Mohon tunggu...
Margaretha
Margaretha Mohon Tunggu... Dosen - A passionate learner - Ad Astra Abyssoque.

Margaretha. Pengajar, Peneliti, serta Konselor Anak dan Remaja di Fakultas Psikologi Universitas Airlangga. Saat ini tengah menempuh studi lanjut di Departemen Pediatri, the University of Melbourne dan terlibat dalam the Centre of Research Excellence in Global Adolecent Health.

Selanjutnya

Tutup

Healthy Artikel Utama

Apa Itu Gangguan Eksibisionistik?

28 Oktober 2021   14:08 Diperbarui: 9 Desember 2021   07:39 1208
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi perilaku eksibisionis. Sumber: Shutterstock via Tribunnews

Gangguan Eksibisionistik adalah salah satu gangguan Kesehatan Mental dimana seseorang menampilkan alat kelaminnya pada orang asing atau orang yang tidak menginginkannya dalam rangka pemuasan kebutuhan seksual dirinya. Perlu dipahami, tujuan Gangguan Eksibisionistik utamanya seksualitas bukan untuk mencari perhatian atau mengambil keuntungan.

Ketika menunjukkan alat kelaminnya, individu dengan Gangguan Eksibisionistik berfantasi tentang masturbasi atau melakukan masturbasi, namun tidak dilanjutkan dengan upaya perilaku seksual dengan orang di hadapannya.

Gangguan Eksibisionistik lebih banyak terjadi pada laki-laki dan korbannya biasanya perempuan, baik anak di bawah umur maupun dewasa, yang sedang lengah. Walaupun jarang dilaporkan, perempuan juga bisa melakukan eksibisionisme, namun kadang ini tertutupi dengan pornografi (yang telah mengeksploitasi secara seksual perempuan - bahkan ada peminatnya).

Jika tidak tertangani dengan baik, Gangguan Eksibisionistik dapat mengganggu kehidupan sosial dan relasi intimnya. 

Oleh karena itu, individu dengan Gangguan Eksibisionistik perlu mendapatkan bantuan psikologis profesional untuk dapat mengelola gangguannya tersebut.

Mengapa Eksibisionisme?

Eksibisionisme adalah perilaku menampilkan bagian tubuh pribadi/kelamin yang biasanya tidak terbuka pada khalayak umum, misalkan: payudara, alat kelamin, atau pantat.

Beberapa jenis perilaku eksibisionisme adalah:

1. Anasyrma, mengangkat rok ketika tidak menggunakan pakaian dalam, dalam rangka menunjukkan alat kelamin.

2. Mooning, atau menunjukkan pantat dengan cara menurunkan bawahan dan pakaian dalam. Sering juga, hal ini dilakukan dalam rangka bercanda, protes atau penghinaan. Artinya perlu dibedakan apakah sungguh eksibisionisme - karena satu perilaku sama bisa bermakna/tujuannya berbeda-beda.

3. Flashing, atau menunjukkan dada/payudara atau alat kelamin dengan mengangkat atasan atau pakaian dalam.

4. Reflectoporn, yaitu menampilkan foto telanjang seseorang yang diambil dari bayangan jatuh di atas suatu benda yang memiliki daya reflektif seperti kaca, stainless; lalu memasangnya di internet agar bisa dilihat orang banyak.

Perilaku menampilkan alat kelamin ini bisa memicu munculnya respon terkejut dan jijik dari orang yang melihatnya (korban eksibisionisme), dan inilah yang memunculkan hasrat seksual bahkan pemuasan seksual bagi pelaku eksibisionisme. 

Namun, beberapa temuan klinis menemukan, selain mendapatkan kepuasan dari melihat reaksi jijik dan terkejut dari korbannya, sebenarnya pelaku eksibisionisme juga membayangkan jika korbannya mau melanjutkan interaksi seksual dengannya setelah melihat alat kelaminnya tersebut (victims to partake in further consensual intercourse with them). 

Bahkan ditemukan pula, pelaku eksibisionisme tidak mempedulikan reaksi korbannya; artinya kepuasan seksualnya tercapai hanya dengan melakukan eksibisi alat kelaminnya tersebut (sumber Affirmotive Sex Addiction Australia).

Gangguan Penyimpangan Seksual Eksibisionistik

Dulu dalam Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders IV (DSM IV tahun 2000) gangguan ini dikenal sebagai Eksibitionisme (exhibitionism). 

www.pobpad.com
www.pobpad.com

Namun sejak digantikan dengan Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders V (DSM V tahun 2013), berubah namanya menjadi Gangguan Eksibisionistik. Gangguan Eksibisionistik dikategorikan sebagai salah satu bentuk Parafilia dalam Gangguan Penyimpangan Seksual (sexual disorders).

American Psychiatric Association (APA) menjelaskan bahwa Parafilia adalah sekelompok gangguan yang mencakup ketertarikan seksual terhadap objek yang tidak wajar atau aktivitas seksual yang tidak pada umumnya. 

Parafilia juga terkait dengan ketertarikan secara seksual pada individu atau obyek seksual yang tidak tepat atau tidak berdasarkan kesepakatan (non-consensual); serta perilaku seksual yang menyimpang dari norma sosial-budaya yang diakui dalam budaya secara umum. 

Dengan kata lain, terdapat deviasi atau penyimpangan (para) dalam ketertarikan seseorang (filia). Fantasi, dorongan, atau perilaku seksual yang menyimpang harus berlangsung setidaknya selama 6 bulan dan menyebabkan perasaan tertekan secara negatif (distress) atau hendaya yang signifikan sebelum dinyatakan sebagai diagnosa gangguan mental.

Gangguan Eksibisionistik ini biasanya mulai tampak sejak usia remaja setelah pubertas. Dorongan untuk memamerkan alat kelaminnya sangat kuat dan hampir tidak dapat dikendalikan oleh pada penderitanya, terutama ketika mereka mengalami kecemasan dan gairah seksual.

Pada saat memamerkan alat kelaminnya, individu dengan gangguan penyimpangan seksual Eksibisionistik (atau eksibisionis) tidak lagi mempedulikan konsekuensi sosial dan hukum dari tindakannya. 

Eksibisionis sebenarnya mengalami perasaan tertekan atau distress atas gangguannya tersebut, dan hal ini bukan hanya berasal dari perasaan tertekan karena melakukan pelanggaran norma sosial-budaya, tapi juga bisa frustasi karena kehilangan kendali atas dirinya sendiri.

Kriteria Gangguan Eksibisionistik dalam DSM V adalah:

1.Berulang, intens, dan terjadi selama 6 bulan, fantasi, dorongan, perilaku yang menimbulkan gairah seksual yang berkaitan dengan memamerkan alat kelamin kepada orang lain yang tidak dikenalnya yang tidak menduganya

2.Orang yang bersangkutan bertindak berdasarkan dorongan tersebut, atau dorongan dan fantasi menyebabkan orang tersebut sangat menderita atau mengalami masalah interpersonal

Apa penyebab Gangguan Eksibisionistik?

Etiologi atau penyebab gangguan eksibisionistik sebagai bagian dari sindrom Parafilia bisa dilihat dari berbagai perspektif, yakni :

1. Perspektif Psikodinamika

Parafilia dipandang sebagai tindakan defensif, melindungi ego agar tidak menghadapi rasa takut dan memori yang direpresi (ditekan ke ketidaksadaran) dan mencerminkan fiksasi di tahap pra-genital di masa kanak-kanak (detail cek tahapan perkembangan psikoseksual). 

Orang yang mengidap parafilia dipandang sebagai orang yang tidak mampu membangun atau mempertahankan hubungan heteroseksual yang wajar.

Contohnya: orang dengan gangguan eksibisionitik akan lebih memilih menampilkan organ kelamin pada orang asing daripada menjalin relasi intim dengan lawan jenisnya yang seumur, karena ia takut (merasa tidak mampu) berhubungan dengan orang lain.

2. Perspektif Behavioral dan Kognitif

Dari perspektif ini, Parafilia disebabkan karena proses belajar, yaitu melalui pengkondisian yang secara tidak sengaja menghubungkan gairah seksual dengan stimuli yang oleh masyarakat dianggap sebagai stimuli yang tidak tepat untuk munculnya suatu perilaku seksual. 

Namun sebagian besar teori behavioral dan kognitif saat ini memandang parafilia dipengaruhi oleh multifaktor, baik dari dalam individu maupun faktor lingkungan.

Salah satu pengaruh lingkungan adalah riwayat masa kanak-kanak individu yang mengidap parafilia sebagai korban pelecehan seksual dan pelecehan fisik. Pada masa dewasa, ia akan memiliki kemungkinan yang lebih tinggi menjadi seorang pelaku penyimpangan seksual.

Penyimpangan kogntif dalam diri individu juga berperan dalam parafilia. Tabel 1 mengilustrasikan contoh-contoh distorsi kognitif yang sering dimiliki oleh pelaku parafilia. 

Distorsi kognitif seperti itu akan menyebabkan pelaku mencari pembenaran perilaku penyimpangan seksualnya, hingga akhirnya perilaku penyimpangan bisa terus terjadi. Dalam terapi kognitif, distorsi kognitif inilah yang harus dikoreksi oleh Psikoterapis.

Sumber: Catatan pribadi Margaretha
Sumber: Catatan pribadi Margaretha

3. Perspektif Biologis

Sebagian besar pengidap parafilia adalah laki-laki. Jadi, ada spekulasi bahwa androgen, hormon utama yang dimiliki laki-laki berperan dalam gangguan ini. Hal ini yang menjadi dasar pentingnya bantuan obat-obatan untuk menolong orang dengan Parafilia. Hingga saat ini, penelitian masih terus dilakukan untuk memetakan hubungan antara kondisi hormonal dan gangguan eksibisionistik. 

Terkait dengan perkembangan dalam otak, disfungsi pada bagian lobus temporalis diketahui dapat mempengaruhi secara signifikan atas munculnya perilaku seks menyimpang, terutama kasus sadisme dan eksibisionisme. 

Meskipun demikian, pengaruh faktor biologis ini hanyalah salah satu dari kompleksitas penyebab eksibisionisme. Penting bagi kita untuk memahami per kasus, tentang bagaimana faktor biologis teraktualisasi karena adanya faktor-faktor psikologis lainnya.

Apa intervensinya?

Walaupun secara umum, prognosis (prediksi perkembangan gangguan) pada kasus penyimpangan seksual cenderung negatif atau dengan kata lain, sangat sulit untuk mencapai kesembuhan total/menghilangkan semua gangguan dan penyimpangan. 

Namun ada beberapa usaha untuk mencegah kambuhnya perilaku penyimpangan seksual, terutama dalam rangka mencegah timbulnya korban atau penderitaan baik pada individu maupun orang lain (pengelolaan masalah).

Komponen yang paling utama dibidik dalam program intervensi penyimpangan seksual adalah faktor kognitif. Program tersebut antara lain teknik-teknik kognitif yang bertujuan meluruskan distorsi keyakinan dan mengubah sikap yang tidak benar terhadap perempuan (contohnya merubah distorsi yang ada di tabel 1). 

Berbagai upaya pengembangan keterampilan diri (intrapersonal - interpersonal) juga bisa dilakukan, contohnya: meningkatkan empati mereka terhadap korbannya, manajemen kemarahan, kemampuan penyelesaian masalah, serta berbagai teknik untuk meningkatkan harga diri dan upaya untuk mengurangi penyalahgunaan zat.

Mereka juga dapat diajak untuk belajar keterampilan sosial, terutama dalam menjalin relasi sosial dan relasi intim dengan lawan jenis secara sehat.

Kegagalan menyelesaikan persoalan pribadi dan lemahnya kendali seksualitas biasanya adalah penyebab munculnya desakan dalam dirinya untuk menampilkan alat kelaminnya ke orang lain (cara penyelesaian masalah yang salah).

Dalam psikoterapi, individu diajak memahami bagaimana emosi, pikiran dan distorsi kognitifnya dapat mengakibatkannya melakukan perilaku seks menyimpang. Lalu, mereka diajak berpikir bagaimana menghentikan proses yang menyimpang tersebut. Dalam psikoterapi individual, mereka juga dapat diajarkan untuk mematahkan distorsi kognitif yang selama ini mereka gunakan sebagai pembenaran perilaku penyimpangan mereka.

Teknik Rekondisi Orgasmik (orgasmic reconditioning technique), juga dapat diperkenalkan. Dimana individu dengan gangguan eksibisionistik diajak untuk menggantikan fantasi seksual eksibisionisme mereka dengan fantasi seksual yang lebih sehat dan diterima/sesuai secara normatif.

Terapi bisa dilakukan secara individual ata kelompok. Dalam psikoterapi individual, individu dengan Gangguan Eksibisionistik perlu dilatih dan diperkuat kemampuan pengelolaan stress (coping stress) dan kemampuan mengelola hasrat seksualnya. 

Terapi kelompok atau dukungan kelompok sosial juga dapat dilakukan agar individu dengan Gangguan Eksibisionistik merasa tidak sendiri dalam menghadapi gangguannya. Mirip dengan langkah-langkah dalam Alcoholic Anonymous (AA), individu dengan eksibisionistik akan didampingi oleh mereka yang telah berhasil keluar/melampaui gangguan eksibisionistik, harapannya agar mereka bisa menolong penderita keluar dari persoalannya.

Namun, perlu dipahami bahwa orang dengan Gangguan Eksibisionistik bisa mengalami gangguan lainnya (comorbid), misalkan: gangguan kompulsi seksual (hyper-sexuality), gangguan mood (depresi, ide bunuh diri), gangguan kepribadian (narsisisme, antisosial, histrionik), dan gangguan penyalahgunaan zat. Maka, proses intervensinya harus memperhatikan apa saja persoalan yang dialami dan apa persoalan utamanya yang harus ditarget utama/awal.

Terapi psikologis juga dapat dikombinasikan dengan intervensi biologis agar cukup dapat menurunkan tingkat dan frekuensi kambuhnya penyimpangan gangguan eksibisionistik.

1. Pengobatan dengan hormonal: Obat Antiandrogenic, seperti: medroxyprogesterone dapat mengontrol dorongan-dorongan seksual yang tadinya tidak terkontrol menjadi lebih terkontrol. Arah keinginan seksual tidak diubah, tapi hasrat seksual dikurangi secara signifikan. Diberikan per-oral.

2. Pengobatan dengan neuroleptik, regulasi serotonin digunakan untuk menghambat perilaku seksual.

* Phenothizine: Memperkecil dorongan seksual dan mengurangi kecemasan. Diberikan secara oral.

* Fluphenazine enanthate: Preparat modifikasi Phenothiazine. Dapat mengurangi dorongan seksual lebih dari dua-pertiga kasus dan efeknya sangat cepat.

3. Pengobatan dengan obat penenang (transquilizer): Diazepam dan Lorazepam berguna untuk mengurangi gejala-gejala kecemasan dan rasa takut yang menyertai gangguan parafilia.

Perlu dipahami bahwa pemberian bantuan regulasi seksualitas dengan obat-obatan akan diberikan secara hati-hati. Karena, jika kurang berhati-hati dalam pemberian dosis dapat menghambat fungsi seksual secara menyeluruh. Pada umumnya obat-obat neuroleptik dan transquilizer berguna sebagai terapi tambahan untuk pendekatan psikologis terkait dengan kecemasan yang juga dialami.

Simpulan

Ketika perilaku eksibisionisme mulai mengganggu hidup sehari-hari seseorang dan menimbulkan hendaya serta distress, maka hal ini mulai dilihat sebagai gangguan kesehatan mental, yaitu Gangguan Penyimpangan Seksual Eksibisionistik. Artinya, mereka akan membutuhkan bantuan psikologis profesional.

Berbagai pendekatan psikoterapi pada Gangguan Eksibisionistik mesti dilakukan dengan pendekatan yang bijak. Dimulai dengan sikap menerima dengan tenang keluhan orang dengan Gangguan Eksibisionistik. 

Psikoterapi perlu menciptakan suasana dimana pelaku eksibisionisme dapat menumpahkan semua masalahnya tanpa ditutup-tutupi. Inilah tujuan awal psikoterapi pada orang dengan gangguan eksibisionisme, karena pada mereka yang datang meminta bantuan biasanya memiliki kecemasan.

Akan tetapi, di Indonesia, data tentang Gangguan Eksibisionistik masih sangat jarang dan kurang dipahami. Masih sedikit bantuan dan aksesibilitas layanan yang bisa kita berikan bagi orang yang mengalami gangguan ini. Akibatnya, jarang eksibisionis yang datang secara mandiri ke tenaga kesehatan mental profesional untuk meminta bantuan dan layanan klinis. Yang lebih mungkin terjadi, ketika eksibisionis harus berhadapan dengan hukum karena telah melanggar hukum kesusilaan, baru mereka mengakses layanan psikologis.

Masih dibutuhkan banyak kajian dan riset kesehatan mental tentang Gangguan Eksibisionistik di Indonesia, agar kita bisa lebih memahami, mengelola bahkan mencegah gangguan ini di masyarakat kita.

Penulis

Margaretha

Pengajar Psikologi di Universitas Airlangga, Surabaya.

Tulisan ini adalah update dari tulisan yang pernah dipublikasi di www.psikologiforensik.com yang dikelola pribadi oleh penulis.

Referensi

American Psychiatric Association (2000). Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder IV-Text-Revision. Washington: APA.

American Psychiatric Association (2013). Diagnostic and Statistic Manual of Mental Disorder V. Washington: APA.

Davidson, G.C., Neale, J.M., & Kring, A.M. (2010). Psikologi Abnormal, edisi 9. Jakarta: Rajawali Pers.

PPDGJ III. Jakarta: Departemen Kesehatan RI

Affirmotive Sex Addiction Australia. Exhibitionism is often misunderstood: The truth behind the disorder. Diakses Oktober 2021 dari sini

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Healthy Selengkapnya
Lihat Healthy Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun