Teoritisi III
Teori sosio yuridis, Hukum tidak akan dipahami tanpa mempertimbangkan realitas kehidupan sosial. Pada awal abad ke-20: terdapat pengaruh kuat ilmu sosial terhadap analisa perkembangan hukum. Dengan ide ide dari beberapa tokoh seperti, Albert Van Dicey, Oliver Wendell Holmes, Rescoe Pound, Benjamin Nathan Cordozo, Kerl N.Llewellyn, E. Adamson Hoebel, Laon Duguit, Maurice Haurion, George Gurvitch dan Theodore Geiger
Teoritisi IV
Teori Kontemporer tentang hukum dan masyrakat dengan proposisi empiris mengenai hukum dalam masyarakat dan teori-teori yang tidak saja teori klasik tetapi juga teori yang kontemporer, dengan meliputi legislasi: pembuatan UU, legitasi: proses pengadilan/jalannya perkara. Ide dalam teori ini berasal dari Donal Black, Robert Mangabeira Unger, Adm Podgorecki, Philipe Nonet  dan Philip Selznick
Dalam BAB ketujuh sekaligus bab terahir ini membahas mengenai telaah pisau analisis sosiolohi hukum dalam berbegai wacana, dengan sub bab mengugat paradigma positivisme: kontempaslasi dan analisis kritis teori hukum positif dan realitas sosial. Positivisme lahir dari konflik antara pemikir yang mengkonstruksikan dunia dari berbagai konsep dan ide a priori serta pemikir yang menitikberatkan pada materi atas ide Dua kelompok pemikir itu dikenal sebagai idealis dan materialis atau metafisis versus positivis dan ontologis versus empiris. Jika ditelusuri ke filsafat Yunani Kuno, kaum idealis mengikuti jejak Plato (427-347 SM) dan kelompok materialis melanjutkan warisan pemikiran Aristoteles (384-322 SM) Dalam beberapa wacana sejarah filsafat maupun teori hukum secara umum, positivisme dikenal akan dua sub aliran yaitu: aliran hukum positif yang analitis (analytical positivism), pelopornya ialah John Austin dan aliran hukum positif yang murni (reine rechtslehre), dipelopori oleh Hans Kelsen kemudian Pemikiran positivisme analitis dapat ditelaah pula dari Roguin yang membela hukum murni dengan dibatasi oleh penafsiran-penafsiran yang sah, dan mengeluarkan semua penafsiran dan penerapan hukum di luar bidang ilmu hukum, atau Jeze yang menegaskan lagi perbedaan mutlak antara hukum dan politik dan membatasi hukum hanya pada fungsi teknis. Bagi Jeze, "rasa keadilan" bukan mata rantai dalam perkembangan kreatif dari hukum, melainkan tindakan revolusi politis terhadap hukum (as an act political revolution against the law). Aliran hukum positif yang murni Hans Kelsen tersebut, sesungguhnya merupakan suatu pemberontakan terhadap ilmu hukum yang ideologis, yaitu yang hanya mengembangkan sebagai alat pemerintahan dalam negara-negara totaliter
      Dari banyaknya pendapat mengenai positivisme hukum  Satjipto Rahardjo mengutarakan bahwa ciri rechtsdogmatiek/analytical positivism secara berurutan adalah: Practical Sci- ence, Terbatas pada hukum positif, Peraturan (Rule), Logika, Struktur logis dari hukum, Formal-Prosedural (membiasakan melihat yang formal/dikembalikan pada hukum positif), Pasaran Kerja (profesionalisme hukum), yaitu kemampuan atau keterampilan, mengetahui dan menerapkan hukum tertulis. Positivisme hukum sangat mempercayai hukum tertulis dan tidak perlu input bidang lain. Hukum ada dalam dogma, asas-asas, norma, peraturan- peraturan. Semua sudah tercukupi oleh hukum, oleh karena bidang ini seperti ekonomi, politik maupun sosial sudah diatur oleh hukum. Apa yang sudah diatur oleh hukum ada pada hukum. Pada saat para pengkaji hukum merasa cukup puas dengan kemampuan hukum untuk "menguasai" masyarakat, pada waktu itu mereka menerima hukum sebagai sesuatu yang praktis. Pikiran orang hanya ditujukan kepada pemahaman dan penguasaan hukum positif, bagaimana menafsirkannya, dan bagaimana pula menerapkannya. Kehadiran hukum itu tidak pernah dipersoalkan, ia diterima sebagai suatu yang seharusnya dijalankan, sesuatu yang tinggal diterapkan saja. Law is practical science. It does not ordinary dwell on fundamental questions about the social, political, an economic functions of legal order.
      Dalam sub bab kedua ini membahas mengenai jembatan Syari'ah islam dalam hukum positif di Indoensia; Pencarian, pe,bebasan dan pencerahan dalam hukum tidak tertulis (Hukum Sosiologis) perjalanan Syari'ah Islam di Indonesia jika dilihat dari perspektif historis, yundi dan sosiologis menghadapi berbagai kekompleksitasan masalah, baik itu yang bersumber dari multi interpretasi atas situasi maupun perubahan zaman berupa politisasi Syari'ah Islam, khususnya dalam koridor pembentukan perundang-undangan. Perjuangan kaum muslimin yang tiada henti sebaga upaya penerapan Syari'ah Islam dalam hukum positif di Indonesia secara kalah sesungguhnya alur yang dibentuk atas responsifitas simbolik dari rezim yang berkuasa. Menganalisis wacana kesejarahan Syari'ah Islam di Indonesia yang ada nampaknya terdapat kesimpulan yang cukup menarik, yaitu terdapatnya "kesalahan sejarah " yang memposisikan cara pandang teoritis dan pragmats Syari'ah Islam ke dalam realitas sosial yang berkembang sampai saat in Kesalahan sejarah yang dibentuk sejak penerapan "model politik hukum pemerintah hindia belanda" dan sikap eksklusivitas kaum muslimin yang menyelesaikan persoalan keduniaan seperti pengadilan serambi.
      Pembaharuan hukum positif di Indonesia berkembang atas 2 (dua) cara pandang yang dianut, yaitu: hukum yang berfungsi sebagai pengabdian (dienende functie) dan hukum yang berorentasi ke masa depan (ius constituen- dum).14 Dua cara pandang ini sangat berpengaruh pada teknik pembuatan peraturan perundang-undangan sampai pada aspek metodologi dalam menganalisis kasus hukum. Dua cara pandang tersebut sangat berpengaruh pada kontribusi Hukum Islam terhadap bentuk konkrit Hukum Positif Islam di Indonesia. Beberapa peraturan perundang-undangan yang mencerminkan "roh Syari'ah Islam"telah diakomodir sedemikian rupa sebagai pembuktian hukum positif yang diber- lakukan khusus bagi komunitas muslim di Indonesia. Sejalan dengan perkembangan pembentukan undang-undang tersebut, maka tidak dapat dinafikan problematika sosial politik dan menjadi model pembentukan Hukum Islam di Indonesia secara yuridis formal.
      Positivisasi hukum Islam merupakan hasil kontribusi Syari'ah Islam tentang pengaturan secara ekslusivitas perihal pengaturan keduniaan umat Islam Problematika dan tantangan yang dihadapi dalam sosialisasi dan strukturalisasi aturan perundang-undangan bidang hukum Islam dapat bersumber dari luar dan dari kalangan umat Islam sendiri. Dari luar misalnya yang dikemukakan oleh penganut teori Receptie yang menyatakan bahwa hukum yang berlaku bagi orang Islam adalah hukum adat mereka masing-masing. Hukum Islam dapat berlaku sepanjang telah diresepsi (diterima) oleh hukum adat. Jadi hukum adatlah yang menentukan ada atau tidak adanya hukum Islam. Walaupun Teori Receptie ini telah dipukul telak dengan dikeluarkannya hukum positif Islam, tetapi "arwahnya" masih hidup dan berkembang dalam masyarakat akademis maupun sarjana hukum (Islam) di Indonesia. Kendala lain adalah pendapat kelompok orang-orang dalam masyarakat Islam yang tidak setuju hukum Islam berlaku bagi umat Islam di Indonesia dan tidak setuju transformasi norma-norma hukum Islam ke dalam sistem hukum nasional.
      Transformasi syari'ah Islam yang semula "hukum tidak tertulis" menjadi "hukum tertulis" merupakan sebuah aktivitas rekayasa sosial terhadap hukum (Law as a tool of social engineering) sebagai tuntutan perubahan penegakan hukum yang menempatkan syari'ah Islam ke dalam aras supremasi hukum. Aktivitas hakim ini bukan merupakan metode untuk mengisi kekosongan hukum yang diartikan sebagai syari'ah Islam digunakan apabila tidak ada alternatif lain atau tidak ada hukum yang mengatur (ultimum remedium). Pemaknaan secara simbolik yang dianut oleh peers group tersebut layak dikritisi agar wawasan lebih diperluas dan tidak terjebak dalam dikotomi das sollen dan das sein. Oleh karena kaidah syari'ah Islam sudah diuji kehandalannya secara sosiokultural, maka law enforcement bukan merupakan problematika yang signifikan. Proses transformasi syari'ah Islam ini dapat memfalsifikasi pemikiran dari Robert B. Seidman tentang "The law of the non transferability of law"Â
      Sub bab ketiga ini membahas terkait dengan lompatan paradigmatik dalam masa transisi. Kata paradigma menjadi terkenal setelah Thomas S. Khun memberikan pengetahuan baru khususnya filsafat pengetahuan. Walaupun kesimpulan bahasan Khun secara sentral tidak memberikan definisi paradigma tetapi dapat dilihat kajian apa dan bagaimana paradigma tersebut seperti tulisannya sebagai universally recognized scientific achievements that for a time provide model problems and solutions to a community of practitioners. Menurut Khun, paradigma bukanlah hasil-hasil pencapaian kegiatan keilmuan yang di satu pihak sangat hebat sehingga para ilmuwan menjadi pengikutnya yang setia dengan meninggalkan ragam-ragam kegiatan keilmuan yang menyainginya, dan di lain pihak cukup "terbuka" sehingga ada peluang bagi para penganut ragam kegiatan itu untuk memecahkan masalah- masalah di bidang ilmu.