Masuknya marga lain menjadi anggota kerabat lebih mudah terintegrasi pada pondasi sistem sosial orang Batak. Pada kasus berbeda, dimana seorang ego menikah dengan laki-laki di luar sukunya yang tidak memiliki marga, hal ini mengandung kerumitan tersendiri.
Cara yang ditempuh adalah dengan mengangkat calon menatu tersebut menjadi anak dari salah satu kerabat dan memberinya marga. Marga yang diberikan umunya adalah marga dari pihak-pihak ipar orangtua perempuan.
Mengikuti model perkawinan yang disukai orang Batak yaitu, menikahkan anaknya dengan anak laki-laki saudara peremapuannya atau disebut menikah dengan pariban-nya.
Suku-suku bangsa tertentu, seperti halnya orang Batak, memperhatikan pentingnya memelihara hubungan-hubungan mereka dengan keluarga-keluarga terdekat, dalam konteks perkawinan, motif dari tindakan itu adalah agar perputaran harta benda tidak keluar dari lingkungan yang mereka pelihara. Seperti telah disinggung di atas, perkawinan membawa impliksasi pada sistem pertukaran diantara pihak pemberi istri, pihak penerima istri, dan antara pihak-pihak semarga. Model ini juga menjadi acuan bagi semua perkawinan Batak, termasuk dalam perkawinan antar suku bangsa.
Jika laki-laki Batak menikah dengan perempuan dari suku bangsa lain, katakanlah orang Jawa, ia tidak akan kehilangan marganya, sebab sistem kekerabatan orang Jawa yang bilateral dapat saling menyesuaikan dengan sitem pratrilineal. Anak yang lahir dari perkawinan itu biasanya akan memakai marga bapaknya atau memakai nama trah dari pihak ibunya.
Tetapi jika perempuan Batak menikah dengan orang Jawa, biasanya pihak perempuan menuntut pesta pernikahan diadakan dengan cara Batak. Mengapa?
Untuk mendudukkan posisi menantu dalam sistem kekerabatan orang Batak yang menyertai juga sistem pemanggilan atas kerabat-kerabat luas kedua belalah pihak, proses inilah yang dimaksudkan dengan merekontruksi "tungku yang tiga".
Proses pemberian marga
Dahulu, pemilikan marga dapat juga timbul dari prakarsa raja huta (pembuka kampung) untuk menganugerahkan marga kepada seseorang karena jasa-jasanya yang luar biasa kepada masyarakat huta itu. Orang-orang yang memperoleh marga dengan cara seperti ini ada yang terus menurunkan marganya kepada anak cucunya, tetapi ada yang hanya sampai pada dirinya saja.
Selain itu dapat juga diberikan kepada seorang tokoh yang telah lama hidup dalam lingkungan masyarakat Batak dan melakukan tugas-tugas kemasyarakatan dalihan na tolu.
Orang asing yang pernah menerima pemberian marga ini antara lain Prof. Dr. Susan Rodgers, mahaguru sosiologi dan antropologi dari Amerika Serikat. Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Dr. Daoed Joesoef yang diberi marga Nasution oleh masyarakat adat Mandailing.