Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Analisis Pilihan

Usia "Golput" Jelang Setengah Abad, Masihkah Ditakuti?

1 Februari 2019   16:55 Diperbarui: 1 Februari 2019   17:11 15
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Secara sederhana " Golput " diartikan sebagai pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya .Ada 3 cara yang dapat dilakukan untuk itu,1). pada hari pencoblosan tidak datang ke Tempat Pemungutan Suara ( TPS),2). datang ke TPS ,masuk ke bilik suara ,mencoblos surat suara tetapi yang dicoblos adalah bahagian yang salah sehingga surat suara jadi batal. 

Misalnya seorang pemilih mencoblos lebih dari satu tanda gambar peserta pemilu dan 3). datang ke TPS ,masuk ke bilik suara tetapi surat suara tidak dicoblos dan dimasukkan ke kotak suara.

Di Indonesia ,istilah golput atau golongan putih mulai dikenal menjelang pemilu pertama dimasa Orde Baru yakni tahun 1971.

Kalau ditelisik ,para penggagas golput adalah tokoh tokoh mahasiswa yang ikut aktip dalam gerakan meruntuhkan kekuasaan orde lama .Dengan kata lain, para tokoh mahasiswa itu merupakan pendukung Suharto untuk meruntuhkan kekuasaan yang dipimpin Sukarno .

Diantara tokoh - tokoh tersebut ialah ,Arif Budiman ,Imam Waluyo,Julius Usman ,Husin Umar dan Marsilam Simanjuntak .

Sebagai pendukung berakhirnya kekuasaan Orde Lama dan yang menginginkan Suharto tampil sebagai pemimpin baru negeri ini ,mengapa para tokoh mahasiswa itu memperkenalkan serta mengajak masyarakat untuk Golput?

Seperti diketahui ,Suharto diangkat jadi Pejabat Presiden pada tahun 1967 dan kemudian oleh Majelis Permusyawaratan Rakyat Sementara ( MPRS) ,sosok pengemban Super Semar itu dikukuhkan sebagai Presiden pada 26 Maret tahun 1968 .

Pemimpin baru Indonesia itu menyadari, pengangkatannya sebagai Presiden belumlah terlalu kuat mengingat MPRS yang mengangkat dan memilihnya itu merupakan badan atau lembaga tertinggi negara bentukan Sukarno .

Seperti diketahui pada 5 Juli 1959 ,Sukarno memberlakukan Dekrit Presiden  yang salah satu isinya ialah membubarkan Konstituante dan juga membubarkan parlemen hasil pemilu 1955 .

Untuk memenuhi ketentuan UUD 1945 yang diberlakukan kembali menggantikan UUD Sementara 1950 ,Sukarno membentuk DPR GR dan MPRS .MPRS bentukan Sukarno inilah - dengan beberapa anggota yang diangkat penguasa Orde Baru  ,yang kemudian mengukuhkan Suharto sebagai Presiden RI.

Disisi lain sebagai penguasa baru ,Suharto ingin melaksanakan pemilihan umum ,sehingga nantinya hasil pemilihan umum lembaga legislatif itu memberi legitimasi yang kuat terhadap kepemimpinannya .

Untuk menghadapi pemilu yang dijadwalkan dilangsungkan Juli 1971 itu ,penguasa Orba menyadari harus ada Kenderaan politik yang akan digunakan .Sekretariat Bersama Golongan Karya ( Sekber Golkar ) sebuah himpunan berbagai organisasi yang didirikan pada 20 Oktober 1964 menjadi pilihan sebagai Kenderaan politik .Sejatinya Sekber Golkar bukanlah partai politik tetapi kemudian Sekber tersebut berfungsi sebagai parpol dan ikut serta sebagai organisasi peserta pemilu 1971.

Kemudian ditetapkan lah organisasi atau parpol peserta pemilu yakni  ,1). Partai Nasional Indonesia ( PNI),2).Partai Kristen Indonesia ( Parkindo),3 .Partai Katolik ,4) Partai Murba ,5) Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia ( IPKI) ,6) .Partai Nahdlatul Ulama ( NU) ,7). Partai Syarikat Islam Indonesia ( PSII),8). Pergerakan Tarbiyah Islamiyah ( Perti). 

Perlu dicatat kedelapan parpol ini sudah berkiprah dalam politik semasa Sukarno berkuasa .Selanjutnya peserta pemilu berikutnya yang semasa pemerintahan Sukarno belum eksis ialah Golkar( 9)  dan Partai Muslimin Indonesia atau Parmusi (10).

Dengan penetapan hanya kesepuluh parpol itulah yang diperkenankan ikut pemilu maka muncul jugalah kekecewaan ditengah - tengah masyarakat .

Sekurang - kurangnya ada 3 kelompok masyarakat yang kecewa dengan pembatasan tersebut yakni ,1). pendukung Partai Masyumi ,2). pendukung Partai Sosialis Indonesia ( PSI ) dan 3). kelompok lainnya yang menginginkan lahirnya parpol baru .

