Mohon tunggu...
Marahalim Siagian
Marahalim Siagian Mohon Tunggu... Konsultan - Konsultan-sosial and forest protection specialist

Homo Sapiens

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Menjadi Batak, Perkawinan Lintas Budaya

30 Desember 2019   23:39 Diperbarui: 16 Januari 2020   03:44 441
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Halati atau alat pemecah pinang Batak (Dokpri)

Dalam kedudukan sosial, anggota-anggota semarga memiliki kedudukan yang sejajar [pararel] sementara boru kedudukannya lebih rendah dari hula-hula-nya [dalam hal ini termasuk pada anggota marga dari pihak pemberi istri].

Struktur ini akan berubah jika anggota marga hula-hula mengambil istri dari anggota marga boru, maka boru akan menduduki posisi hula-hula dan hula-hula menempati posisi boru. Perkawinan seperti itu diperbolehkan asalkan di luar dari dua kelurga marga yang terbentuk sebelumnya atau perkawinan itu tidak boleh terjadi antara saudara langsung pihak istri dengan saudara langsung pihak suami, melainkan dari keluarga luas mereka.

Dalam sitem sistem sapaan [partuturon] laki-laki yang berposisi sebagai boru memanggil mertua laki-lakinya atau hula-hula-nya dengan amang dan inang untuk mertua perempuannya. Sementara mertua memanggil menatunya dengan sapaan hela. Anggota-anggota semarga menyapa teman-temannya dengan ale-ale. Dalam sistem sapaan yang lebih luas dapat dilihat dalam tipologi Murdock berikut:

GrFa: ompung doli
GrMo: ompung boru
Fa : amang
Mo : inang
FaElBr: amang tua
FaYoSi: amang uda
FaSi: namboru
MoEiSi: inang tua
MoYoSi: inang uda
MoBr : tulang
ElSi: angkang
YoBr: anggi
Si: ito
FaElBrSo: angkang
FaYoBrSo: anggi
FaBrDa: ito
MoBrSo: lae

Perkawinan lintas suku bangsa (eksogami)

Pada masyarakat perkotaan heterogenitas turut membawa implikasi perkawinan antar suku bangsa. Studi yang dilakukan Parluhutan Siregar [tanpa tahun] di pinggiran kota Medan menyebutkan sekitar 65% warga etnis Melayu menikah dengan warga etnis Jawa, demikian juga orang-orang Mandailing/Batak Angkola, baik generasi awal maupun belakangan.

Perkawinan antara warga Jawa dan Batak Toba sering juga terjadi, perbedaan agama antara kedua calon mempelai, biasanya mereka diselesaikan dengan cara [salah satunya] pindah agama, sedangkan penyelesaian adat-istiadat diatur berdasar kesepakatan keluarga kedua belas pihak. Biasanya, penyelesaian adat-istiadat perkawinan mengikut pada tradisi pihak mempelai perempuan. Jika pemuda Jawa mempersunting gadis Batak, maka adat-istiadatnya biasanya mengikut tradisi Batak .

Penelitian sejenis yang dilakukan di kota Jakarta[i], Medan dan Bandung, menunjukkan persentase generasi muda Batak untuk menikah dengan suku bangsa lain cukup besar.

Untuk kasus orang Batak yang beragama Islam di Jakarta, Medan, dan Bandung pada pertengahan tahun 1982 membuktikan, 51.11% responden menyatakan setuju putra mereka menikah dengan gadis non-Batak dengan syarat harus beragama Islam, sedangkan 48.33% menyatakan setuju anak gadis mereka menikah dengan pemuda suku bangsa lain dengan syarat yang sama.

Pilihan kedua adalah menikahkan anak atau boru dengan sesama orang Islam yang berasal dari rumpunya. Sejumlah 21.67% menyatakan ingin menikahkan putranya dengan gadis Batak dan 30.56% ingin menikahkan anak gadisnya dengan pemuda Batak.

Hal ini semakin terasa tidak dipersoalkan orang, karena penerima marga itu sendiri secara nyata tidak pernah menimbulkan masalah yang berkaitan dengan hukum waris. Marga itu baru dipakainya ketika dalam upacara adat yang melibatkan kerabat-kerabat isterinya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun