Sejurus kemudian, Guru Lab Bahasa Inggris, memasuki Ruang Tujuh. Niat beliau akan membagikan lembar pengumuman tentang pembagian raport. Tapi, ketika sepasang matanya melihat seonggok mahluk putih asyik ngerjain soal ujian di kursi guru, tergerak juga hatinya untuk bertanya.
“Kenapa?”tanya beliau sebelum bagiin kertas-kertas pengumuman.
“New Teacher!”jawab sang pengawas.
Dikata begitu, Yayan berdiri. Lalu membungkukkan badanya seraya ngucapin thank you, gak ubahnya pemeran utama film Jepang berjudul My Geisha. Anak-anak bengong, pun dengan beliau-beliau. Bengong semuanya.
Setelah usai melaksanakan tugasnya, itu guru meninggalkan Ruang Tujuh dengan seonggok kebengongan dalam pikirannya. Sementara itu, anak-anak kembali pada keasyikannya masing-masing. Tetapi teman, sang pengawas masih kesal terhadap Yayan yang duduk di kursi guru itu. Pasalnya, Yayan tetap saja ngadain kerja sama. Sang pengawaspun berdiiri di depannya untuk melihat drama antara Yayan dan Iyem yang asyik masyuk main bisik. Malah pakai kerling mata.
“Tengok! Di depan Ibu, dia masih berani!”
Ups, Yayan kaget. Dengan segera ia mengalihkan tatapannya ke arah luar. Lewat jendela berterali besi, dilihatnya orang-orang yang sedang nyebrang dengan ‘getek’, rakit. Maklum, beberapa hari lalu, jembatan Sei Bingai rusak akibat kendaraan yang melintas di atasnya melebihi batas bobot yang telah ditentukan dan juga dikarenakan umur jembatan yang emang udah uzur.
“Napa kau berani gitu, hah?”tanya beliau.
“Berani karena benar!”jawab Yayan kalem.
“Apanya yang benar?”
“Saya gak nyontek. Saya berbuat kebaikan.”
“Lha itu, kau main mata, dengan siapa ini?”
“Iyem, Bu!”Iyem berdiri lalu menjulurkan tangan kanannya, hendak bersalaman.
“Apa-apaan ini?”beliau belum ngerti maksud Iyem.
“Iyem, Bu!”
Baru ibu itu mengerti, Iyem mau berkenalan.Setelah salaman, Iyem duduk kembali.
“Main mata kan boleh, Bu. Lagi pula saya dengan Iyem adalah teman. Gak ada hal yang istimewa di antara kami. Sesama teman kan wajar. Yang gak wajar, jika iyem udah punya tunangan. Kalau gitu, gak bolehlah saya main mata dengannya!”
Iyem mendelik sewot denger ucapan Yayan.
“Tapi jangan di depan Ibu!”
“Oh, itu salah Ibu. Kenapa Ibu berada di depan kami!”
Sang pengawas itu, mengaku kalah. Wajahnya tampak murung.
Yayan yang melihatnya, pikirannya hanyut. Segera Yayan mengajukan permohonan maaf. Sang pengawas pun menerimanya dengan senang hati, haru dan rasa bangga. Bahkan beliau mengelus-elus kepala Yayan yang benjol. Dan idiiiiih, anak-anak lainnya pada ‘ange’, iri melihatnya. Merekapun maju serentak. Ingin dielus-elus seperti Yayan.
“Aduuuh, jangan acak-acakan gini. Antri, ya!”pinta beliau.
Anak-anak nurutin titahnya, ngebentuk antrian yang cukup panjang, layaknya antrian di tahun enam puluhan. Meski melelahkan, beliau melakoninya dengan senang hati. Layaknya seorang ibu mengelus anak kandungnya sendiri. Begitu juga dengan anak-anak. Mereka senang betul. Betul-betul senang.
Tampaknya, mereka udah lama merindukan hal tersebut untuk kembali terjadi pada diri mereka yang rata-rata berumur 17 tahun setelah untuk yang terakhir kalinya merasakan betapa nikmatnya dielus babeh dan enyak di kala usia mereka nginjak bangku sekolah. Ceritanya, mereka ingin bernostalgia.
Usai dielus, mereka kembali duduk bersama lembar soal dan lembar jawabannya lagi. Seperti sebelumnya, kerja sama tetap terjalin hingga bel tanda bubaran berteriak lantang.
*
Di luar kelas, anak-anak kelas Dua Biologi Dua membentuk barisan. Mau apa mereka? O, ternyata mereka mau merayakan kebebasan yang sifatnya sementara itu, dengan bermain kereta api.
Karbol yang anatomi tubuhnya mirip sekali dengan lokomotif, memimpin barisan tersebut. Karbol bisa pas sebagai pemeran lokomotif karena anak yang berat kotornya sekitar 82 kg itu, telah dididik di sekolah gajah Way Kambas, Lampung. Harap dimaklum, ketika dia keluar paksa dari genderang perut ibunya, Karbol dikira anak gajah karena gemuknya yang berlebih. Tetapi babehnya nyangkal. Anak itu gemuk karena keturunan dari genetik babehnya. Emaknya ngotot, babehnya ngalah. Karbolpun dibawa ke Way Kambas dengan maksud agar itu gajah, eh Karbol, gak jadi liar.
Melihat mereka berkereta api-ria, anak-anak kelas dua lainnya, mengikutinya. Bahkan anak-anak kelas satu, nekad juga masuk barisan. Padahal mereka belum ujian. Semula, para guru melarang keras anak-anak kelas satu untuk masuk dalam gerbong, tapi apa daya dari beliau-beliau. Tekad anak-anak itu gak kebendung siapapun.
“Bagaimana, Pak?”tanya wakasek kepada kepsek.
“Apanya yang bagaimana?”kepsek malah mengajukan pertanyaan.
“Itu, anak-anak kelas satu!”
“Biarlah. Merea ujian dalam gerbong kereta api aja. Dua puluh guru harus ngawasin. Ingat, jangan sampai ada yang nyontek!”.
“Siap....tapi Bapak mau ke mana?”wakasek kembali bertanya.
“Kenapa rupanya?”sekali lagi, kepsek ngajuin pertanyaan.
“Bajunya, kok dirapihin!”
“Ah, biasanya juga rapih begini!”kilah kepsek.
“Kali ini lain, Pak. Ada apa?”
“Aku juga mau ikutan berkereta api-ria....”
“Saya boleh ikut, Pak?”
“Boleh!”
“Bakal asyik punya, nich!”ucap wakasek girang.
Maka, demi yang termaktub dalam Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 untuk mencerdaskan kehidupan bangsa, para guru ngadain ujian jalanan yang merupakan ujian jalanan yang pertama kali diadakan di Indonesia atau mungkin di dunia. Hebat, kan?
Sekitar 720 siswa ditambah para guru, kereta api tersebut melewati Jalan Simpang. Abang becak yang mangkal di mulut jalan, gak mau ketinggalan. Mereka nekad ninggalin becaknya, bergabung dengan para siswa.