Masyumi adalah sebuah parpol Islam terkemuka dan pada Pemilu 1955, parpol ini mampu meraih posisi pemenang kedua  sesudah PNI .

Masyumi secara umum didefinisikan sebagai partai nya Islam Modernis. Tokoh - tokohnya umumnya berpendidikan sekolah umum semasa Hindia Belanda .Diantara tokoh - tokohnya yang terkemuka antara lain ,Mohammad Natsir ,Burhanuddin Harahap ,Syafruddin Prawiranegara ,Mohammad Roem ,Prawoto Mangkusasmito dan M.Yunan Nasution .

Sedangkan PSI adalah partai yang pada awal kemerdekaan punya pengaruh besar juga dengan tokoh - tokohnya antara lain ,Sutan Syahrir dan Soemitro Djojohadikusumo .

Tetapi pada tahun 1960  ,kedua parpol ini dibubarkan oleh Pemerintah karena beberapa tokoh partai dianggap terlibat dalam gerakan PRRI / Permesta .

Ketika Sukarno jatuh dan Suharto mulai berkuasa ,muncullah keinginan yang kuat dari tokoh - tokoh atau simpatisan  parpol itu untuk mendirikan atau untuk memunculkan kembali parpol yang telah dibubarkan itu .

Tetapi Pemerintah Orde Baru tidak mengijinkannya kecuali dengan sedikit perkecualian untuk pendukung Masyumi .

Pemerintah memberi ruang dan berdirilah Partai Muslimin Indonesia ( Parmusi ) dengan Ketua Umumnya Mr Mohamhad Roem ,seorang tokoh Masyumi yang berpengaruh .

Tetapi Pemerintah Orba tidak nyaman dengan terpilihnya tokoh yang dikenal melalui Perjanjian Roem- Royen itu .

Berbagai upaya dilakukan untuk mengganti tokoh Masyumi itu dan pada akhirnya berhasillah Roem diganti oleh Djarnawi Hadikoesoemo.

Berkaitan dengan hal tersebut  maka pendukung militan Masyumi merasa kecewa .

Begitu juga halnya simpatisan atau tokoh PSI juga tidak diberi ruang untuk mendirikan partai baru .

Sementara masyarakat ,diluar kelompok tersebut juga tidak memperoleh Ijin untuk membuat partai baru .

Dalam perspektif yang demikianlah ,pada masa itu banyak tokoh mahasiswa yang beranggapan ,tidak ada gunanya untuk ikut serta pada Pemilu 1971 karena menurut sebahagian dari mereka tidak ada parpol yang layak dipilih .Para tokoh mahasiswa juga mulai mengendus adanya keinginan yang kuat dari penguasa ,agar Golkar lah yang keluar sebagai pemenang pada pemilu itu .

Untuk " melawan" hegemoni pemerintah itu maka dicanangkanlah " Golput" yang pada esensinya mengajak masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya .

Berkaitan dengan sikap " perlawanan " yang demikian muncullah reaksi yang keras dari Pemerintah .Gerakan untuk mengajak masyarakat agar tidak menggunakan hak pilihnya dianggap sebagai upaya yang bertentangan dengan demokrasi .

Pada enam kali pemilu semasa Orba ,1971, 1977,1982, 1987, 1992 dan 1997 ,aktivitas mengajak masyarakat untuk Golput dianggap sebagai perbuatan tercela .

Hal ini juga didasari oleh frame yang dibangun Pemerintah ,semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat pada setiap pemilu maka perfomance demokrasi akan semakin baik .

Masalah Golput tidak hanya muncul dimasa Orba .Pada era Reformasi sekarang ini pembicaraan tentang Golput pun masih merupakan topik menarik untuk dibahas .

Diskursus tentang hal tersebut antara lain berkisar pada pertanyaan ,apabila seseorang tidak menggunakan hak pilihnya ,bisakah ia dipidana atau dihukum ? 

Undang Undang Pemilu Nomor 7 Tahun 2017 tidak menyatakan hal ini sebagai tindakan yang melanggar hukum .

Pasal 515 UU tersebut hanya menyatakan ," Setiap orang yang dengan sengaja pada saat pemungutan suara menjanjikan atau memberikan uang atau materi lainnya kepada pemilih supaya tidak menggunakan hak pilihnya dengan cara tertentu sehingga surat suaranya tidak sah ,dipidana dengan penjara pidana paling lama 3 ( tiga ) tahun dan denda paling banyak 36 juta rupiah " .

Berkaca kepada ketentuan ini maka yang dapat dipidana itu bukan pemilih yang tidak menggunakan hak pilihnya  ,tetapi orang lain yang mengajak itulah yang dapat dikenakan hukuman .

Sesungguhnyalah  untuk menggunakan hak pilih itu merupakan hak masing masing individu .Menggunakan hak pilih bukankah kewajiban .

Pada akhirnya kita layak bertanya ,sesudah jelang setengah abad  diperkenalkan di negeri ini ,masih takutkah kita kepada Golput? .

Salam Demokrasi !.

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
Mohon tunggu...

Lihat Konten Analisis Selengkapnya
Lihat Analisis Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun