Mengapa bisa terjadi demikian? sederhananya, cuma karena membenarkan yang biasa bukan membiasakan yang benar.
Membenarkan "parkir distu saja mas/mbak, gak apa-apa kok" atau "ada jukir, nanti kalau salah ya salahin jukirnya lah" akhirnya terbiasa dilakukan padahal salah.
Lantas apa yang harus dilakukan?
Pasal 28 ayat 2 UU Lalu Lintas dan Angkutan Jalan disebutkan setiap orang dilarang melakukan perbuatan yang mengakibatkan gangguan pada fungsi perlengkapan jalan.
Ancamannya pidana dan denda sampai Rp. 24 juta tapi ancaman tersebut kelihatannya tak berlaku di Jakal deh, buktinya sampai sekarang masih saja seperti itu, akibatnya hak pejalan kaki dirmpas, seolah-olah tak dipedulikan.
Jika mengaku hukum sebagai panglima, jadikan dia panglima jangan berakhir di meterai atau kesepakatan saja, karena tidak mendidik masyarakat dan membiasakan pola yang akan terus berlanjut.Â
Salah satu kota yang bisa dicontohi adalah Kota Surabaya, bagaimana trotoar jalanan utama bersih dari parkiran kendaraan. Jika melanggar, kendaraan diderek dan didenda Rp.500.000/hari jika kekendaraannya tidak diambil di pos penampungan kendaraan yang diderek.
Harapannya sih, Pemda Sleman bisa memperhatikan permasalahan ini, sehingga bisa ditertibkan dan dikembalikan hak pejalan kaki. Karena jika terjadi kecelakaan terhadap pejalan kaki, Pemda tidak menanggung biaya rumah sakit.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H