang yang membuat tatapan mereka berubah menjadi sendu. Sebetulnya, Dinda sangat menghindari topik ini. Akhirnya ia mengecup pipi suaminya dan beranjak menuju kamar mandi.

Seleai mandi, Dinda mendapati Danang sudah menyajikan nasi dan lauk yang baru saja dibawanya dari titipan temannya. "Kok jadi Mas yang beresin, sih? Aku aja, Mas," protes Dinda.

"Sama. Biar habis mandi, bisa langsung makan." Danang membela diri. Dinda duduk tepat di sebelah Danang. Mereka makan bersama layaknya pengantin baru yang sedang menikmati makan malam bersama yang sebetulnya kemalaman. Hehe...

Danang menatap Dinda penuh arti. "Kenapa, Mas?" tanya Dinda seolah merasa ada yang berbeda dari tatapan suaminya.

"Makasih, ya. Selama ini, kamu sudah mau merawat Mas, menggantikan Mas cari nafkah. Mas udah ngerepotin kamu. Mas nggak bisa jadi suami yang baik." Kalimat demi kalimat ini keluar dengan penuh penekanan dan perasaan dari mulut Danang. Tanpa sadar air mata Dinda mengalir. "Hei, kok nangis?" bujuk Danang, menyeka air mata istrinya dengan ibu jari. 

"Mas... Jangan bikin aku takut," bisik Dinda dengan suaranya yang serak akibat menangis.

"Kenapa takut?" tanya Danang bingung.

"Terakhir kali Mas ngomong gini, besoknya Mas masuk ICU. Sebulan nggak sadarkan diri," jawab Dinda manja kemudian kembali terisak.

"Enggak. Nggak masuk ICU, kok," jawab Danang lembut lantas merengkuh istrinya ke dalam pelukannya. Beberapa menit, mereka menikmati pelukan penuh perasaan ini hingga Dinda angkat bicara.

"Mas."

 "Ya."

"Jangan pernah bersalah karena semua ini. Mas nggak salah. Nggak ada orang yang mau sakit, Mas," bisik Dinda di telinga Danang yang masih memeluk suaminya. Danang mengangguk, sebutir air matanya lolos membasahi pipi, cepat-cepat disekanya sebelum ketahuan Dinda. 

Dinda terlelap di pelukan Danang yang juga terlelap. Namun, tiba-tiba mata Danang terbelalak, sebelah tangannya yang tak memeluk Dinda memegangi dadanya. Raut wajahnya menjelaskan bahwa Danang sedang menahan rasa sakit. Ia menarik napasnya dalam-dalam, mengembuskannya perlahan, barang kali mencoba meredakan rasa sakit atau mungkin menahannya.  

Pelan-pelan, ia melepaskan Dinda dari pelukan Dinda. Kemudian duduk dan mencari-cari obatnya di laci nakas. Tangan Danang gemetar berusaha membuka obat, lalu hendak memasukkan obat ke mulutnya dengan tangan kanan, sementara segelas air minum di tangan kiri. Baru saja obat itu hendak dimasukkan ke mulutnya, tapi sebutir pil itu terjatuh ke lantai. Sedetik kemudian gelas itu pun lepas dari tangan Danang, diikuti tubuhnya yang luruh ke lantai. 

Suara dentingan gelas kaca yang pecah berkeping-keping di lantai mengusik tidur Dinda. Ia mengucek matanya, kemudian menyipit untuk memperjelas penglihatannya. "Mas," panggil Dinda. Menyadari tak ada jawaban dari Danang, Dinda terbeliak. "Mas...," teriak Dinda melihat Danang sudah terduduk di lantai sambil tersandar di tempat tidur. 

Dinda melompat turun dan mengguncang-guncang tubuh suaminya. "Mas, Mas, sadar, Mas," panik Dinda. Ia berusaha sekuat tenaga menelentangkan suaminya. Kemudian mengambil alat bantu pernapasan buatan di laci lemari kecil di samping nakas. Dinda berusaha menguasai dirinya yang panik setengah mati. Meskipun gemetar, Dinda melakukan pertolongan pertama pada suaminya. Namun, tak juga ada respons. Tangan Dinda cekatan mengambil ponselnya di atas nakas. Ia memanggil adiknya, tak lupa menyalakan pengeras suara. Sambil memanggil, Dinda tak mau putus asa melakukan pertolongan pertama. 

"Halo, Mbak," jawab Arman dengan suara seraknya, khas orang yang baru bangun tidur. 

"Man, ke sini. Tolong Mbak, Man. Masmu pingsan," teriak Dinda histeris. 

Arman lompat dari tempat tidurnya di seberang sana. "Iya, Mbak. Aku telfon ambulans ya," jawab Arman yang langsung sigap berangkat. 

Tak sampai lima belas menit, Arman tiba bersamaan dengan ambulans di sana. Dinda berlari membukakan pintu. Kemudian tenaga kesehatan yang datang pun masuk dan berlari menuju kamar Dinda. Danang diangkut ke dalam ambulans. Dinda ikut bersamanya. Arman tinggal untuk mempersiapkan barang-barang yang mungkin nanti diperlukan di rumah sakit. 

Suara ambulans memecah keheningan malam itu. Barang kali membangunkan warga yang ingin tahu, apa sebenarnya yang terjadi. Sementara di dalam ambulans, Dinda masih terus histeris membangunkan Danang ketika tenaga kesehatan berusaha melakukan pertolongan pertama dengan alat yang lebih canggih. 

"Mas, bangun. Mas...," histeris Dinda. 

"Ibu tenang, ya. Ibu harus kuat." Salah satu tenaga kesehatan menguatkan Dinda. 

"Tolong suami Saya. Tolong...," histeris Dinda lagi. 

"Baik, Ibu. Kami akan melakukan yang terbaik," jawabnya lagi. 

Sesampainya di rumah sakit, Danang kembali diberikan pertolongan yang lebih bagus. Sayangnya, masih tetap tak ada respons. Lima belas menit sudah berlalu di rumah sakit ini. Sebuah infus Natrium klorida terpasang di punggung tangan kiri Danang untuk menaikkan tekanan darah, sementara punggung tangannya terpasang infus Ringer laktat untuk menambah tenaga. Selang oksigen sudah tersemat di hidungnya. Alat pendeteksi jantung dan kadar oksigen dalam darah pun sudah terpasang di tubuh Danang.  

Tepat ketika Arman tiba membawa barang-barang bekal rawat inap untuk Danang. Alat pendeteksi jantung itu berbunyi. Pertanda detak jantung tak terdeteksi. Jantung Danang berhenti berdetak, napasnya pun berhenti. Tenaga kesehatan melakukan kejut jantung, resusitasi jantung paru--pertolongan medis untuk mengembalikan detak jatung dan pernapasan. Namun, sekali lagi tak ada respons. Sementara di luar, Dinda sudah mencak-mencak hendak masuk ke ruangan tindakan. Sedangkan Arman hanya bisa memeluk Kakaknya dari belakang agar Dinda tak bisa menerobos masuk.

"Mbak, tenang dulu," bujuk Arman. Seketika seorang dokter keluar. "Dokter... Suami saya, Dokter," histeris Dinda.

"Ibu, kami sudah melakukan yang terbaik, tapi Tuhan lebih sayang suami ibu. Kami turut berduka," lirih sang dokter. 

"Nggak mungkin! Suami saya masih hidup! Nggak mungkin!" histeris Dinda. Ia melepas pelukan Arman, kemudian menerobos masuk, mengguncang-guncang tubuh Danang.

"Mas, bangun, Mas!" hardik Dinda pada jenazah suaminya, kesal karena suaminya tak menjawab. Air matanya masih membanjiri pipinya, ia sesenggukan kemudian memeluk tubuh Danang yang sudah tak bernyawa lagi. 

"Mas, bangun, ya, Mas. Aku nggak apa-apa jagain Mas berbulan-bulan di ICU, tapi Mas bangun ya. Please!" bujuk Dinda lembut. Tangannya tak henti-henti mengelus dada Danang, sedangkan kepalanya masih menempel di bahu Danang. Ia mengusap air matanya. Kemudian mengangkat kepalanya, membuka kain penutup Danang. Tangannya terulur mengusap lembut pipi Danang.  

"Mas, udah capek, ya? Mas pengin istirahat, ya? Apa Mas udah bosen sama aku?" tanya Dinda lembut, air matanya kembali banjir tanpa isakan. Ia menatap lekat wajah suaminya. Tampak seperti orang yang sedang tertidur pulas. Begitu tenang, teduh, tersenyum tipis tanpa beban. "Mas udah nggak sakit lagi ya, Sayang? Aku harus gimana?" bisik Dinda lagi, kembali terisak dan membenamkan wajahnya di ceruk leher suaminya.

Pukul 19.00 setelah pemakaman 

Malam ini rumah Dinda kembali ramai. Kerabat terdekat dan tetangga berdatangan untuk mendoakan almarhum Danang. Saat diberi kesempatan untuk menyampaikan sepatah kata, Dinda mengumpulkan kekuatan untuk berbicara. 

"Mas Danang sudah lama sakit. Bahkan pernah berbulan-bulan di ICU. Berulang kali Tuhan meluputkannya dari kematian. Saya belajar ikhlas dalam merawat Mas Danang. Orang yang menjaga kesehatannya dengan baik, pola hidupnya sehat, tidak merokok, minum kopi seperlunya, tidak begadang, perilakunya bagus, tapi malah mengidap jantung di usia yang sangat muda. Kenapa? Hanya Tuhan yang tahu. Tidak ada yang menyangka, kami harus kehilangan semua harta yang ditabung Mas Danang selama sehat untuk biaya pengobatannya. Saya nggak pernah menyangka Mas Danang akan pergi dengan cara seperti ini. Prosesnya sangat singkat, tidak ada kesakitan yang berlarut-larut mengingat dia sudah bolak-balik dirawat, bahkan dia nggak sempat pamit sama Saya. Sebelum tidur, kami masih sempat makan bareng, bahkan tidur saling peluk. Tapi tidak bangun sama-sama lagi. Begitulah hidup, nggak pernah ada yang tahu. Hidup kita bagai sekepulan asap yang sebentar saja langsung lenyap tak berjejak. Tak ada yang tahu kapan kematian menjemput. Selama kita masih bernapas, kita luangkan waktu dengan orang yang kita kasihi, yuk. Perbanyak berbuat baik. Sebelum kita kehabisan waktu dan menyesal kemudian." 

Ucapan Dinda ini diakhir dengan tangisnya yang menganak sungai diikuti isak tangis pelayat. Arman sigap memeluk tubuh kakaknya yang sudah bergetar dan siap roboh ke lantai.

(Diadaptasi dari kisah nyata dengan pengubahan seperlunya.)

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun