Pemerintah memberi ruang dan berdirilah Partai Muslimin Indonesia ( Parmusi ) dengan Ketua Umumnya Mr Mohamhad Roem ,seorang tokoh Masyumi yang berpengaruh .
Tetapi Pemerintah Orba tidak nyaman dengan terpilihnya tokoh yang dikenal melalui Perjanjian Roem- Royen itu .
Berbagai upaya dilakukan untuk mengganti tokoh Masyumi itu dan pada akhirnya berhasillah Roem diganti oleh Djarnawi Hadikoesoemo.
Berkaitan dengan hal tersebut  maka pendukung militan Masyumi merasa kecewa .
Begitu juga halnya simpatisan atau tokoh PSI juga tidak diberi ruang untuk mendirikan partai baru .
Sementara masyarakat ,diluar kelompok tersebut juga tidak memperoleh Ijin untuk membuat partai baru .
Dalam perspektif yang demikianlah ,pada masa itu banyak tokoh mahasiswa yang beranggapan ,tidak ada gunanya untuk ikut serta pada Pemilu 1971 karena menurut sebahagian dari mereka tidak ada parpol yang layak dipilih .Para tokoh mahasiswa juga mulai mengendus adanya keinginan yang kuat dari penguasa ,agar Golkar lah yang keluar sebagai pemenang pada pemilu itu .
Untuk " melawan" hegemoni pemerintah itu maka dicanangkanlah " Golput" yang pada esensinya mengajak masyarakat untuk tidak menggunakan hak pilihnya .
Berkaitan dengan sikap " perlawanan " yang demikian muncullah reaksi yang keras dari Pemerintah .Gerakan untuk mengajak masyarakat agar tidak menggunakan hak pilihnya dianggap sebagai upaya yang bertentangan dengan demokrasi .
Pada enam kali pemilu semasa Orba ,1971, 1977,1982, 1987, 1992 dan 1997 ,aktivitas mengajak masyarakat untuk Golput dianggap sebagai perbuatan tercela .
Hal ini juga didasari oleh frame yang dibangun Pemerintah ,semakin tinggi tingkat partisipasi masyarakat pada setiap pemilu maka perfomance demokrasi akan semakin baik .