Mohon tunggu...
Mardiana
Mardiana Mohon Tunggu... Dosen - Dosen Universitas Riau

Peneliti Sosial Ekonomi

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Anggaran Responsif Gender dan Transfer Anggaran Ekoolgis

3 Juli 2023   20:18 Diperbarui: 3 Juli 2023   20:32 176
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilmu Sosbud dan Agama. Sumber ilustrasi: PEXELS

ANGGARAN RESPONSIF GENDER DAN TRANSFER ANGGARAN EKOLOGIS

Pendahuluan

Konferensi Beijing telah mendeklarasikan bahwa pemerintah berkewajiban untuk mempromosikan kesetaraan, pembangunan dan perdamaian bagi semua perempuan dimanapun untuk kepentingan kemanusiaan. Salah satu upaya mewujudkan komitmen tersebut adalah program pengarusutamaan gender. Di Indonesia, komitmen pengarusutamaan gender tertuang dalam Instruksi Presiden No. 9 Tahun 2000 tentang Pengarusutamaan Gender (PUG). 

PUG adalah strategi untuk memasukkan isu dan pengalaman perempuan dan laki-laki ke dalam dimensi integral dalam perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi kebijakan dan program di setiap bidang pembangunan, sehingga perempuan dan laki-laki mendapatkan manfaat yang sama. Konsekuensi dari strategi ini adalah tuntutan penganggaran yang lebih responsif gender atau penganggaran yang peka gender. Anggaran atau fiskal berbasis gender sangat cocok dengan sifat lintas sektoral dari program pemerintah yang berupaya mencapai perubahan ekonomi dan sosial yang diperlukan untuk memenuhi

Tujuan Pembangunan Berkelanjutan (SDGs) dan pertumbuhan ekonomi hijau atau ramah iklim.

Alokasi anggaran pemerintah adalah elemen penting untuk menelusuri implementasi suatu trasnfer fiskal ekologis. Anggaran menentukan program yang harus bertambah, berkurang, perlu dihilangkan, perlu dikembangkan, bahkan perlu diperluas jangkauannya. Tinjauan terhadap mata anggaran dan membandingkan dengan mata anggaran lain yang serumpun dalam kebijakan ekologis, dalam hal ini perlindungan ekologi, dapat membantu proses advokasi atau intervensi kebijakan agar tepat sasaran.

Anggaran merupakan instrumen negara yang sangat penting, dan mencerminkan prioritas kebijakan negara, baik di bidang ekonomi, ekologi maupun sosial. Anggaran dapat menjadi tolok ukur komitmen pemerintah dalam isu tertentu. Dengan demikian, negara yang berkomitmen terhadap kesetaraan gender cenderung menunjukkan komitmen tersebut dalam bentuk anggaran yang sensitif gender. Anggaran negara tidaklah netral gender. Anggaran memiliki dampak yang berbeda terhadap laki-laki dan perempuan, dapat mencerminkan pembagian kekuasaan dalam masyarakat, serta kesenjangan sosial ekonomi (UN Women 2018).

Pengelolaan keuangan yang berorientasi keadilan gender merupakan bentuk reformasi pemerintah untuk meningkatkan alokasi sumber daya secara lebih efektif untuk mencapai kesejahteraan. Anggaran adalah perincian terstruktur dari semua kegiatan organisasi untuk periode tertentu. Anggaran dibutuhkan oleh semua jenis lembaga, baik lembaga bisnis yang fokus mencari keuntungan maupun perusahaan nirlaba (Wigati & Setiawan, 2019). Penganggaran akan mengikuti visi, misi dan kebutuhan lembaga. 

Dengan penganggaran yang baik, suatu organisasi dapat mengelola keuangan, memperkirakan pendapatan, dan membantu pengambilan keputusan organisasi (Wigati & Setiawan, 2019). Penganggaran dengan visi yang jelas dapat menghasilkan rincian anggaran yang sebaik dan sedetail mungkin. Selain itu, jika anggaran dialokasikan dengan baik, maka dapat memberikan dampak positif yang mendukung tercapainya tujuan organisasi.

Kajian Relevan

Kajian Liufeto (2019) mendeskripsikan alokasi anggaran yang responsif gender pada dinas pendidikan, dinas kesehatan, dan dinas Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak tahun anggaran 2017-2019 dimana hasil analisis menunjukkan bahwa Pemerintah belum menunjukkan komitmen untuk mengurangi ketidaksetaraan gender. 

Setyawan et al (2018) menggambarkan bahwa kurangnya pemahaman Organisasi Perangkat Daerah (OPD) tentang Gender Analysis Pathway (GAP) dan Gender Budget Statement (GBS) instrumen dan kegagalan kelompok kerja PUG di tingkat pemerintah daerah dan focal point di tingkat Satuan Kerja Perangkat Daerah (SKPD). Astuti (2016) menggambarkan bahwa pemerintah telah mengalokasikan anggaran berdimensi gender sesuai dengan parameter Cedaw dan MDGs. 

Namun, besaran anggaran yang dialokasikan belum mencerminkan transformasi komitmen gender menjadi komitmen anggaran. Hal ini ditunjukkan dengan turunnya alokasi anggaran untuk program-program yang sebenarnya sangat penting untuk mewujudkan pemerataan.

Indeks kesetaraan gender dirilis oleh United Nations Development Agency (UNDP), dimana Indonesia berada di peringkat 103 dari 162 negara atau terendah ketiga di ASEAN. Artinya, kondisi realita di lapangan saat ini menunjukkan bahwa gender perempuan masih tertinggal dari laki-laki dalam bidang pendidikan, kesehatan, politik, dan ekonomi.

Kesetaraan gender perlu diterapkan, termasuk dalam pengelolaan keuangan. Gender dalam pengelolaan keuangan bukanlah sesuatu yang berada di luar perencanaan dan penganggaran pembangunan, melainkan sebagai informasi tambahan dalam anggaran pemerintah agar lebih baik dan merata (Koesriwulandari, 2019). Oleh karena itu, di Indonesia, Kementerian Keuangan perlu mengadvokasi pengintegrasian anggaran responsif gender dalam reformasi pengelolaan keuangan daerah (Gainau, 2020).

Transfer fiskal/anggaran ekologis (TAE) adalah instrumen ekonomi yang digunakan untuk mengkompensasi biaya peluang yang terkait dengan pembatasan penggunaan lahan untuk konservasi keanekaragaman hayati, perlindungan daerah aliran sungai, dan tempat pembuangan sampah, serta untuk mempromosikan penciptaan kawasan lindung kota baru dan program yang terkait dengan limbah padat. pengelolaan.

Di antara instrumen ekonomi yang tersedia untuk konservasi keanekaragaman hayati, transfer fiskal ekologis dan pembayaran jasa lingkungan (PJL) menggunakan pembayaran sebagai insentif untuk melindungi lingkungan (Ring dan Barton, 2015). 

TAE memberikan insentif keuangan dan kompensasi kepada pemerintah daerah yang terkena dampak pembatasan penggunaan lahan yang disebabkan oleh menjadi tuan rumah kawasan lindung, sementara PJL memberikan insentif keuangan kepada pengguna sumber daya swasta untuk melindungi lingkungan.

Lebih tepatnya, PJL "dapat berupa pembayaran berbasis pasar atau yang dibiayai oleh pemerintah yang dilakukan sebagian besar kepada pengguna lahan dan, dengan demikian, pelaku swasta di tingkat properti" (Ring dan Barton, 2015), dan TAE " mewakili transfer publik antara berbagai tingkat pemerintahan, mengkompensasi pemerintah negara bagian atau lokal untuk biaya konservasi pada tingkat desentralisasi" (Ring dan Barton, 2015).

Jadi, ketika kawasan lindung dibuat, TAE lebih disukai untuk mengkompensasi pemerintah yang terdesentralisasi karena pembatasan penggunaan lahan dan memberi insentif kepada mereka untuk menciptakan lebih banyak kawasan lindung. Sampai saat ini, TAE digunakan di Brazil (Ring, 2008), Portugal (Santos et al., 2012), dan dalam skala kecil, Perancis (Borie et al., 2014).

Pentingnya TAE terhadap lingkungan juga dirujuk oleh OECD (2013). Ini menyatakan TAE sebagai contoh penting dari reformasi fiskal lingkungan, dan karena Brasil adalah negara pertama yang mengadopsi skema tersebut dan setiap negara bagian dapat memilih kriteria yang berbeda, ini memungkinkan seseorang untuk memeriksa pola yang menarik sehingga dapat memahami TAE dan konsekuensinya. untuk kebijakan penggunaan lahan. 

Di Brasil, negara bagian pertama yang memberlakukan skema TAE adalah Paran pada awal 1990-an (Ring, 2008) dan tujuan utama memperkenalkan TAE di negara bagian itu adalah untuk memberi kompensasi kepada kabupaten miskin yang menjadi tuan rumah kawasan lindung negara bagian dan federal (Loureiro, 2002 ). 

Kelompok kabupaten menghadapi beberapa pembatasan penggunaan lahan (Loureiro, 2002, Grieg-Gran, 2001). Ide awal TAE adalah untuk memberi kompensasi kepada pemerintah daerah yang menjadi tuan rumah kawasan lindung di wilayah mereka. Seiring berjalannya waktu, ide ini juga berkembang sehingga mendorong pemerintah daerah untuk membuat lebih banyak kawasan lindung (Loureiro, 2002).

Tiga alasan berbeda untuk adopsi TAE (Ring dan Barton, 2015). Pertama, sebagian besar negara mengadopsi prinsip subsidiaritas terhadap kebijakan lingkungan, di mana pemerintah kota menanggung biaya konservasi keanekaragaman hayati. Dalam hal ini, peran TAE  adalah untuk mengkompensasi pengeluaran pemerintah daerah.

Kasus Di Kabupaten Siak

Kebakaran hutan merupakan masalah ekologi di Indonesia kematian lebih dari 100.000 orang di Indonesia, Malaysia, dan Singapura akibat paparan asap pada tahun 2015 (Bank Dunia, 2016). Glauber dan Gunawan (2016) menjelaskan kebakaran hutan dan lahan tahun 2015 di Indonesia menyebabkan kerugian ekonomi sebesar US$16,1 miliar. Pada saat yang sama, kebakaran hutan juga berdampak negatif bagi pendidikan masyarakat khususnya di Sumatera, Kalimantan, dan Papua (Purnomo et al, 2017).

Perhatian dapat diarahkan kepada Pemda Siak yang sedang berusaha mendistribusikan porsi transfer fiskal berdasarkan indikator ekologis dalam anggaran daerah (Anggaran Pendapatan Belanja Daerah/APBD). Langkah ini sejalan dengan agenda pencegahan kebakaran hutan. Hal ini didasarkan pada praktek umum di banyak negara, dimana program untuk menjaga hutan dilakukan melalui mekanisme pembiayaan khusus atau yang lebih dikenal dengan National Forest Funds (NFF).

Matta (2015) menunjukkan bahwa beberapa negara telah mengalokasikan anggaran prioritas untuk sektor kehutanan seperti Amerika Serikat melalui Knutson-Vandenberg Fund pada tahun 1930 dan Spanyol melalui Patrimonio Forestal del Estado pada tahun 1939. Langkah ini meluas di banyak negara seperti Afrika, Asia, Pasifik, dan Eropa (Rosenbaum & Lindsay, 2001). Namun, upaya pemerintah Indonesia untuk mengatasi kebakaran hutan masih terbatas melalui skema NFF.

Salah satu masalah utama pemerintah daerah untuk mengatasi kebakaran hutan karena kurangnya kemampuan pemerintah (Meiwanda, 2016), dan terjadinya alienasi kebijakan anggaran (Kabullah et al, 2020). Studi lain mengeksplorasi keberhasilan pencegahan kebakaran hutan melalui jaringan aktor (Purnomo et al, 2017), efektivitas kelembagaan (Putra et al, 2019), dan tata kelola kolaboratif (Wicaksono, 2019). Terlepas dari kekayaan penelitian ini, pembahasan terkait transfer fiskal ekologis oleh pemerintah daerah masih terbatas.

Relatif sedikit penelitian yang mempertimbangkan kebijakan transfer ekologis di Indonesia sebagai subjek penelitian. Kajian Haryanto (2015) menemukan bahwa transfer ekologi dapat beradaptasi dengan daerah dari Dana Alokasi Umum dengan memasukkan bentuk indikator ekologi penutupan hutan yang komprehensif. Studi lain oleh (Mumbunan et al, 2012) berpendapat bahwa kebijakan transfer ekologi sangat penting untuk misi pelestarian lingkungan karena misi tersebut membutuhkan dana besar dari pemerintah. 

Meskipun kemungkinan kebijakan transfer ekologis telah sering dibahas oleh para ahli, hanya empat daerah di Indonesia yang mengadopsi mekanisme pembiayaan khusus untuk mengatasi masalah kebakaran hutan dalam kebijakan anggaran daerah dan salah satu daerah tersebut adalah Siak.

Pemerintah Kabupaten Siak pada tahun 2021 berinisiatif untuk merumuskan kebijakan penganggaran yang lebih pro lingkungan yang disebut kebijakan transfer ekologis (Transfer Anggaran Kabupaten berbasis Ekologi/ TAKE).

Singkatnya, kebijakan transfer ekologi adalah skema pendanaan pemerintah daerah dengan menjalankan indikator ekologi dalam pembagian fiskal dengan pemerintah desa (kampung). Di Kabupaten Siak, kebijakan transfer ekologi dilakukan melalui reformulasi skema transfer fiskal dari tiga variabel yaitu alokasi dasar, proporsional, dan sakinah menjadi empat variabel alokasi dasar, proporsional, sakinah, dan kinerja desa. Dimasukkannya kinerja desa sebagai dasar penetapan besaran Alokasi Dana Desa di Kabupaten Siak membuat setiap desa harus memenuhi tujuan yang tercantum dalam Indeks Desa Hijau.

Komitmen pemerintah daerah Siak untuk mengatasi masalah ekologi telah terlihat pada tahun 2016 dengan mencanangkan Kabupaten Siak sebagai Kabupaten Hijau (Siak Hijau). Visi tersebut diakomodir dalam Perda Nomor 12 Tahun 2016 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) Siak. Dalam peraturan tersebut, salah satu misinya adalah pembangunan infrastruktur yang berwawasan lingkungan termasuk pencegahan kebakaran hutan.

Siak Hijau didukung oleh 11 dinas di lingkungan Pemda Siak seperti Dinas Pemberdayaan Masyarakat Kampung, Dinas Lingkungan Hidup ) dan Badan Penanggulangan Bencana Daerah (Badan Penanggulangan Bencana Daerah). Kolaborasi 11 lembaga ini membuka peluang percepatan pencegahan kebakaran hutan. Hal ini terlihat dari peningkatan jumlah anggaran Siak Hijau pada 11 instansi dari tahun 2017 hingga tahun 2019. Anggaran Siak Hijau terus meningkat dari Rp. 35,5 miliar pada tahun 2017 menjadi Rp. 41,5 miliar pada tahun 2018, dan sebesar Rp. 59,6 miliar pada tahun 2019.

Artinya, proporsi anggaran Siak Hijau berkisar antara 11 hingga 17 persen dari total belanja 11 instansi. Namun besaran anggaran Siak Hijau masih belum cukup jika dibandingkan dengan indikator kinerja yang harus dicapai. Sedangkan dalam Keputusan Bupati Nomor 650 Tahun 2019 tentang Peta Jalan Siak Hijau, terdapat tiga tujuan, lima sasaran, empat belas indikator dan empat puluh satu program. Dengan gambaran tersebut, visi Siak Hijau tidak cukup untuk memastikan keberhasilan penanggulangan kebakaran hutan di Siak.

Pemerintah Kabupaten Siak telah merumuskan kebijakan transfer ekologis. Kebijakan tersebut diluncurkan sejak 2021 dan berisi misi untuk memastikan program kebakaran hutan di Siak. Kebijakan ini juga bertujuan sebagai strategi peningkatan kualitas lingkungan dengan mengintegrasikan kebijakan pembangunan daerah di bidang pengelolaan sumber daya alam, peningkatan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat. Penetapan pencegahan kebakaran hutan sebagai agenda prioritas merupakan langkah tepat mengingat kemampuan fiskal Pemkab Siak sangat terbatas. 

Menariknya, ada perhatian besar dari elit politik dan aktivis Organisasi Masyarakat Sipil (CSO) dengan kebijakan transfer ekologi.

Di Siak, keterlibatan elite politik dan aktivis CSO dalam memprakarsai kebijakan transfer ekologi sangat kuat. Siak Hijau dan kebijakan transfer ekologi dapat diartikan sebagai kampanye politik yang efektif untuk meraih simpati publik. Dalam konteks elektoral, citra politik sangat penting untuk menjembatani pikiran pemilih dengan popularitas kandidat (Tapsell 2015).

Pada saat yang sama, beberapa aktivis CSO termotivasi untuk mendorong kebijakan transfer ekologi. Aktivis CSO cenderung mengawal kebijakan transfer ekologi karena mereka akan mendapatkan insentif untuk berpartisipasi. Misalnya, Winrock, sebagai salah satu CSO internasional terkemuka, telah terlibat dalam kebijakan transfer ekologis.

Di kabupaten Siak ada suatu kebijakan yang disebut Kabupaten Siak Kabupaten Hijau dimana pendekatan pelaksanaanya melalui gotong royong multipihak termasuk yang di harapkan adalah adanya partisipasi dari kaum Wanita.  Wanita dalam proses pembanguan di harapkan ikut berpartisipasi dimana data BPS menunjukkan bahwa pada tahun 2022 ada 12,72 % kepala rumah tangga berjenis kelamin perempuan menurun jika di bandinggkan tahun sebelumnya yaitu 14,38%.  Kaum perempuan merupakan potensi sumberdaya manusia yang sama dengan laki-laki, walaupun di Indonesia secara umum menunjukkan lebih dominan partisipasi laki-laki daripada kaum perempuan. Lahirnya kebijakan Siak Hijau memunculkan kebijakan TAKE (tranfer anggaran berbasis ekologi) dengan tujuan mewujudkan pembanguan berwawasan lingkungan.

Skema kebijakan TAKE diharapkan dapat memperkuat kolaborasi antara Pemda dan Kampung untuk mewujudkan Siak Hijau.  Pemda Siak diharapkan dapat mendorong peran serta  pemerintah dan masyarakat kampung dengan kewenangannya dan peran pemerintahan kampung di harapkan mendukung Siak Hijau melalui: (1) kebijakan kampung untuk perlindungan lingkungan dan ekonomi masyarakat kampung, (2) program dan kegiatan berbasis kampung, (3) memunculkan inovasi-inovasi kampung, dan (4) Lahirnya lembaga-lembaga di tingkat kampung

Pemda Siak telah menggelontorkan insentif kinerja untuk program TAKE sebagai stimulus mendorong kinerja kampung tahun 2022 sebesar 3% dari ADK yaitu sebesar Rp. 3.408.000.000 yang diberikan pada 48 kampung dengan  insentif  yang berbeda tergantung kondisi kampung, insentif tertinggi Rp.310,9 juta dan terendah Rp. 87,8 juta.  Alokasi anggaran ini di harapkan dapat digunakan untuk membiayai program/kegiatan yang berkontribusi terhadap peningkatan ekonomi dan penurunan kemiskinan yang sejalan dengan pelestarian lingkungan.

Padahal S menunjukkan organisasinya memiliki minat yang besar untuk berpartisipasi karena mendapatkan keuntungan dari bantuan luar negeri. Menariknya, beberapa aktivis dari CSO lain mungkin terlibat pada tahapan yang berbeda dari kebijakan transfer ekologis seperti Fitra Riau dalam advokasi anggaran. Dengan demikian, kolaborasi CSO telah dipahami sebagai elemen sentral untuk memastikan masalah kebakaran hutan diselesaikan dengan anggaran yang cukup oleh pemerintah daerah Siak.

Meskipun kebijakan transfer ekologi dikaitkan dengan partisipasi inklusif antara elit lokal dan aktivis CSO, partisipasi perempuan masih lemah dalam kebijakan ini. Hal ini terlihat bahwa hanya dua perempuan yang dapat terlibat langsung dalam kebijakan transfer ekologis. Gustimar sukses jadi anggota DPRD karena dia hanya perempuan dari 40 anggota. Namun, kinerja Gustimar di DPRD masih belum berhasil melawan budaya patriarki di Kabupaten Siak. Ia juga tidak memiliki visi yang kuat terkait hak gender dalam kebijakan transfer ekologi di Siak.

Pemeran perempuan lainnya adalah Febriyeni sebagai sekretaris Dinas Pembangunan Masyarakat dan Desa. Meski sebagian besar pengalaman kerjanya berkecimpung dalam urusan desa, namun ia belum berkesempatan menduduki posisi kepala dinas. Artinya, ia menjadi minder karena tidak mendapat dukungan elite yang cenderung maskulin. Penelitian Suryakusuma (2011) dengan gamblang menggambarkan bagaimana rezim yang berkuasa berhasil meminggirkan peran perempuan dalam kehidupan politik. Jika sebagian perempuan berhasil duduk dalam struktur kekuasaan, hal itu tidak akan menjamin dirinya berdaya saing (Kabullah & Fajri, 2021).

Penutup

Tantangan perempuan dalam kebijakan transfer ekologi juga disebabkan oleh budaya patriarki yang tumbuh di masyarakat, termasuk dalam kehidupan politik. Hal ini biasa terjadi karena lemahnya perspektif gender dalam proses politik (Kittilson, 2019).

Perempuan didefinisikan sebagai pemeran pendukung dalam keluarga yang bertugas mengurus rumah tangga. Suryakusuma (2011) dengan gamblang menggambarkan bagaimana rezim yang berkuasa berhasil mendefinisikan peran perempuan hanya sebagai istri yang melayani keluarga dan ibu yang mengurus anak. Pada saat yang sama, perempuan tidak memiliki kesempatan untuk terlibat dalam agenda publik. Akibatnya, kebijakan transfer ekologi harus dievaluasi berdasarkan pandangan inklusi di masa depan.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun