Mohon tunggu...
Margaretha Della
Margaretha Della Mohon Tunggu... Mahasiswa - UIN Raden Mas Said Surakarta

jangan takut gagal jika belum pernah mencoba

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Review Book (Refleksi Sosiologi Hukum)

28 September 2024   12:14 Diperbarui: 28 September 2024   12:17 81
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Dalam BAB Ke-1 buku ini membahas tentang konsep baru negara hukum di Indonesia. Bab pertama membahas kasus-kasus pengadilan yang belum terselesaikian di Indonesia, yang menyatakan bahwa data statistik kejahatan BPS menyajikan fakta-fakta dan kasus-kasus pengadilan yang terjadi di Indonesia dan jenisnya. Dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia dan jenisnya. Dalam sejarah penegakan hukum di Indonesia, banyak kasus yang belum terselesaikan melalui hukum. Ada banyak alasan mengapa persidangan tersebut terjadi, seperti : 1) alat bukti yang tidak mencukupi, 2) Berakhirnya waktu penyidikan, 3) timbul pertimbangan-pertimbangan lain yang dapat diatasi dari segi kemanusiaan dan hukum. Fakata-fakta tersebut tidak bisa dibaca secara langsung oleh masyarakat, karena kebenaran sudah ada di depan mata, melainkan karena campur tangan banyak hal di luar hukum yang menyembunyikan jalan hukum menuju nilai keadilan menjadi buram.

  • Indonesia juga mencatat sejarah bagaimana orang miskin menggapai keadilan. Kita lihat dalam fakta dilapangan seperti kasus gugat-menggugat antaranggota keluarga. Belakangan ini, gugat-menggugat dalam keluarga di Indonesia sudah menjadi hal biasa. Beberapa kasus yang terjadi, misalnya: Nenek Fatimah digugat Rp1 miliar oleh anak-mantu; anak menggugat ibu kandung di Garut: anak gugat orang tua dan menguasai rumah warisan di Malang: anak gugat ibu kandungnya dan rebutan rumah tinggal di Bogor, rebutan tanah, ibu di Jember dipolisikan anak kandungnya; dan kasus warisan di NTB berujung saling lapor ibu dan anak.
  •  Dengan hal ini, negara Jepang adalah salah satu negara yang masih tetap mempertahankan Japanese Twist. Japanese Twist artinya kekhususan Jepang dalam menghadapi hukum, yaitu dengan cara meminggirkan keunggulan atau kedaulatan undang-undang (supremacy of law) dan mengutamakan ukuran moral tertentu. Permintaan maaf dan budaya malu lebih dikedepankan dibandingkan ketentuan undang-undang saja.
  • Sub bab Kedua ini membahas mengenai Kejahatan dan Tingginya Angka Perceraian di Masa Pandemi Covid-19, Sepanjang tiga bulan pertama masa pandemi Covid-19 menyebar di Indonesia, angka kriminalitas meningkat sebesar 19,72%, sedangkan di pekan kedua bulan Juni 2020 sudah naik menjadi 38,45%. Kejahatan jalanan (street crime) seperti perampokan atau pencurian dengan pemberatan, begal, dan pencurian mini market, atau terjadinya penimbunan sembako. Adapun kejahatan lainnya di era pandemi ini adalah kejahatan siber, seperti penipuan daring disinyalir akan meningkat. Jenis kejahatan yang mengalami peningkatan, di antaranya penyebaran berita bohong atau hoaks, kekerasan dalam rumah tangga (KDRT), dan kejahatan narkoba.
  • Sub bab Ketiga ini mengkaji persoalan-persoalan yang berkatainn dengan administrasi hukum, dan dinamika dunia keilmuan serta permasalahan yang dihadapi dengan gagasan-gagasan hukum sebelumnya. Pertama, keraguan terhadap hakikat ilmiah hukum direduksi, sehingga hukum dapat dipahami sebegai suatu ilmu. Dalam teori hukum, merupakan penolakan terhadap paradigma dalam air pemikiran hukum sebelumnya.

Soerjono Soekanto memberikan beberapa catatan terhadap hasil pemikirannya, yaitu sebagai berikut:

  • Kesimpulan sementara bahwa masalah pokok dari penegakan hukum sebenarnya terletak pada faktor-faktor yang mungkin memengaruhinya. Faktor-faktor tersebut mempunyai arti penting yang netral, sehingga dampak positif dan negatifnya terletak pada isi faktor-faktor tersebut.
  • Di antara semua faktor tersebut, maka faktor penegak hukum menempati titik paling sentral. Hal itu disebabkan karena undang-undang disusun oleh penegak hukum, penerapannya dilaksanakan oleh penegak hukum, dan penegak hukum dianggap sebagai golongan panutan hukum oleh masyarakat luas.

Su bab Keempat ini membahas tentang Sejarah Pembentukan Pola Pikir Penegakan Hukum: Perdebatan Yuridis Normatif dan Yuridis Sosiologis yang Tidak Pernah Berakhir. Paradigma yuridis normatif berpandangan bahwa hukum tidak berkaitan dengan penilaian baik-buruk, sebab penilaian ini berada di luar bidang hukum. Kaidah moral secara yuridis tidak penting bagi hukum. Hakikat hukum semata- mata adalah perintah dan kurang atau tidak memberikan tempat bagi hukum yang hidup dalam masyarakat Sebelum beralih dari paradigma yuridis normatif ke paradigma yuridis sosiologis, terdapat masa transisi yang dilewati Munculnya paradigma yuridis sosiologis dilandasi bahwa suatu sistem hukum tidak akan bertahan hidup lama jika tidak mendapat dukungan sosial yang luas Sistem sosial yang terbuka dalam masyarakat memberikan tempat.

Munculnya paradigma yuridis sosiologis dilandasi bahwa suatu sistem hukum tidak akan bertahan hidup lama jika tidak mendapat dukungan sosial yang luas Sistem sosial yang terbuka dalam masyarakat memberikan tempat bagi tumbuh dan berkembangnya hukum yang hidup dalam masyarakat. Memisahkan hukum dengan moral seperti rasa keadilan tidak dapat dianut lagi, karena rasa keadilan tersebut merupakan cerminan jiwa kehidupan masyarakat dan aspek penegakan hukum yang termuat dalam kodifikasi, tidak akan berarti tanpa adanya dukungan moralitas.

Sub bab kelima ini membahas mengenai Paradigma Baru Penegakan Hukum di Indonesia. Pembaruan penegakan hukum di Indonesia adalah perubahan sejarah yang menuntut setiap individu melakukan pemahaman dan perenungan secara bersama-sama, untuk mengingat kembali jasa para pejuang dan tokoh hukum dalam percaturan hukum nasional dan internasional. Menjalankan sebuah hukum tidak hanya semata-mata tekstual perundang-undangan, namun harus dengan determinasi, empati, dedikasi, dan komitmen terhadap penderitaan bangsa ini dalam mencari jalan keluar lain guna menyejahterakan rakyat sesuai dengan apa yang telah diamanatkan oleh UUD 1945.

Penegakan hukum selama ini dilihat dalam dunia pendidikan, riset, maupun kajian-kajian keilmuan hukum pada tataran praktis atau pelaksanaan saja. Hal ini tidak sepenuhnya salah, karena secara realitas, banyak fakta kasus yang terjadi dan kemudian disimpulkan banyak ketidakadilan. Fakta kasus adalah hasil akhir dari suatu proses yang panjang sampai pada penilaian ketidakadilan tersebut oleh para pihak atau masyarakat. Mindset atau pola pikir inilah yang harus diubah pada siapa saja yang berkecimpung dengan hukum.

Perkembangan konsep penegakan hukum di Indonesia saat ini di dalam realita sudah diperluas maknanya, bahwa penegakan hukum tersebut sudah mulai diakui keberadaannya sejak ide atau gagasan hukum tersebut muncul dan selanjutnya tertuang dalam formulasi atau rumusan hukum sampai dimensi pelaksanaan aturan di masyarakat dalam kerangka menangani, mengatur, dan menyelesaikan perselisihan, sengketa, perkara, dan kasus hukum. Pergeseran konsep penegakan hukum selama ini masih didominasi oleh paradigma yang memandang hukum sebagai sebuah sistem, yaitu paradigma yang menganggap hukum sebagai suatu keteraturan (order).

Menurut Charles Sampford dalam bukunya yang berjudul The Disorder of Law: A Critique of Legal Theory (1989), paradigma hukum sebagai suatu sistem bertumpu pada tiga macam teori sistem hukum yang dianggap sudah konvensional, yaitu: 1) teori sistem hukum yang berbasis sumber (source) based), yakni teori-teori hukum positivistis; 2) teori sistem hukum yang berbasis isi (content based), yakni teori-teori hukum alam (irasional, rasional, dan modern); 3) teori sistem hukum yang berbasis fungsi (function based), yakni teori-teori sosiologis.

Tujuan dari hukum adalah mewujudkan keadilan. Proses mewujudkan keadilan adalah melalui penegakan hukum. Penegakan hukum yang selama ini diajarkan, dikaji, dan dianalisis baik itu di dunia akademik maupun praktisi hanya terfokus pada aspek kasus hukum, atau dengan kata lain pada proses pelaksanaan hukum. Hal inilah yang perlu dilakukan perubahan paradigma bahwa penegakan hukum tersebut dimulai dari niat (nawaitu) atau ide hukum, berlanjut ke perumusan hukum, dan yang terakhir adalah pelaksanaan hukum. Dengan demikian, cara pandang seperti ini akan melihat penegakan hukum secara lebih luas dan mendalam.

Dalam BAB Ke-II dalam buku ini membahas tentang Ruang Lingkup Sosisologi Hukum, pada Subbab Pertama Membahas mengenai Bunga Rampai Keilmuan Hukum. Pembelajaran ilmu hukum atau ilmu kesyari'ahan lebih dititikberatkan pada sifat preskriptifnya, yaitu memberikan pengetahuan tentang apa hukumnya bagi suatu kejadian tertentu serta bagaimana mengoperasikannya. Menen- tukan apa yang seyogyanya atau seharusnya (das sollen) dilakukan dalam meng- hadapi kenyataan (das sein). Ciri ini merupakan konsekuensi kesejarahan dalam ilmu hukum yang banyak dipengaruhi oleh positivisme hukum atau lebih dikenal dengan sifat kenormatifan dari hukum yang dalam metodologi pene- Itian hukum menimbulkan kubu penelitian hukum normatif.

Sejalan dengan perkembangan zaman, khususnya mempelajari dari runtutan sejarah, akan terdapat perkembangan yang memberikan arti pada perjalanan ilmu hukum. Baik itu pengaruh positif maupun negatif dalam kacamata normatif. Sedikit banyak pula terdapat sumbangan pemikiran dari bidang-bidang di luar ilmu hukum yang banyak membantu proses analisis yang dilakukan agar sebuah fenomena sosial tentang hukum dapat dijelaskan senyatanya. Bidang-bidang di luar ilmu hukum inilah yang disebut dengan ilmu bantu dalam ilmu hukum.

Pola pembelajaran sosiologi hukum adalah membukakan pintu pikiran kita bahwa ada bidang-bidang lain di luar bidang hukum yang sangat besar pengaruhnya dan bahkan penentu bagi potret hukum dikemudian hari. Mempelajari sosiologi hukum adalah mempelajari suatu bidang yang maha luas karena tidak ada batasannya untuk berhenti, seiring dengan dinamika sosial. Sosiologi hukum juga akan menuntun kita agar bersikap arif dan bijaksana dalam menilai setiap persoalan. Bahwa memahami suatu persoalan hukum dalam belantara sosial sangat memerlukan sudut pandang ilmu lain yang lebih komprehensif dan bersifat integralistik.

Subbab Kedua dalam buku ini membahas terkait dengan Sosiologi Hukum Merupakan Ilmu Kenyataan; Objek, Metode dan Nilai Kemanfaatan. Dalam bunga rampai keilmuan ada sekelompok ilmu yang sering disebut sebagai ilmu kenyataan; yaitu ilmu yang mengeluti dunia nyata, empiris. langsung ke objek, ke masyarakat. Ilmu ini mempelajari tentang realistis bukan idealistis, das sein (dunia nyata) bukan das sollen (dunia abstrak). Jika kita terjun mendalaminya kita berhadapan dengan seperangkat perilaku orang, institusi sosial, segolongan paham, konflik, friksi, perbedaan persepsi dan sebagainya yang penuh dengan "warna: Kita berhadapan dengan kenyataan hidup yang dapat dipersaksikan orang banyak, dapat melakukan penceritaan ulang, dapat melakukan penilaian karena dominannya unsur subjektivitas, serta segala hal yang terkait dengan opini publik.

Sosiologi hukum (Rechtsociologie/rechtssoziologie) merupakan cabang mu pengetahuan yang memahami, mempelajari, menjelaskan secara analitis empiris tentang persoalan hukum di hadapkan dengan fenomena-fenomena lain di masyarakat. Hubungan timbal balik antara hukum dengan gejala-gejala sosial lainnya merupakan bagian yang tidak terpisahkan dalam mempelajari sosiologi hukum.

Mengkaji fenomena sosial tentang hukum jika dilihat dari berbagai sudut pandang akan memberikan penilaian yang berbeda, karena masing-masing orang akan memberikan multitafsir yang berbeda terhadap satu objek persoalan. Kekayaan penafsiran dalam bidang sosiologi hukum sesungguhnya tidak ada pedoman baku, selama format penafsiran tidak mengada-ada dan masih dapat diterima akal pikiran yang sehat (common sense). Sedangkan dalam ilmu hukum terdapat 9 jenis penafsiran seperti sejarah, teleologis, gramatikal, analogi, sistematis, otentik, ekstensis, restriktif dan a contrario yang mempunyai pola koridor sendiri-sendiri.

Dalam pandangan sosiologi hukum, persoalan hukum bukanlah realitas pasal-pasal dalam peraturan perundang-undangan melainkan hubungan yang sinergis persoalan pasal dalam bekerjanya sehari-hari di masyarakat. Refleksi sosiologi hukum pada akhimya terdapat keseimbangan penceritaan. Artinya positif dan negatif ditanggapi secara seimbang. Tidak beral sebelah. Ini dilakukan agar netralitas dalam analisis empiris tidak jumbuh (selaras), tumpang tindih. Mempelajari sosiologi hukum sebagai suatu ilmu, dapat melihatnya dalam berbagai konteks seperti: perilaku (sikap), institusi (birokrasi), sistem sosial, nilai-nilai budaya, sistem politik dan kekuasaan, aspek perkembangan ekonomi, tuntutan kepastian dan keadilan hukum dan lain sebagainya, yang cirinya ditandai oleh suatu objek persoalan yang di dalamnya terdapat "implementasi yuridis.

Dari uraian di atas maka jelaslah, bahwa persoalan objek yang menjadi sasaran dari sosiologi hukum adalah persoalan yang menyangkut interaksi hukum dengan "dunia kenyataan, dunia sosial. Hasil dari apa-apa yang dijelaskan oleh sosiologi hukum, mempunyai nilai kemanfaatan sebagai berikut:

  • Dalam konstruksi keilmuan secara umum, pola yang dilakukan sosiologi hukum mempunyai nilai manfaat dalam memfalsifikasikan atau semakin menguatkan posisi teori atau konsep yang dikemukakan pakar.
  • Menjelaskan fenomena sosial tentang hukum adalah menjelaskan feno mena apa adanya. Pembelajaran sosiologi hukum adalah pembelajaran pendewasaan berpikir yang tentunya berakibat pada pendewasaan bertingkah laku.

Subbab Ketiga dalam buku ini membahas mengenai Keterjalinan Ilmu Hukum dan Sosiologi. Secara keilmuan sering disebutkan bahwa sosiologi hukum merupakan has perpaduan antara sosiologi dan ilmu hukum. Jika dikaji secara mendalam hasil perpaduan tersebut tidak hanya "murni" dari dua topangan ilmu tetapi juga dilandasi Filsafat Hukum. Misalnya aspek sejarah yang terdapat dalam pembelajaran Filsafat Hukum mempunyai sinergis yang vertikal dengan pol pembentukan aliran atau mazhab dalam pembelajaran Sosiologi Hukum.

Sebagai bidang ilmu yang berhubungan langsung dengan masyarakat maka sosiologi hukum merupakan jembatan untuk menjelaskan pada ilmu hukum bahwa persoalan hukum bukanlah persoalan yang berhenti deng diaturnya sesuatu hal objek, tetapi dapat diperjelaskan pra proses, prose sampai hasil dari proses dan evaluasi.

Dalam BAB ke-III ini membahas mengenai bagaiman perkembangan pemikiran sosiologi hukum di indonesia yang secara historis di ambil dari Ajaran Sosiologi dalam Kitab "Wulang Reh" oleh Sri Mangkunegoro ke IV dari Surakarta yang mengajarkan tata hubungan dalam intergroup relations yang kemudian terbentuknya Organisasi Sosial dan Studi Hukum Adat namun Sejak Zaman Belanda pelajaran Sosiologi dihapus sejak tahun 1931 lalu Sejak kemerdekaan mulai tahun 1949 Sosiologi Deskriptif berkembang di UGM dan pada tahun 1967 berkembang Fakultas dan Buku-buku. Sosilogi kemudian berkembang karena adanya kesempatan untuk belajar keluar negeri dan banyaknya mata kuliah sosiologi di perguruan tinggi serta pembangunan ekonomi yang memeperhatikan faktor non teknis. Menurut pemikiran Prof Soejono Soekanto, S.H., MA. Penulis desertasi tahun 1977 dengan judul Kesadaran dan kepatuhan hukum, sosiologi hukum adalah meneliti mengapa manusia patuh pada hukum dan mengapa dia gagal menaati hukum serta faktor sosial yang mempengaruhinya

Didalam BAB Ke-IV dalam buku ini membahas terkait dengan Sumber Pemikiran Sosiologi Hukum. Fenomena sosial tentang hukum adalah gejala empirik yang dapat disaksikan oleh pancaindera kita. Berbagai kasus atau perkara yang terjadi di tanah air, baik itu yang bersifat lokal, nasional bahkan internasional (selama berhubungan dengan kasus yang ada di Indonesia) dapat dijadikan rujukan analisis kasus. Kemampuan individu untuk mengakses kasus sangat berpengaruh pada kesempurnaan data yang didapat. Semakin sumber data (primer, sekunder maupun tersier) banyak didapatkan maka tidak menutup kemungkinan pengua saan atas kasus semakin mendalam pula. Oleh sebab itu, dalam tataran diskusi akan terlihat sejauhmana kemampuan seseorang mendalami kasus yang dibahas Persoalan data empirik, logika dan rasional akan menuntun ke arah manaseseorang mampu dan terampil mengkomunikasikan gagasan pemikirannya secara vertikal maupun horisontal.

Proses analisis kasus sosiologi hukum dimulai  tataran konsepsi pendapat pakar yang meliputi pakar sosiologi sampa sosiologi hukum kontemporer. Pengamat dapat melakukan kegiatan pembacaan, penelaahan secara maksimal atas pola pikir yang dikembangkan oleh para pakar. Setelah menelaah pendapat pakar maka pengamat dapat melakukan kristalisasi pemikiran para pakar tersebut. Olahan pengamat ata pendapat pakar tersebut sangatlah penting untuk memenulusuri berbaga hal terkait dengan setting sosial pemikiran itu muncul sampai kontrovers perbedaan pendapat antara pakar tersebut. Poin-poin pendapat pakar tersebut dalam proses pengutipan tidak boleh dilakukan secara parsial atau sepotong-sepotong. Pendapat pakar yang diambil hanya sebagian saja tanpa memperhatikan nilai implisit yang ada dalam statement pakar sebagai satu kesatuan akan dapat mengurangi keutuhan analisis. Langkah selanjutnya adalah melakukan kegiatan analisis. Menganalisis adalah kegiatan melakukan peramuan antara komponen teoritis (pendapat pakar) dan komponen kasus (empirik). Gaps (kesenjangan) yang terjadi antara keduanya dibahas dengan menggunakan ilmu bantu dalam ilmu hukum seperti: kajian politik, kajian ekonomi, kajian antropologi, kajian medis, kajian sosio kultural, kajian adat istiadat, kajian hukum Islam dan lain-lain. Kemampuan untuk meramu dua komponen ini sangat tergantung pada kepiawaian, kema- hiran bahkan keterampilan pengamat untuk memberikan uraian yang berkualitas.

Dalam BAB ke-V membahas  mengenai Dinamisasi Hukum dalam Realitas Sosial. Sejak awal sejarah pembentukan umat manusia dalam konteks interaksi dalam masyarakat, persoalan kaidah atau norma merupakan jelmaan yang dibutuh- kan dalam upaya mencapai harmonisasi kehidupan. Secara empirik sosiologis kaidah atau norma adalah tuntunan atau kunci dalam mencapai stabilisasi interaksi sehingga pelanggaran akan kaidah atau norma akan dijatuhi hukuman atau sanksi sosial.

Interaksi kehidupan manusia dalam masyarakat dalam sepanjang perja- lanan hidup tidak ada yang berjalan lurus, mulus dan aman-aman saja. Sepan- jang kehidupan manusia, yang namanya persengketaan, kejahatan, ketidak- adilan, diskriminasi, kesenjangan sosial, konflik SARA dan sebagainya adalah warna-warni dari realitas yang dihadapi. Persoalan-persoalan tersebut semakin berkembang dalam modifikasi lain akibat pengaruh teknologi globalisasi akan semakin canggih setua usia bumi. Manusia pun menyadari bahwa ketenangan dan ketentraman hidup tidak akan tercapai tanpa kesadaran pada diri untuk berubah, memperbaiki perilaku Selain dukungan masyarakat untuk memulihkannya.

Secara sosiologis, persoalan penegakan hukum, law enforcement adalah persoalan yang kompleks jika ingin ditegakkan. Maka kemudian kita akan membincangkannya dalam koridor pertanyaan-pertanyaan seputar program sosialisasi, implementasi atau aplikasi, perangkat pendukung (perangkat lunak maupun keras), koordinasi serta faktor pendukung agar pengaturan itu berhasil dalam masyarakat, dan semua mematuhinya.

Paradigma yang berkembang dalam memberikan format atas hubungan interaksi perubahan sosial dan perubahan hukum adalah:

  1. Hukum melayani kebutuhan masyarakat, agar supaya hukum itu tidak akan menjadi ketinggalan oleh karena lajunya perkembangan masyarakat
  2. Hukum dapat menciptakan perubahan sosial dalam masyarakat atau setidak-tidaknya dapat memacu perubahan-perubahan yang berlang- sung dalam masyarakat.

Dalam BAB ke-VI ini membahas mengenai Kristalisasi Pemikiran Sosiologi Hukum, Para pemikir Sosiologi Hukum adalah sosiolog yang berminat mempelajari hukum, banyak menyajikan pendapat tentang hukum baik itu hukum dalam pengertian yang otonom maupun hukum dalam hubungannya dengan bidang lain di luar hukum. Pemikiran para tokoh ini mengakibatkan timbulnya bermacam-macam konsepsi dan teori yang dikembangkan atas dasar berbagai perspektif yaitu suatu kerangka konsepsi dasar, paradigma atau model. Model tersebut sangat tergantung pada ilmuwan tentang latar belakang atau fokus perhatiannya. Dengan pola pembagian perbabak dan tokohnya didasarkan pada pemikiran Soerjono Soekanto (1985: 5-47) yang menyebutkan bahwa penyusunan kategori perspektif teoritisi didasarkan pada berbagai kriteria seperti: kerangka ilmu-ilmu hukum yang mencakup ilmu hukum dogmatis dan ilmu hukum kenyataan, kecenderungan perkembangan teori juga sering dipergunakan sebagai kerangka dasar, kerangka bidang-bidang tata hukum, latar belakang dan pusat perhatian penyusunnya (yakni ilmuwannya)

Uraian setiap pemikiran para tokoh dilandasi oleh perpaduan berbagai studi kepustakaan yang penulis lakukan dan dapat dilihat dalam daftar pustaka Penggolongan pendapat tokoh dapat dibagi atas:

Teoritisi I

Pionir-pionir Eropa (Pionir perintis jalan, pembuka jalan), yang berciri bahwa hukum adalah gejala yang mandiri dan terlepas dari struktur maupun masyarakat dimana hukum itu hidup. Hukum secara universal adalah hukum yang di tentukan masyarakat merupakan cerminan dari gagasan gagasan yang mencul di masyarakat. Hukum berkembang pada abad ke-19 : hukum alam bergeser oleh penafsiran sejarah dan evolusioner terhadap hukum dan banyak ahli berpikir yang tidak setuju pada spekulasi filosofis tentang hakekat dan tujuan hukum, dan memusatkan pada : perkembangan hukum dan analisis hukum positif yang telah di tetapkan dan dilaksanakan negara

Dalam terori ini ada beberapa ide tokoh, seperti Montesquieu, Friederich Karl Von Savigny, Herbery Spencer dan Sir Henry Summer Meine

Teoritisi II

      Para Sosiolog mengakui adanya hubungan esensial antara lembaga hukum dengan tertib sosial. Dengan ide ide dari tokoh sosiolog seperti Karl Marx, Max Weber, Eugen Ehrlich dan Emil Durhkhiem

Teoritisi III

Teori sosio yuridis, Hukum tidak akan dipahami tanpa mempertimbangkan realitas kehidupan sosial. Pada awal abad ke-20: terdapat pengaruh kuat ilmu sosial terhadap analisa perkembangan hukum. Dengan ide ide dari beberapa tokoh seperti, Albert Van Dicey, Oliver Wendell Holmes, Rescoe Pound, Benjamin Nathan Cordozo, Kerl N.Llewellyn, E. Adamson Hoebel, Laon Duguit, Maurice Haurion, George Gurvitch dan Theodore Geiger

Teoritisi IV

Teori Kontemporer tentang hukum dan masyrakat dengan proposisi empiris mengenai hukum dalam masyarakat dan teori-teori yang tidak saja teori klasik tetapi juga teori yang kontemporer, dengan meliputi legislasi: pembuatan UU, legitasi: proses pengadilan/jalannya perkara. Ide dalam teori ini berasal dari Donal Black, Robert Mangabeira Unger, Adm Podgorecki, Philipe Nonet  dan Philip Selznick

Dalam BAB ketujuh sekaligus bab terahir ini membahas mengenai telaah pisau analisis sosiolohi hukum dalam berbegai wacana, dengan sub bab mengugat paradigma positivisme: kontempaslasi dan analisis kritis teori hukum positif dan realitas sosial. Positivisme lahir dari konflik antara pemikir yang mengkonstruksikan dunia dari berbagai konsep dan ide a priori serta pemikir yang menitikberatkan pada materi atas ide Dua kelompok pemikir itu dikenal sebagai idealis dan materialis atau metafisis versus positivis dan ontologis versus empiris. Jika ditelusuri ke filsafat Yunani Kuno, kaum idealis mengikuti jejak Plato (427-347 SM) dan kelompok materialis melanjutkan warisan pemikiran Aristoteles (384-322 SM) Dalam beberapa wacana sejarah filsafat maupun teori hukum secara umum, positivisme dikenal akan dua sub aliran yaitu: aliran hukum positif yang analitis (analytical positivism), pelopornya ialah John Austin dan aliran hukum positif yang murni (reine rechtslehre), dipelopori oleh Hans Kelsen kemudian Pemikiran positivisme analitis dapat ditelaah pula dari Roguin yang membela hukum murni dengan dibatasi oleh penafsiran-penafsiran yang sah, dan mengeluarkan semua penafsiran dan penerapan hukum di luar bidang ilmu hukum, atau Jeze yang menegaskan lagi perbedaan mutlak antara hukum dan politik dan membatasi hukum hanya pada fungsi teknis. Bagi Jeze, "rasa keadilan" bukan mata rantai dalam perkembangan kreatif dari hukum, melainkan tindakan revolusi politis terhadap hukum (as an act political revolution against the law). Aliran hukum positif yang murni Hans Kelsen tersebut, sesungguhnya merupakan suatu pemberontakan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yaitu yang hanya mengembangkan sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter

            Dari banyaknya pendapat mengenai positivisme hukum  Satjipto Rahardjo mengutarakan bahwa ciri rechtsdogmatiek/analytical positivism secara berurutan adalah: Practical Sci- ence, Terbatas pada hukum positif, Peraturan (Rule), Logika, Struktur logis dari hukum, Formal-Prosedural (membiasakan melihat yang formal/dikembalikan pada hukum positif), Pasaran Kerja (profesionalisme hukum), yaitu kemampuan atau keterampilan, mengetahui dan menerapkan hukum tertulis. Positivisme hukum sangat mempercayai hukum tertulis dan tidak perlu input bidang lain. Hukum ada dalam dogma, asas-asas, norma, peraturan- peraturan. Semua sudah tercukupi oleh hukum, oleh karena bidang ini seperti ekonomi, politik maupun sosial sudah diatur oleh hukum. Apa yang sudah diatur oleh hukum ada pada hukum. Pada saat para pengkaji hukum merasa cukup puas dengan kemampuan hukum untuk "menguasai" masyarakat, pada waktu itu mereka menerima hukum sebagai sesuatu yang praktis. Pikiran orang hanya ditujukan kepada pemahaman dan penguasaan hukum positif, bagaimana menafsirkannya, dan bagaimana pula menerapkannya. Kehadiran hukum itu tidak pernah dipersoalkan, ia diterima sebagai suatu yang seharusnya dijalankan, sesuatu yang tinggal diterapkan saja. Law is practical science. It does not ordinary dwell on fundamental questions about the social, political, an economic functions of legal order.

            Dalam sub bab kedua ini membahas mengenai jembatan Syari'ah islam dalam hukum positif di Indoensia; Pencarian, pe,bebasan dan pencerahan dalam hukum tidak tertulis (Hukum Sosiologis) perjalanan Syari'ah Islam di Indonesia jika dilihat dari perspektif historis, yundi dan sosiologis menghadapi berbagai kekompleksitasan masalah, baik itu yang bersumber dari multi interpretasi atas situasi maupun perubahan zaman berupa politisasi Syari'ah Islam, khususnya dalam koridor pembentukan perundang-undangan. Perjuangan kaum muslimin yang tiada henti sebaga upaya penerapan Syari'ah Islam dalam hukum positif di Indonesia secara kalah sesungguhnya alur yang dibentuk atas responsifitas simbolik dari rezim yang berkuasa. Menganalisis wacana kesejarahan Syari'ah Islam di Indonesia yang ada nampaknya terdapat kesimpulan yang cukup menarik, yaitu terdapatnya "kesalahan sejarah " yang memposisikan cara pandang teoritis dan pragmats Syari'ah Islam ke dalam realitas sosial yang berkembang sampai saat in Kesalahan sejarah yang dibentuk sejak penerapan "model politik hukum pemerintah hindia belanda" dan sikap eksklusivitas kaum muslimin yang menyelesaikan persoalan keduniaan seperti pengadilan serambi.

            Pembaharuan hukum positif di Indonesia berkembang atas 2 (dua) cara pandang yang dianut, yaitu: hukum yang berfungsi sebagai pengabdian (dienende functie) dan hukum yang berorentasi ke masa depan (ius constituen- dum).14 Dua cara pandang ini sangat berpengaruh pada teknik pembuatan peraturan perundang-undangan sampai pada aspek metodologi dalam menganalisis kasus hukum. Dua cara pandang tersebut sangat berpengaruh pada kontribusi Hukum Islam terhadap bentuk konkrit Hukum Positif Islam di Indonesia. Beberapa peraturan perundang-undangan yang mencerminkan "roh Syari'ah Islam"telah diakomodir sedemikian rupa sebagai pembuktian hukum positif yang diber- lakukan khusus bagi komunitas muslim di Indonesia. Sejalan dengan perkembangan pembentukan undang-undang tersebut, maka tidak dapat dinafikan problematika sosial politik dan menjadi model pembentukan Hukum Islam di Indonesia secara yuridis formal.

            Positivisasi hukum Islam merupakan hasil kontribusi Syari'ah Islam tentang pengaturan secara ekslusivitas perihal pengaturan keduniaan umat Islam Problematika dan tantangan yang dihadapi dalam sosialisasi dan strukturalisasi aturan perundang-undangan bidang hukum Islam dapat bersumber dari luar dan dari kalangan umat Islam sendiri. Dari luar misalnya yang dikemukakan oleh penganut teori Receptie yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku sepanjang telah diresepsi (diterima) oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada atau tidak adanya hukum Islam. Walaupun Teori Receptie ini telah dipukul telak dengan dikeluarkannya hukum positif Islam, tetapi "arwahnya" masih hidup dan berkembang dalam masyarakat akademis maupun sarjana hukum (Islam) di Indonesia. Kendala lain adalah pendapat kelompok orang-orang dalam masyarakat Islam yang tidak setuju hukum Islam berlaku bagi umat Islam di Indonesia dan tidak setuju transformasi norma-norma hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional.

            Transformasi syari'ah Islam yang semula "hukum tidak tertulis" menjadi "hukum tertulis" merupakan sebuah aktivitas rekayasa sosial terhadap hukum (Law as a tool of social engineering) sebagai tuntutan perubahan penegakan hukum yang menempatkan syari'ah Islam ke dalam aras supremasi hukum. Aktivitas hakim ini bukan merupakan metode untuk mengisi kekosongan hukum yang diartikan sebagai syari'ah Islam digunakan apabila tidak ada alternatif lain atau tidak ada hukum yang mengatur (ultimum remedium). Pemaknaan secara simbolik yang dianut oleh peers group tersebut layak dikritisi agar wawasan lebih diperluas dan tidak terjebak dalam dikotomi das sollen dan das sein. Oleh karena kaidah syari'ah Islam sudah diuji kehandalannya secara sosiokultural, maka law enforcement bukan merupakan problematika yang signifikan. Proses transformasi syari'ah Islam ini dapat memfalsifikasi pemikiran dari Robert B. Seidman tentang "The law of the non transferability of law" 

            Sub bab ketiga ini membahas terkait dengan lompatan paradigmatik dalam masa transisi. Kata paradigma menjadi terkenal setelah Thomas S. Khun memberikan pengetahuan baru khususnya filsafat pengetahuan. Walaupun kesimpulan bahasan Khun secara sentral tidak memberikan definisi paradigma tetapi dapat dilihat kajian apa dan bagaimana paradigma tersebut seperti tulisannya sebagai universally recognized scientific achievements that for a time provide model problems and solutions to a community of practitioners. Menurut Khun, paradigma bukanlah hasil-hasil pencapaian kegiatan keilmuan yang di satu pihak sangat hebat sehingga para ilmuwan menjadi pengikutnya yang setia dengan meninggalkan ragam-ragam kegiatan keilmuan yang menyainginya, dan di lain pihak cukup "terbuka" sehingga ada peluang bagi para penganut ragam kegiatan itu untuk memecahkan masalah- masalah di bidang ilmu.

Selanjutnya Khun menjabarkan konsep paradigma ini ke dalam dua aspek atau bentuk penampilan, yakni disciplinary matrix dan exemplars (shared examples), yang dapat dipandang sebagai expalantory principles sehingga konsep paradigma dapat menjadi lebih operasional. Menurut Khun matriks disipliner itu terdiri atas empat komponen yakni: (a) generalisasi simbolik; (b) praanggapan kefilsafatan atau model yang dianut bersama yang menematisasi objek telaah, yang menyediakan analogi dan metafor yang diizinkan, yang dengan itu dapat ditentukan apa yang dapat diterima sebagai penjelasan dan sebagai solusi; (c) komitmen pada nilai-nilai yang dianut komunitas ilmuwan yang membimbing kegiatan ilmiahnya (misalnya dalam seleksi hipotesis); (d) eksemplar ilmiah, yakni model solusi masalah paradigmatik.

Sub bab keempat membahas terkait dengan hukum antara Das Sollen dan Das Sein, yang mempertanyakan kesadaran hukum masyarakat pada prinsipnya memper- tanyakan juga aspek penegakan hukum. Telaah yang pernah dilakukan oleh Soerjono Soekanto tentang Kesadaran dan Kepatuhan Hukum di tahun 1982, membuka pintu kajian semakin jelas akan pentingnya keterlibatan masyarakat dalam mematuhi secara sadar konsepsi hukum yang telah disahkan dan dilaksanakan secara konsekuen dalam komunikasi/hubungan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara bahkan berpolitik.

#uinsaidsurakarta2024#muhammadjulijanto#prodihesfasyauinsaidsurakarta2024

           

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun