Mohon tunggu...
Afifuddin lubis
Afifuddin lubis Mohon Tunggu... Pensiunan PNS -

Selalulah belajar dari siapapun

Selanjutnya

Tutup

Politik

Mengapa Jenderal Nasution Tidak Mengambil Alih Kekuasaan pada Tahun 1965?

25 Desember 2018   00:40 Diperbarui: 25 Desember 2018   00:47 8631
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Abdul Haris Nasution adalah satu dari tiga putra Indonesia yang memperoleh pangkat sebagai jenderal besar. Dua tokoh lainnya adalah Jenderal Sudirman dan Jenderal Suharto.

Ketiga tokoh ABRI ini dianugerahi pangkat yang demikian oleh Presiden Suharto pada tanggal 5 Oktober 1997 saat ulang tahun ABRI.

AH Nasution dilahirkan di Desa Hutapungkut ,Kotanopan ,Kabupaten Mandailing Natal ,Provinsi Sumatera Utara pada 3 Desember 1918 dan wafat di Jakarta pada 6 September tahun 2000.

Tahun 1950, dengan pangkat Kolonel ,Nasution diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Darat ( KSAD ) dan Kolonel TB Simatupang diangkat sebagai Kepala Staf Angkatan Perang ( KSAP). 

Keduanya dikenal sebagai sahabat akrab semenjak masih sama sama mengikuti pendidikan di Akademi  Militer  di Bandung tahun 1940.

Setelah tamat dari Akademi itu ,Nasution diangkat sebagai perwira pada KNIL ( Koninklijk Nederlands - Indie Legers). 

Karir militer Nasution cukup cemerlang dan juga unik. 

Dalam posisinya sebagai KSAD dan dengan dukungan penuh Kol .TB Simatupang ,pada 17 Oktober 1952 ,Nasution memobilisasi pasukan ke istana .Tidak hanya pasukan militer tetapi massa sipil juga ikut berunjuk rasa mengelilingi istana kepresidenan .Tentara mengarahkan moncong meriam kekediaman resmi Presiden itu seraya mengajukan tuntutan kepada Sukarno meminta agar DPR dibubarkan.

Sukarno keluar dari istana menemui para demonstran dan dengan tegas menolak permintaan untuk membubarkan parlemen .Dengan wibawanya yang tinggi Sukarno meminta agar tentara dan warga sipil pulang.

Pasukan militer dan massa demonstran bubar dan pulang .Kolonel Nasution serta Kolonel Simatupang kalah.

Nasution dan Simatupang kemudian diperiksa Jaksa Agung Suprapto .Pada Desember 1952 ,mereka berdua kehilangan posisi di ABRI dan diberhentikan dari ikatan dinas.

Tetapi disini lah uniknya posisi Nasution .Setelah ia diberhentikan sebagai KSAD kemudian di tubuh Angkatan Darat terjadi pergolakan internal.

Karena pergolakan internal yang demikian maka pada 7 November 1955 ,Nasution diangkat kembali sebagai Kepala Staf Angkatan Darat.

Berikutnya terlihat hubungan Nasution dengan Sukarno semakin dekat .Diantara keduanya terlihat ada kesamaan pandangan terutama yang berhubungan dengan hubungan sipil - militer.

Pada tahun 1957 ,Presiden Sukarno memperkenalkan konsep Demokrasi Terpimpin. Konsep ini diperkenalkan Bung Karno karena kekecewaannya terhadap pelaksanaan Demokrasi Parlementer yang tengah dipraktikkan sejak November 1945.

Kita mengetahui UUDS 1950 yang berlaku saat itu menganut sistim parlementer. 

Setelah Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri maka pada 14 Maret 1957 ,Presiden Sukarno mengumumkan keadaan darurat.

Pengumuman keadaan darurat ini ,sekaligus mengakhiri peran Sukarno hanya sebatas Kepala Negara dengan sejumlah peran seremonial tetapi juga meningkatkan pengaruh dan peran militer .

Atas perintah Sukarno ,tentara juga mulai berpartisipasi dibidang politik ,mengisi posisi mulai dari menteri kabinet hingga gubernur provinsi bahkan anggota DPR.

Pada Desember 1957 ,Nasution semakin meningkatkan peran tentara dengan memerintahkan para tentara untuk mengambil alih perusahaan perusahaan Belanda yang baru dinasionalisasi.

Di Sumatera Utara misalnya ,sejak keluar perintah Nasution ini beberapa direksi perkebunan dijabat oleh tentara.

Pemikiran Sukarno dan Nasution kelihatannya punya titik temu karena pada tahun 1958 ,Nasution menyampaikan pidato terkenal yang akan menjadi dasar Dwi Fungsi ABRI yang kemudian diadopsi Suharto pada masa Orde Baru.

Situasi perpolitikan nasional termasuk munculnya pergolakan di beberapa daerah yang kita kenal sebagai PRRI / Permesta semakin mengeratkan hubungan Sukarno dan Nasution .

Untuk memadamkan pergolakan itu Nasution sebagai KSAD mengirim pasukan militer ke daerah daerah.

Kemudian kegagalan Konstituante untuk merumuskan UUD yang baru membuat situasi perpolitikan nasional semakin tidak menentu.

Sukarno menilai apabila situasi terus berlarut-larut maka akan terjadi krisis konstitusional yang bisa mengancam kelanjutan NKRI. 

Untuk mencegah terjadinya krisis konstitusional tersebut ,Sukarno sudah lama menginginkan agar Indonesia kembali ke UUD 1945. Keinginan yang demikian juga telah lama tertanam pada diri Nasution .

Ketika Nasution diberhentikan sebagai KSAD pada tahun 1952 ,ia kemudian mendirikan sebuah partai politik yang diberi nama Ikatan Pendukung Kemerdekaan Indonesia ( IPKI).Melalui partai inilah mantan KSAD itu menginginkan agar diberlakukan lagi UUD 1945.

Keinginan Sukarno memberlakukan UUD itu sejalan dengan harapan Nasution sehingga ketika Sukarno mengumumkan Dekrit 5 Juli 1959 ,Nasution sebagai KSAD memberi dukungan penuh .Tidak dapat dipungkiri ,pada saat yang demikian Sukarno membutuhkan dukungan tentara mengingat banyak politisi sipil yang tidak setuju dengan dekrit 5 Juli .

Sesudah mengumumkan Dekrit tersebut posisi Sukarno semakin kuat .Proklamator Kemerdekaan itu tidak lagi sebatas sebagai Kepala Negara tetapi ia juga adalah Kepala Pemerintahan .

Sukarno kemudian mengangkat Nasution sebagai Menteri Pertahanan dan Keamanan sembari terus memegang jabatan sebagai KSAD.

Tahun 1962 Sukarno mencanangkan Trikora yang bertujuan untuk menyatukan Irian Barat ( sekarang Papua dan Papua Barat ) sebagai bahagian Republik Indonesia sebagaimana hasil kesepakatan Konferensi Meja Bundar ( KMB ).

Untuk itu akan digelar operasi militer yang tentunya menyebabkan Sukarno semakin membutuhkan Nasution.

Tetapi kemudian kemesraan Sukarno - Nasution itu kelihatannya akan berlalu terutama ketika Nasution menunjukkan sikapnya yang tidak senang sewaktu ia melihat pengaruh PKI terhadap Sukarno semakin menguat.Nasution dikenal sebagai perwira TNI yang sangat anti terhadap PKI.

Pada bulan Juli 1962 ,Sukarno melakukan reorganisasi struktur ABRI .

Kepala staf masing masing angkatan ditingkatkan statusnya menjadi Panglima Angkatan .Dalam struktur ABRI yang demikian ,Nasution ditempatkan sebagai Kepala Staf ABRI sedangkan Panglima Angkatan Darat dijabat oleh Jenderal Ahmad Yani .Sesungguhnya Yani juga perwira tinggi yang anti terhadap PKI tetapi ia juga seorang loyalis Sukarno.

Dalam posisi Nasution yang kian melemah itu, tahun 1965 terjadilah tragedi berdarah peristiwa G30 S.

Nasution adalah salah satu target operasi penculikan ,tetapi ia lolos dari marabahaya maut. Sementara Jenderal Yani beserta beberapa petinggi Angkatan Darat lainnya berhasil diculik dan kemudian tewas di Lubang Buaya .

Dengan tewasnya beberapa jenderal Angkatan Darat maka muncullah Mayor Jenderal Suharto ,Pangkostrad mengambil alih komando pada Angkatan Darat .

Walaupun Nasution pada masa itu sudah kehilangan garis komando pada hirarki Angkatan Darat tetapi harus diakui pengaruh dan wibawa nya di jajaran ABRI masih cukup kuat .

Tidak berlebihan kalau menyebut pada masa itu popularitas dan pengaruh Nasution masih lebih tinggi ketimbang Suharto.

Dengan pengaruh dan wibawanya yang masih tinggi itu maka banyak kalangan yang menyesalkan Nasution ,mengapa tidak mengambil alih kekuasaan pada waktu itu .

Penyesalan terhadap sikap Nasution itu semakin menguat ketika kemudian Suharto mampu mengeliminir pengaruh Nasution sehingga membuat Nasution semakin tidak berdaya secara politik.

Sekarang pada bulan Desember ini ,bertepatan dengan satu abad kelahiran Abdul Haris Nasution ,mengemuka lagi diskusi maupun pembicaraan mempertanyakan mengapa Jenderal kelahiran Kotanopan ,Mandailing Natal Sumatera Utara itu tidak memanfaatkan momentum pada tahun 1965/1966 tersebut .

Ada dua pendapat yang muncul tentang hal ini .

Pendapat pertama menyebut ,Nasution seorang peragu sehingga tidak berani memanfaatkan peluang itu .

Sedangkan pendapat kedua menyatakan ,Nasution tidak memanfaatkan kesempatan tersebut karena ia mengkhawatirkan negara ini akan terseret pada perang saudara .Bukankah pada masa itu ,wibawa Bung Karno masih cukup kuat dan beberapa satuan ABRI masih setia kepada nya .

Nasution juga menyadari posisinya yang bukan orang Jawa bisa akan menperburuk situasi .Pada masa yang demikian dikotomi Jawa dan Non Jawa masih terasa kuat .

Nasution lah yang paling tahu alasan sesungguhnya mengapa ia tidak bertindak pada masa itu dan biarlah hal tersebut menjadi sebuah misteri pada ulang tahun satu abad Jenderal Besar itu.

Salam Demokrasi!

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun