Mohon tunggu...
Maryana Ahmad
Maryana Ahmad Mohon Tunggu... profesional -

berawal di sukalaksana, cicaheum untuk kemudian berkelana di kota depok (1999-2002). selanjutnya bertugas di bandung (2002-2004), banyumas (2004-2006), padangsidimpuan (2006-2009), kota bekasi (2009-2013), kab. bogor (2013), dan sejak 2017 di jakarta.

Selanjutnya

Tutup

Humaniora

Balada di Ruang 7

13 Maret 2014   07:25 Diperbarui: 24 Juni 2015   00:59 77
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Humaniora. Sumber ilustrasi: PEXELS/San Fermin Pamplona

Sang guru pengawas datang beberapa menit kemudian.
“Buku-bukunya, simpan di depan ya!”titah beliau.

Anak-anak memenuhi titahnya agar gak didiskualifikasi dan jangan diragukan lagi bahwa emang udah dari dulu bahwa anak-anak kelas Dua Bilogi Dua adalah murid-murid yang penurut. Bukan somse.

Usai lembar soal dan jawaban dibagikan, anak-anakpun larut dalam keasyikannya masing-masing. Tapi, Yayan yang dari tadi lirik kanan kiri-depan belakang, rupanya mengundang sang pengawas untuk bertandang ke mejanya karena gerak-geriknya yang terlalu mencurigakan.
“Mana lembar jawaban kau?”tanya sang pengawas.
Yayan belum punya keberanian untuk menjawabnya.
“Mana?”desak beliau.
“Sama Roni, Bu.”

Sang Pengawas mengambil lembar jawaban itu anak. Wah, muka Yayan ngedadak angus. Seperti kebakar lilin. Merah. Merahnya “merah”. Gak sanggup untuk nanggung malu. Malu sekaliiiii...
“Kenapa kau kasih lembar jawaban padanya?”
Yayan diam.
Udah paten rupanya?”
Untuk pertanyaan itu, Yayan gak tinggal diam.
“Saya memang paten, Bu!”
“Jawab!”bentak beliau.
“Lho, yang itu bukan jawaban ya, Bu!”
“Pertanyaan pertama.”
“Ya, namanya juga kerja sama, Bu. Gak ada kesan kerja paksa di antara kami. Toh, hubungan diplomatik kami sangatlah erat. Sangat erat banget!”
“Kerja sama boleh-boleh aja karena juga pernah Ibu alami, tapi memberikan lembar jawaban? Gak bisa Ibu terima!”
“O, jadi kalau lembarsoal yang sudah diisi, kemudian diberikan pada yang lain, gak apa-apa ya, Bu?”Yayan bertanya.
Beliau gak ngasih jawaban.
“Dan biasanya juga begini, Bu!”lanjut Yayan.
“Kalau sama Ibu, lain!”
“Lain gimana, Bu?”tanya Odor.
“Tegas!”
“Contohnya, Bu?”Hendra ikut bertanya.
“Singa!”celetuk Suka.
Sang pengawas mendengus kesal. Beliau meninggalkan Yayan dengan wajahnya yang lagi berbengong-ria.
“Bagaimana, Joel?”tanya Yayan.
“Udah, kau minta maaf aja. Maaf, Bu. Saya mau pulang aja!”usul Joelis.
“Aku kan gak salah. Emangnya aku nyontek apa?”
Kok tanya sama aku?”Joelis balik nanya.
“Aku gak mau, Joel!”
“Ya, udah!”

Situasi dan kondisi menjadi sedikit hiruk pikuk. Keadaan jadi gak karuan di mana solidaritas anak-anak mulai bangkit karena gak terima nasib temannya yang lembar jawabannya diambil pengawas. Sang pengawas pun ngerti. Keputusannya?

“Mesti diapakan dia?”beliau minta pendapat anak-anak.
“Beri lembar jawaban baru, Bu!”usul Mister.
“Baik, tapi kau ngerjainnya di sini!”ucap beliau sambil nunjuk meja guru yang tergeletak tanpa daya di sudut ruang.

Mulanya Yayan nolak karena ia gak tega nengok sang pengawas yang gak duduk dan hanya berjalan nengkene nengkono. Terus, jika dilihat dari segi etika, jelas Yayan gak sopan. Duduk di kursi guru, sedang beliau ada di depan matanya, walaupun saat ini sebagai Pengawas. Padahal kalau gak ada guru, meja tersebut sering diduduki kursinya atau bahkan mejanya. Tetapi berkenaan adanya pemaksaan dari beliau, Yayan menerimanya dengan segala kelapangan di dadanya.

Kejadian di atas, gak lain tercetus, terlahir dan terbukti sebagai buah dari perjanjian yang telah mereka buat dan sepakati di hari pertama ujian. Anak-anak gak berani untuk melanggarnya. Gitu juga dengan Yayan. Jika dia bisa ngisi lembar jawaban, maka dengan segera ia mengamalkannya, walaupun belum semua jawaban ada di situ. Gak secuilpun di hatinya yang putih untuk menyembunyikannya.

Maka jangan heran kalau kerja sama dalam segala bentuknya, jadi pemandangan yang biasa terjadi selama ujian berlangsung di Ruang Tujuh. Entah di ruang lain. Moga aja kagak. Bentuknya dapat berupa saling ngasih lembar jawaban, lembar soal yang sudah diisi atau main lempar jawaban dalam secarik kertas. Paling sederhana adalah main mata dan kode alam.

Sekarang, Yayan tertimpa tangga.
Memang begitulah perjuangan. Penuh dengan yang namanya pengorbanan dan Yayan nyadar hingga ia menganggap, peristiwa yang dialaminya adalah wajar dan berlaku umum. Bukan suatu hal yang asing. Toh, hari ini ujian yang terakhir. Hari pamungkas.

Dan ternyata betul adanya apa kata pepatah. Lain parang lain belati. Lain orang lain hatinya. Artinya, sikap seorang guru yang begini akan lain dengan sikap seorang guru yang begitu. Betul, kan?
Walaupun duduk di kursi guru, hubungan diplomatik antara Yayan dengan teman-temannya tetap kejalin meski dengan ruang lingkup yang lebih terbatas. Lalu, apakah hubungan diplomatik takkan terjalin hanya karena tempat yang berjauhan? Tentu jawabnya kagak. Sebagai bukti, Hunter yang duduk di belakang masih bisa ngasih tahu Yayan. Ngagumin, bukan? Sekaligus ngejengkelin.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
  9. 9
  10. 10
  11. 11
  12. 12
  13. 13
Mohon tunggu...

Lihat Konten Humaniora Selengkapnya
Lihat Humaniora Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun